Akun resmi Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, @SBYudhoyono, mengunggah tweet curhat kepada Tuhan, (Lihat, KOMPAS.com, Jumat, 20/1). Menurut Kompas lagi, curhat itu terkait fitnah yang dianggap SBY merajalela belakangan ini. Di akhir tweet tertulis “SBY” atau tanda bahwa tweet ditulis langsung oleh SBY.
Ya Allah, Tuhan YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar “hoax” berkuasa & merajalela Kapan rakyat & yg lemah menang? “SBY”, demikian bunyi tweet tersebut. Tepat sehari sebelumnya, Presiden Jokowi menulis di facebooknya soal kedatangan dan perbincangannya dengan Presiden ketiga BJ Habibie.
Di usia 80 tahun, Pak Habibie masih memikirkan bangsanya. Setlah tiga bulan berada di luar negeri, beliau datang ke Indonesia dan siang ini berkunjung ke Istana. Wajahnya terlihat gembira dan segar bugar, tulis Jokowi. Mensetneg Pratikno mengatakan, salah satu topik yang menjadi pembahasan adalah mengenai teknologi industri pesawat terbang, yang merupakan keahlian Habibie.
Selain itu, Jokowi dan Habibie juga banyak berbincang mengenai kondisi sosial Indonesia saat ini, seperti masalah Pancasila, toleransi, dan pluralisme. (Lihat, KOMPAS.com, Kamis 19/1). Sungguh sangat kontras bagaimana sikap kedua mantan presiden tersebut. Yang satu kerap mengeluh dan satunya selalu optimis dan berkontribusi.
Citizen tentu pernah mendengar sebuah metode komunikasi yang disebut dengan pendekatan "dari hati ke hati"? Jika sudah pernah melakukannya, bagaimana apakah berhasil? Mungkin banyak berhasilnya, tapi bukan berarti untuk semua kasus. Tentu pernah mendengar juga dengan jawaban klasik seperti berikut, "tidak suka", atau "tidak mau", atau "malas", atau "takut", atau “prihatin”. Biasanya ditambahkan dengan penekanan "aja" di belakangnya. Kalau sudah begitu, apa komunikasi bisa berlanjut?
Mungkin bisa, tapi mungkin juga sulit, ya. Banyak orangtua atau pun guru yang menyampaikan keluhannya soal anak, Kalau sudah bilang malas atau tidak suka, ya wis mandeg (berhenti/selesai), demikian kebanyakan kesaksian. Mengapa kira-kira bisa "mandeg" atau pun berhenti? Menurut mereka karena sudah tidak bisa dijelaskan lagi, sudah tidak ada penjelasan lain. Ya, memang biasanya seperti itu. Tapi kira-kira, apakah kita tahu mengapa?
Ketahuilah bahwa bahasa yang digunakan sebagai jawaban di atas adalah ragam bahasa perasaan, yang lebih "dikeluarkan" adalah emosi bukan nalar, sehingga akan sulit melacak penjelasannya. Apalagi jika memang orang/anak tidak menghendaki untuk melanjutkan pembicaraan. Ciri bahasa perasaan adalah berstruktur short answer atau jawaban pendek. Hanya 1-2 kata, atau bahkan tidak terungkap sama sekali.
Pernah juga kan mendengar, Sebuah perasaan tidak dapat diungkap dengan kata-kata. Itulah bahasa perasaan. Lantas bagaimana agar orang, anak ataupun siswa bisa lebih komunikatif? Sebelum itu, coba kita ingat-ingat, siapa yang lebih sering menggunakan bahasa perasaan, orang dewasa atau anak-anak? Karena kadang-kadang kalimat seperti ini sering muncul, Ayolah, kamu kenapa sih? Pokoknya ibu tidak mau tau, ibu sudah capek! Seorang ibu ingin berkomunikasi dari hati ke hati (baca: komunikatif) dengan si anak, namun menggunakan bahasa yang tidak dipahami oleh anak.
“Ibu capek...," adalah bahasa perasaan yang sulit dipahami jika tidak dijelaskan. Biasakan menggunakan bahasa pikiran (nalar). Sebagai contoh untuk menjelaskan kata "malas", Ibu yang baik, tadi aku di sekolah sudah belajar. Pulang sekolah terus les dan sekarang di rumah disuruh belajar lagi... kapan aku bisa istirahat atau bermain? Bagi sebagian orang pasti tidak percaya anak bisa berbicara atau menjelaskan perasaannya dengan menggunakan nalar. Anak sekarang serba canggih, kadang ucapan dan tindakannya melebihi orang dewasa.
Menggunakan bahasa positif juga sangat dianjurkan, contoh: Apa saya bisa melakukannya? diubah menjadi, Bagaimana caranya agar saya bisa melakukannya? Atau, Jangan buang sampah sembarangan! Diubah menjadi, Sebaiknya kita menjaga kebersihan lingkungan, termasuk membuang sampah pada tempatnya...
Kuncinya adalah pembiasaan. Pertama sekali kenalkan mana bahasa perasaan dan mana bahasa pikiran. Kemudian, biasakan pula setiap kita mencontohkan selalu menggunakan bahasa pikiran di dalam setiap komunikasinya. Seperti juga dengan kata-kata "tidak pantas" yang selalu kita larang diucapkan oleh anak-anak, maka kita juga jangan menggunakannya. Melatih anak menggunakan bahasa pikiran adalah baik, agar mereka terbiasa berpikir kritis dan berucap secara sistematis, terstruktur, jelas dan dapat dipahami.
Karena kunci dari sebuah komunikasi itu adalah "mencari kesamaan", apa yang ia pikirkan dan ucapkan sama dengan yang kita pahami, dan sebaliknya. Bila apa yang ia pikirkan dan ucapkan tidak sama dengan yang kita pahami, maka komunikasi tidak berlangsung secara komunikatif, berhenti tanpa solusi. Lebih bahaya jika ditambah dengan sakit hati atau dendam, maka komunikasi bisa terputus sama sekali. Kalau yang terakhir ini sepertinya bukan tipikal kebanyakan anak-anak melainkan sifat buruk orang dewasa yang suka baper...
Sebuah pertanyaan kemudian, mengapa Presiden Jokowi tidak pernah bertukar pikiran dengan SBY, seperti yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh politik lain? Semoga jawabannya bukan karena SBY sukanya baper, sehingga bukan solusi yang didapat namun hanya memperpanjang daftar keluhan saja. Bukan apa-apa, seorang yang mengaku pemimpin harus bisa menjaga semangat dan rasa optimis rakyatnya. Bila pemimpin sudah mengeluh begitu, bagaimana rakyatya? Jikapun semacam "mengadu" kepada Tuhan, ya tidak perlu dishare ke publik, cukup disampaikan saja sendiri usai menjalankan sholat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H