Neraca Cinta
Aku bertanya kepadanya angin. Hembusannya jawaban, tarikannya lebur gelisah.
Aku mendekatinya, ingin itu aku dekati. Dia enggan menolehku, malu-malu.
Aku menghampirinya, angan itu aku hampiri. Dia menolehku, tak menuntut.
Sekiranya akan kurang patut. Cukup rindukannya, usah temuinya. Cukup doakannya, usah jejalinya.
Cinta itu akan menumbuhkan, seja menambahkan. Tanpa mengurangi.
Timbangan Rasa
Hanya satu, cukup satu. Bila dua tiada guna, lalu tiga hanya duka. Mengenai selebihnya, rangkaian uji coba.
Melodi itu untuk tercipta, simfoni itu demi merasa.
Berkenaan sekumpulan tanya, cukup sadar yang tertata.
Menambatkan Cita
Aku pernah berselimut luka, ternyata itu semua unsur pola rasa.
Aku pernah tertawan gegap gempita. Untung saja sementara, lenyap tersapu fana.
Aku pernah berada di ujung dahaga. Kekeringan, kerontang yang tegap menantang.
Aku percaya, tekad senyawa harap. Kuat bukan sekejap, taat tak untuk terhambat.
Aku percaya, sikap siap menggeliat, demi tak terpikat akannya sekadar dekap.
Celoteh Suka
Makhluk biasa, kerap menjelma.
Menyusuri ruang-ruang hati, menghampiri isi hati.
Rinai kadang bersamanya, resah sering dibawanya.
Bila aku terlarut suasana, ragam jingga duduk manis di singgasana rasa.
"Apalah daya, kala dada meronta. Tepiskan petuah jiwa, demi selera."
Menandai Jiwa
Aku menghitung hari. Tujuh semestinya bersimpuh, luluh daripada lelah, patuh untuk bukan kalah.
Aku menandai bulan. dua belas dalam genggaman, dua belas jadi suratan.
Aku jumpai pagi, kesejukan. Aku bersua siang, kekaguman. Aku jejaki sore, keteduhan. Aku bertemankan malam, keheningan.
"Sepandai apa menyulam gaduh, berujung jatuh sebab tersentuh."
"Sedalam apa menuai riak, berujung terjebak, tak kuasa menolak."
Salam Fiksiana
Bandung, 24062021
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI