Mohon tunggu...
Agung Wibawanto
Agung Wibawanto Mohon Tunggu... -

Tidak semua orang bisa menjadi penulis hebat, namun seorang penulis hebat bisa berasal dari mana saja... Saya selalu meyakini itu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbuat Baik kok Malu?

5 Januari 2017   15:35 Diperbarui: 15 Januari 2017   22:53 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa bilang masyarakat kita sudah kehilangan “budaya malu”. Justru faktanya, kita bisa sering melihat masyarakat memiliki rasa “malu” yang berlebihan. Hanya saja, rasa malu itu lebih digunakan kepada hal-hal yang positif atau hal-hal yang benar, sementara untuk hal-hal yang negatif atau tidak benar justru tidak malu-malu alias menyukainya.

Contoh sebagai berikut: masyarakat kita saat ini cenderung malu menyapa, sukanya mendiamkan; malu menolong orang yang membutuhkan, sukanya pergi menghindar; malu hidup hemat dan sederhana, sukanya boros dan bermewah-mewah; malu bertanya, berpendapat dan mengusulkan di depan forum, sukanya berbicara di belakang, malu berinisiatif, sukanya mengikut saja, dsb.

Saya menjadi teringat dengan sebuah kalimat “lucu-lucuan” yang biasanya ditujukan terhadap tipikal anak-anak, yakni “Dilarang seperti disuruh, dan disuruh seperti dilarang”. Artinya apa? Seorang anak ketika dilarang terus-menerus biasanya justru maunya melakukan, mungkin ia bertanya-tanya ya, kenapa sih kok dilarang? Memang apa akibatnya?

Sebaliknya, saat sesuatu dimintakan atau disuruh terus-menerus, maka si anak menjadi tidak menurut, tidak mau melakukan. Meskipun melakukan namun reaksinya seperti berat hati, malas-malasan. Mengapa bisa begitu? Saya pernah sampai pada kesimpulan, jangan-jangan setiap orang itu benar memiliki watak “pemberontak”? Atau sekadar ingin coba-coba?

Ternyata tidak benar. Saya pikir, jika memang demikian maka setiap anak akan berperilaku menjadi pemberontak, istilah Jawanya “mbeling” atau orang Melayu bilang “degil”. Tidak semua anak seperti itu ternyata. Tidak semua orang menolak larangan atau tidak menurut pada anjuran. Lantas mengapa masyarakat menjadi seperti yang dicontohkan di atas?

Jiwa jurnalis saya tergelitik untuk melakukan “take” atau tanya-tanya kepo ke beberapa orang yang saya pandang tidak mendapati masalah seperti di atas. Mereka beberapa orangtua yang anak-anaknya bisa menjauhi larangan dan melakukan perintah dengan baik, atau mereka orang-orang berpengaruh yang merasa tidak ada masalah dengan orang-orang di sekitarnya.

Pada kebanyakan testimoni, ternyata ada dua faktor yang mempengaruhi yakni soal metode dan kesempatan. Soal metode, mereka berkata bahwa tidak perlu terlalu banyak berucap (apalagi sampai mengomel dan marah-marah), cukup tunjukkan saja dengan tindakan. Ya, ini semacam konsep keteladanan, kita selalu teriak-teriak untuk menjaga kebersihan sementara kita sering membuang sampah sembarangan, misalnya.

Sebagai pengganti ceramah yang berbusa-busa untuk mengatakan bahwa membaca itu penting dan buku adalah jendela ilmu, maka cukup kita membiasakan diri untuk selalu membaca (apapun). Intinya adalah: lakukan dan tunjukkan. Ya, saya bisa paham. Tapi bagaimana jika kita menyuruh sesuatu yang sesungguhnya tidak kita senangi, atau melarang sesuatu yang justru sedang kita lakukan?

Hal ini tentu sering sekali kita jumpai, di mana kita meminta atau menyuruh orang untuk rajin bekerja sementara kita bermalas-malasan; menyuruh orang olahraga tapi kita memilih tidur; atau melarang orang tidak merokok tapi kita merokok; melarang orang ngebut dijalanan, tapi kita tidak pernah pelan membawa kendaraan. Bagaimana ini, konsep keteladanan pasti gagal ya? Pepatah Cina mengatakan, “Jika ingin menjahit maka kita harus membuat pola dulu”.

Faktor kedua, berkait dengan yang pertama tadi. Jika kita sudah memiliki pola dan menjadi teladan, maka lambat laun akan memunculkan apa yang disebut dengan trust, atau rasa percaya. Faktor percaya ini adalah sesuatu yang paling utama dan akan memudahkan bagi siapa saja untuk melakukan apapun yang diperintahkan dan menjauhi apapun yang dilarang. Namun sekali rasa trust itu hilang, akan sulit dibangun kembali, kecuali loyal buta.

Untuk membangun trust itu yang dibutuhkan adalah konsistensi. Seorang pemimpin yang pencitraan, akan melakukan sesuatu yang biar dipandang baik itu sekali dua kali saja, tidak terus menerus. Atau, saat dilihat orang berbuat yang teladan namun jika tidak dilihat orang berlaku sebaliknya. Karena tidak konsisten, maka cepat atau lambat pasti terbongkar, waktu yang akan menjawabnya. Dan pada saat itulah akan banyak orang merasa tercederai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun