Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rizieq Meniru Trump atau Antitesanya?

18 Januari 2017   16:20 Diperbarui: 18 Januari 2017   16:26 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera merah putih yang bertuliskan huruf arab saat aksi FPI di Mabes Polri (16/1) | dokumen pribadi

Satu kesamaan yang begitu kental antara Habib Rizieq dengan Donald Trump yakni soal rasa tidak kenal takut meski kontroversi. Dalam kontestasi pilpres di AS baru-baru ini diperlihatkan bagaimana Donald Trump lebih memilih isu yang dianggap “rawan” oleh warga AS yakni soal intoleransi. AS selama ini sangat membanggakan diri sebagai negara yang sangat toleran, tidak ada diskriminasi, namun hal ini tidak berlaku bagi Donald Trump yang secara terang-terangan bersikap memusuhi warga muslim di AS.

Warga imigran Timur Tengah yang ada di AS menangis, mantan presiden Obama bersedih dan warga lain yang menghargai nilai-nilai toleransi meradang. Namun Donald Trump tetap bergeming. Ia tidak peduli isu yang diangkatnya tidak populer. Ia beralasan akan mengembalikan masa kejayaan Amerika yang adidaya dan tidak tunduk kepada bangsa-bangsa keturunan Arab. Di sebuah kesempatan kampanye pun, Donald Trump sempat mengusir wanita berhijab dari lokasi kampanyenya. Keras.

Untuk itu kemudian menjadi pertanyaan banyak orang, bagaimana Donald Trump yang mengusung isu yang tidak populer namun bisa memenangkan bursa presiden di AS? Orang menduga ada kecurangan saat pemungutan dan penghitungan suara. Dinas rahasia CIA bahkan menuduh Rusia turut bermain dalam kemenangan Donald Trump, dengan tujuan menurunkan rasa kepercayaan warga AS terhadap presidennya. Baik Putin maupun Trump sudah menyangkal tuduhan tersebut.

Yang anehnya, mengapa panitia pemilu di sana tidak memberi peringatan kepada Trump? Begitu juga dengan aparat keamanannya hanya berdiam diri terhadap “serangan” yang dilakukan Trump terhadap warga muslim. Lebih aneh lagi mengapa tidak ada respon penolakan besar-besaran dari negara Islam? Organisasi massa yang berbasis Islam pun bahkan tidak membuat statement apapun. Coba jika terjadi di Indonesia, tentu sudah dicap menodai ataupun melecehkan agama. Aksi Bela Islam pun digelar berjilid-jilid.

Bagaimana dengan Habib Rizieq? Sejak tahun 1998 hingga sebelum kasus Ahok, Rizieq bersama organisasinya FPI memang sudah terkenal “galak”, berani dan tidak kenal takut. Rizieq pun beberapa kali sempat ditahan polisi. Namun aksi-aksi tersebut masih dalam kategori parsial, tidak massif dan masih dalam batasan isu-isu internal. Barulah setelah viral video pidato Ahok di Kepulauan Seribu muncul, Rizieq beserta FPI-nya tampil lebih garang dan lebih kontroversial isunya.

Rizieq seolah hidup di negeri impiannya sendiri. Ia seolah menafikan ada jutaan lain warga negara yang memiliki kedudukan hukum dan hak yang sama yang memiliki pandangan dan keyakinan berbeda dengan Rizieq dan FPI. Bahkan bagi kaum muslim sendiri, tidak semuanya setuju dengan seluruh kampanye Rizieq. Ini sangat berpotensi tumbuhnya perpecahan di kalangan masyarakat, namun sekali lagi Rizieq seperti tidak peduli. Ia tetap maju bahkan menggalang dukungan dengan kelompok lain.

Rizieq seolah representasi dari sekelompok orang yang selama ini menahan “keyakinannya” terhadap nilai-nilai Islam. Selama ini (mungkin) bagi mereka nilai-nilai Islam tidak berlaku sepenuhnya mengingat bangsa ini plural dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Bangsa ini juga memiliki lambang garuda Pancasila yang mencengkram erat panji-panji Bhineka Tunggal Ika. Selama ini, mainstream itulah yang diyakini dan dipercaya masyarakat. Bila ada yang menyimpang dari 4 Pilar maka dianggap “berbahaya”. Namun semua itu dijungkirbalikkan oleh Rizieq.

Meski selalu berbungkus hukum dan konstitusi, namun jelas sekali seluruh pandangan (baik yang diajarkan maupun yang sekadar diucapkan) Rizieq bertentangan dengan rel paham kebangsaan, atau setidaknya berpotensi memporakporandakan persatuan dan kesatuan yang sudah dibangun sekian lama. Bahkan ada pula yang menduga bahwa gerakan ini sudah politis dengan menyerang simbol-simbol negara sampai mengarah untuk menggoyang posisi presiden Jokowi. Rizieq terinspirasi Trump atau justru sedang jengkel dengan Trump yang melecehkan kaum muslim?

Awalnya, masyarakat tertakjub-takjub terhadap seluruh aksinya Rizieq. Tidak berani membantah (takut dibully keluarga ataupun tetangga yang setuju Rizieq). Aparat hingga pemerintah pun tampak mengakomodir seluruh aksi Rizieq, FPI dan kawan-kawannya itu. Rizieq dan FPI bak warga negara nomor satu yang selalu didengarkan, diikuti segala kehendaknya hingga diakomodir setiap aksi pengerahan massa. Rizieq diistimewakan? Ternyata tidak juga. Mungkin hanya diawal, mengingat orang marah dihadapi dengan marah maka yang terjadi adalah peperangan.

Namun jika pembiaran dilakukan berlarut-larut sementara Rizieq dan FPI semakin menjadi-jadi (hantam sana sini, meremehkan dan menghina siapapun, hingga membawa bendera merah putih bertuliskan huruf arab serta simbol 2 pedang), tentu tidak dapat dibiarkan. Pemerintah, aparat dan masyarakat harus bersikap tegas menolak dan melawan setiap anasir penghancur bangsa. Aparat pun merespon dan bertindak cepat termasuk mengeluarkan statement yang beraroma “tidak takut” terhadap Rizieq juga FPI (lihat wawancara dengan Kapolda Jabar).

Terkhir, Rizieq meminta agar setiap masalah tidak perlu harus lapor-melapor, melainkan bisa dibicarakan. Rizieq pun meminta polisi agar memediasi antara mereka dengan pihak-pihak yang mereka protes. Jika inginnya dimediasi ataupun dibicarakan baik-baik, mengapa sudah menuduh, menyiar-nyiarkan serta mengancam ingin melaporkan? Budaya bangsa kita memang musyawarah (tabayun) bukan keras-kerasan dengan cara mengerahkan massa, apalagi melakukan intimidasi. Jika tidak mempan dinasehati baik-baik, maka rakyat lainnya pun bisa marah. Rakyat Indonesia cinta damai, tapi lebih mencintai keutuhan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun