Kembali, tulisan ini tergelitik menanggapi perkataan Anies Baswedan yang menyatakan bahwa para pendiri republik ini mengungkapkan pikirannya dengan kata-kata yang baik dan tidak ada pendiri republik ini yang disebut motivator. Bung Karno itu bicara memotivasi sekali, jelas Anies. Hal ini menanggapi Hikmat Budiman, seorang Sosiolog, yang mengomentari gaya debat Anies di panggung.
Lebih lanjut, Hikmat mengatakan bahwa gaya Anies mirip Mario Teguh, sang motivator terkenal di Indonesia. Yang menggelitik adalah, samakah Bung Karno dengan Mario Teguh? Apa bedanya orator dengan motivator? Secara umum, pengertian orator itu adalah orang yang ahli berpidato (orasi). Esensi dari orang berpidato itu sendiri ada beberapa hal, isinya (konten), maksud dan tujuannya, pendengarnya, cara penyampaian, dan sebagainya.
Samakah dengan istilah “jago bicara”, atau ahli berbicara? Mungkin banyak orang yang bisa dikategorikan sebagai ahli bicara, sebut saja Najwa Shihab (presenter), Aa Gym (da’i), Mario Teguh (motivator), Budiman Sudjatmiko (politikus), Ahmad Dhani (artis), Amien Rais (dosen) dan mungkin Anies Baswedan sendiri. Tapi apakah mereka juga bisa disebut sebagai seorang orator? Seorang orator tidak sekadar pandai mengolah kata-kata.
Kembali kepada soal motivator dengan orator. Diawali dari kebutuhan mengapa perlu berbicara? Seorang motivator perlu berbicara karena ada orang yang memiliki masalah dan membutuhkan “pencerahan” (mengatasi masalah), malah terkadang cenderung diminta. Sedangkan seorang orator apalagi tokoh-tokoh di zaman pergerakan dulu, justru kebutuhan berangkat dari si pembicara yang ingin menuangkan ide gagasannya.
Kemudian kontennya bagaimana? Motivator biasanya menyampaikan pengalaman (baik pengalaman pribadi maupun orang lain atau sekadar membaca referensi) dengan kata-kata bijak dan dianggap bisa menjawab persoalan. Sedangkan orator itu menyampaikan ide-ide gagasan dan pengetahuan yang dimilikinya dengan kata-kata yang menggelora untuk membangkitkan semangat pendengarnya.
Komunikan (pendengar) dari motivator itu kebanyakan orang-orang yang memang memiliki masalah dan butuh mengetahui pemecahannya (sekadar menambah wawasan dn lebih bersifat individu). Berbeda dengan pendengar dari seorang orator, biasanya sekolompok massa yang memang menunggu ada informasi apa, ada instruksi apa dan ada pengetahuan baru apa yang akan disampaikan. Mereka butuh dibangun harapan baru (kolektif).
Teknik dan gaya penyampaian dari orang yang pandai berbicara itu bisa berbagai macam. Ada yang membutuhkan ruang gerak yang luas (ke sana ke mari mirip penyanyi rock), ada yang harus menyungging senyum terus-menerus, ada pula dengan menghadirkan guyonan-guyonan agar tidak membosankan. Sementara seorang orator biasanya memang bertampang serius, karena jika tidak, maka bisa dianggap hanya bicara saja.
Jadi, menurut saya pertanyaan Anies sudah tepat bahwa tidak ada pendiri negeri ini yang disebut motivator? Ya, karena Bung Karno bukan seorang motivator melainkan orator ulung yang tidak hanya memotivasi tapi juga membangun harapan melalui ide-ide barunya. Bung Karno juga tidak hanya melegakan dahaga pendengar yang memiliki masalah, melainkan menggerakkan secara bersama-sama, tidak individual.
Memotivasi hanya sebagai salah satu efek dari apa yang disampaikan oleh orator sekelas Bung Karno, Bung Tomo serta bung-bung lainnya di masa pergerakan dan perjuangan. Kiranya sudah bisa dibedakan mana orator dan mana motivator, dari itu sangat jauh membandingkan antara Mario Teguh dengan Bung Karno. Bedanya lagi, Bung Karno selain berkata-kata juga menulis, semua media yang bisa menyambungkan dengan rakyatnya (termasuk melalui kebudayaan, wayang) ia gunakan
Adapun Bung Karno mengatakan “banyak bicara banyak bekerja” disebabkan media yang ada untuk memobilisasi rakyat saat itu hanyalah melalui pidato (bandingkan sekarang ada media sosial, cetak dan elektronik seperti youtube, facebook, koran, televisi, dan sebagainya). Jadi bukan semata-mata bicara. Bung Karno juga turun ke tengah massa, ke kehidupan rakyatnya, mendengarkan, membangun harapan, menggerakkan dan mengorganisir, serta berjuang bersama-sama untuk mencapai tujuan.
Jadi jika disampaikan Anies bahwa jangan sampai ada anggapan bicara sesuatu dengan tujuan menginspirasi dianggap sebagai hal yang salah, juga tepat sekali. Tentu tidak ada yang akan menyalahkan setiap orang untuk berbicara, apalagi itu bisa memotivasi ataupun menginspirasi. Sekali lagi kritikan masyarakat itu bukan soal berbicaranya, melainkan no action talk only alias NATO. Sebagai contoh kasus ya Mario Teguh itu. Jika ia berbicara di telivisi ataupun di panggung, seolah dunia ini sangat indah, karena semua persoalan ada jawabnya. Namun tidak saat ia menghadapi masalah keluarganya sendiri.
Kata-kata memang kadang indah (karena memang dibuat), namun belum tentu saat melakukannya. Termasuk tulisan ini, saya bisa menuliskan demikian namun belum tentu bisa menjadi seorang Anies Baswedan. Mungkin saya juga akan baper karena dianggap hanya bisa berbicara yang baik-baik dan indah-indah saja. Saya bisa maklum, apalagi untuk meyakinkan warga pemilih, saya juga pasti akan menjanjikan macam-macam, yang belum tentu apakah terwujud atau tidak. Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H