Aku menunggunya, memang menunggunya. Apapun kejadian, apapun pengalaman yang harus teralami, tak menggoyahkan teguhku akan dirinya, menunggunya.
Aku menikmati, tanpanya. Meski lama, tanpa bertatap muka, mana ada bercengkrama.
Aku nikmati, sebab aku akui. Aku menyayangi, tanpa sedikitpun tersaji grogi.
Tentu, aku peduli. Mana bisa aku mencederai. Intuisi hati melarangku untuk beranjak, lalu menjauh darinya. Aku sangat menyayanginya.
Bukan, bukan dia. Memang, dia hadir menyapa. Singgah memberi warna beda suasana. Menemani tanpa bicara tentang logika. Hanya rasa, rasanya, menurutnya.
Cinta... "Tenang saja, sebab aku tidak bisa. Aku tidak mampu melepaskan pikiranku, terus saja pikirkanmu."
Cinta... "Aku akan setia, hingga waktu menuntun kita berdua. Mempertemukan kita, lalu bina singgasana rasa yang tak sekadar, penawar gulana."
Cinta... "Aku bisa tanpanya. Namun maaf saja, aku tidak bisa tanpamu, tanpa kasih sayangmu, itu."
Oh ya cinta, "Dia bisa menerima, dia bersedia, lapang dada. Untuk kita, dia rela. Menanggalkan apa yang semestinya, dia tinggalkan."
DS, 26/08/2020