Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mohon, Kasus Rizki Jangan Terulang Kembali

22 Januari 2017   13:56 Diperbarui: 22 Januari 2017   14:09 1100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa belajar keras menghadapi UN. (Sumber: banatnat2.wordpress.com)

Belum lama perdebatan atas wacana penghentian UN yang dilontarkan Menteri Pendidikan yang baru Muhadjir Effendi terselesaikan. Muhadjir sendiri yang menginformasikan bahwa berdasar rapat terbatas kabinet, pada akhirnya UN tetap jalan terus meski berdasarkan keputusan MA (14 September 2009) pemerintah dianggap lalai meningkatkan kualitas guru, baik sarana maupun prasarana. Sebagian orangtua dan siswa sendiri merasa kecewa karena UN tetap diadakan, namun sebagian menganggap bahwa UN memang masih dibutuhkan.

Sementara anak terkecil saya yang kini sudah memasuki kelas 9 SMP menaggapinya dengan enteng, “Ada atau tidak ada ya sama saja,” ujarnya. Saya memang mengenalkan kepada anak agar tidak terlalu mengistimewakan ujian. Berusahalah agar ujian tidak menjadi beban. Kehebatanmu bukan dilihat dari berapa nilai yang bisa kamu raih, tapi seberapa berani kamu menghadapi ujian. Bagi saya penting agar kita bisa selalu menjaga integritas. Kejujuran adalah segalanya, ketimbang nilai baik namun melalui cara curang, dan terutama tidak stres.

Cerita Sedih Kasus Rizki

Tidak ada yang melebihi rasa sedihnya seorang pendidik setelah membaca pengalaman Andri Rizki Putra (siswa peserta UN yang melihat praktik kecurangan sistem ujian di depan matanya sendiri, sehingga memilih mengundurkan diri). Meskipun pengalaman tersebut mungkin sudah menjadi rahasia umum, namun tetap saja seperti ada sembilu di hati saat membaca kecurangan yang justru dilakukan sekolah dan celakanya diketahui oleh gurunya sendiri. Alih-alih menjadi panutan, oknum guru malah mempratikkan perilaku-perilaku yang tidak baik.

Dapat dibayangkan pula bagaimana perasaan Rizki ketika ia mengetahui guru dan kepala sekolahnya—yang selama ini dihormati dan dijadikan panutan—ternyata justru pelaku kecurangan, bahkan sempat memintanya untuk tidak bercerita kepada siapa-siapa? Apakah hal ini akan tetap dibiarkan? Praktik kecurangan semacam ini memang kerap terjadi atau mungkin malah sudah menjadi budaya. Jadi pelaku curang saat ujian bukan lagi peserta didik melainkan pengelola sekolah alias guru dan kepala sekolah.

Masih ingat kan dengan nama Andri Rizki Putra yang menolak curang dalam UN 2006? Saat itu ia masih kelas 9 SMP di Medan dan mendapati suasana UN yang menurutnya penuh dengan kecurangan bahkan dbiarkan oleh guru-gurunya (bebas mencontek dan guru mengirim kunci jawaban via sms). Saat masuk SMA pada 2006 juga, Rizki merasakan kekosongan hati yang luar biasa. Meski diterima di SMA unggulan di Jakarta, mendapat beasiswa prestasi, dan mencetak nilai tertinggi, dia sudah tak bersemangat sekolah. Akhirnya Rizki hanya satu bulan di SMA dan memilih putus sekolah. Kepercayaannya terhadap sekolah formal luntur.

Beberapa kasus ter-blow up, namun kemudian hilang dan terjadi lagi praktik serupa seperti sediakala. Seperti tidak ada jera ataupun kapok sekolah melakukan segala cara agar penyelenggaraan ujian nasional di sekolahnya berhasil dengan sukses (lulus 100%).  Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa sekolah begitu perduli atas kesuksesan penyelenggaraan ujian nasional (UN)? Adakah dampaknya jika sekolah dianggap gagal dalam pelaksanaan UN?

Curang Terstruktur

Inilah yang menjadi pangkal persoalannya. Sekolah-sekolah dituntut mensukseskan UN sebagai program nasional. Menjadi wajib hukumnya bagi sekolah melaksanakan instruksi dari kementerian pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud) untuk melakukan evaluasi belajar siswa secara serentak. Sampai di sini seperti hal yang lumrah dan tidak ada masalah. Menjadi masalah kemudian ketika pengertian “sukses” hanya diukur dari tingkat kelulusan saja. Bila kelulusan mendekati 100% berarti sukses dan sebaliknya semakin jauh dari 100% maka dinilai buruk (pengaruh kepada peringkat sekolah)

Ini pun mungkin masih dianggap biasa, karena memang lazimnya demikian. Meskipun perlu diberi catatan bahwa kesuksesan penyelenggaraan UN mestinya tidak hanya diukur dari tingkat kelulusan, melainkan juga soal kelancaran pendistribusian bahan ujian, alat kelengkapan, persiapan siswa, kesiapan petugas lapangan, penilaian, dan sebagainya. Entah apa yang menyebabkan kemudian, sekolah seperti merasa “ketakutan” jika siswa di sekolahnya tidak mencapai 100% kelulusan.

Ketika peringkat atau ranking sekolah buruk, maka reputasi menjadi buruk dan masyarakat lebih memilih sekolah lain yang peringkatnya lebih baik. Banyak-sedikitnya siswa baru yang mendaftar tentu menjadi sesuatu yang penting bagi sekolah (utamanya rasa malu dari pihak guru dan sekolah). Hal yang lebih celaka ketika ada informasi yang mengatakan jika sekolah tidak mencapai 100% kelulusan UN maka terancam tidak mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) seperti sekolah-sekolah yang mencapai 100% kelulusan.

Kemendikbud sendiri selama ini berkesan mendiamkan saja isu-isu yang berkembang, tidak mengiyakan tapi juga tidak membantahnya. Penekanan wajib lulus ditengarai berlaku struktural berjenjang, mulai dari kementerian kepada dinas pendidikan propinsi, turun kepada dinas kabupaten/kota, terus ke UPT Pelayanan Pendidikan di kecamatan, dan dari UPT Yandik kepada kepala sekolah, hingga kepala sekolah kepada guru-guru di sekolah. Alhasil sekolah hanya fokus pada satu tujuan UN yakni bagaimana meluluskan siswa.    

Matinya Ruh Lembaga Pendidikan

Mungkin saja tujuannya baik agar guru lebih mempersiapkan siswa-siswanya menghadapi evaluasi akhir dan dengan demikian artinya guru harus lebih aktif memberi bimbingan, pengarahan serta mendampingi siswa dalam belajar. Dengan begitu diharapkan siswa dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik serta mencapai angka kelulusan. Hal ini tidak dilakukan oleh sekolah yang menginginkan serba praktis atau instan, mereka lebih memilih “mengorganisir” siswa di saat mengerjakan soal ujian. Mungkin hal tersebut lebih menjamin kelulusan, mulai dari mengupayakan bocoran soal kemudian mencari kunci jawaban, membebaskan siswa mencontek, dan sebagainya.

Ketika praktik seperti ini terjadi, maka sesungguhnya ruh dari lembaga pendidikan yang bernama sekolah itu sudah mati. Sekolah bukan lagi wadah menempa siswa sebagai insan-insan yang tidak hanya cerdas tapi juga memiliki akhlak mulia. Sekolah justru melahirkan anak-anak bangsa yang tidak memiliki integritas (kejujuran dan tanggungjawab), tidak percaya pada diri sendiri, menghalalkan segala cara, serta melanggar nilai-nilai kepatutan. Sekolah dengan pengelola yang berperilaku seperti itu sudah selayaknya dievaluasi, bahkan jika perlu wajib mengikuti lagi Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), sehingga bisa mengarahkan sekolah dan siswa untuk berkompetisi secara sehat dan jujur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun