Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pungli Itu Kecil Tapi "Nyebelin"

7 Januari 2017   21:19 Diperbarui: 15 Januari 2017   22:14 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mau jadi tentara pungli, begitu juga menjadi polisi, pilot, pelaut, dosen, guru, tenaga medis (perawat, dokter), PNS, karyawan, kandidat pilkada yang diusung partai, caleg, bahkan menjadi mahasiswa, murid sekolah dan santri di padepokan Dimas Kanjeng. Yang paling parah, mau “numpang lewat” juga ada pungli, mau jadi calon pacar apalagi calon menantu, punglinya tambah besar, hehehe...

Cukup sampai di situ? Mau dapet sertifikat halal juga ada punglinya lho, mau dapet piagam juga, penghargaan MURI, ada juga. Meski tidak semua mengelak disebut pungli, istilahnya jadi banyak. Ada yang bilang “barter”, adalah “ucapan terima kasih”, “tali kasih”, “ongkos lelah”, “uang rokok”, “pajak”, “upeti”, “mahar”, “salam tempel”, “amplop”, “perangko”, dan masih banyak lagi.

Pungli kadang tidak dimulai dari seorang subyek, melainkan juga bisa dari inisiatif si obyek. Tawar sana-sini, harga cocok maka bungkus lah, yang penting urusan cepat selesai (masih ingat kan istilah KUHP: kasih uang habis perkara, atau UUD: ujung-ujungnya duit). Pungli tidak hanya bisa dilakukan oleh pegawai birokrasi khususnya pelayan publik, tapi bisa juga oleh siapa saja dan di mana saja.

Mengapa ada pungli? Ada yang menganggapnya sebagai sebuah “usaha”, kalau dapat ya syukur, gak dapat ya tidak apa-apa, namanya juga usaha. Ada pula yang beralasan ongkos jasa, karena saya sudah membantu anda, maka saya berhak meminta kepada anda sebagai ganti tenaga, bensin, dan lain-lain. Walau sudah ada biaya pengurusannya sendiri, tetap saja ada biaya “dan lain-lain”, meski kecil.

Ada dua versi cerita sejarah pungli. Dulu di zaman kerajaan, para pengawal merasa iri dengan kroni-kroni kerajaan yang selalu mendapat hadiah ataupun pemberian dari raja atau keluarga raja yang berasal dari pajak ataupun upeti. Karena itu mereka melakukan pungli bagi siapa saja yang ingin menghadap raja ataupun berurusan dengan kerajaan melalui dirinya.

Versi kedua, pungli lahir sejak munculnya budaya premanisme, zamannya para mafia. Seseorang sudah membayar dari sebuah transaksi perdagangan misalnya, masih tetap dimintakan uang, istilahnya untuk biaya keamanan. Kalau model ini memang disertai dengan ancaman, bila tidak diberi maka barang rusak tidak dijamin, bahkan kadang nyawa taruhannya.

Kedua faktor ini (cepat dan aman) kemudian dijadikan alasan dan sering pula menjadi “pembenar” bagi praktik pungli, baik oleh subyek maupun obyeknya. Menjadi berkembang dan membudaya karena alasan tersebut. Sehingga banyak pula yang berpendapat bahwa “pungli” justru menggerakan mesin birokrasi, atau bahkan menjadikan kehidupan bermasyarakat berjalan “normal”. Andai tidak ada pungli, maka suasana chaos tercipta.

Pungli kerap diidentikkan sebagai praktik kecil dari kebiasaan koruptif, artinya bila seseorang dalam posisi apapun sudah terbiasa melakukan pungli, maka ketika ia mendapat kedudukan aau kekuasaan yang lebih besar, maka kecenderungan korupsi akan terjadi. Karena memang sifat manusia itu yang cenderung tidak pernah puas. Hal lainnya rasa ingin “balas dendam”. Kok bisa?

Contoh saja saat seseorang dikenakan pungli untuk menjadi pegawai atau karyawan di sebuah instansi, maka ketika menjabat ia cenderung melakukan hal yang sama kepada orang yang mau melamar kerja. Budaya balas dendam ini hampir mirip dengan OSPEK ya? Untuk itu, dimensi budaya dalam pungli memang jauh lebih kental dibanding sistem yang bekerja. Sistem sebagus apapun jika budaya “rakus” dan “balas dendam” masih melekat, maka praktik pungli tetap subur.     

Sebenarnya apa yang disebut “pungli”? Apa kriterianya? Pungli atau pungutan liar adalah praktik menarik atau meminta uang dari seseorang kepada orang lain di luar ketentuan yang sudah ditetapkan. Atau sering juga disebut transaksi di bawah tangan (dikira tidak ada yang tahu, padahal sekarang sudah banyak CCTV dan kamera hp yang setiap saat bisa merekam dan ditayangkan). Umumnya pelaku pungli adalah perorangan, mungkin kelompok (beberapa orang), dan sangat kebangetan kalau itu organisasi.

Praktik pungli memang kecil jika dilihat locus operandinya dan jumlahnya, namun dapat dibayangkan jika dikalikan di beberapa tempat dan berapa lama. Mungkin saking kecil jumlahnya membuat setiap orang menganggap tidak masalah. Paling-paling “nyebelin” aja, yang penting urusan selesai. Orang semakin terbiasa dan menjadi rahasia umum.

Maka agak heran juga ketika seorang reporter tvone bertanya, meskipun sudah ada peringatan kapori dan presiden 2 hari lalu, namun hari ini praktik pungli masih tetap ada. Saya maklum, mungkin ia belum mengenal pungli itu sejenis penyakit apa dan sudah seberapa kornisnya. Sebaik-baiknya perubahan adalah dari diri kita sendiri... Karena sekarang ini banyak orang menyiksa diri dengan cita-cita merubah hal yang besar namun hal-hal kecil di diri kita tidak berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun