Dialog satu:
"Selamat sore kamu." Sore juga, jawabku.
"Apa kabar kamu?"Â Kabar baik tentunya, jawabku.
"Oh iya, what would you choose?! A way to reach heaven, or something else?!" Aku diam, belum tahu mesti menjawab apa. Tanyanya memang tanya yang tak hanya sekadar tanya.
Dialog dua:
"Selamat menikmati senja saat ini." Ujarnya.
"Selamat menikmati senja juga teruntukmu."Â Jawabku.
"Oh iya, apakah menurutmu menjadi seorang pribadi yang cermat itu, adalah sebuah kebutuhan?"Â Tanyanya.
"Bukan, bukan kebutuhan. Melainkan kewajiban, itu pun tergantung pemahamannya mengenai how to reach something meaningful." Jawabku.
Dialog tiga:
"Senja, tengah menemani, hingga nanti ujung sesi." Ujarnya.
"Tentu, itu tepat sekali." Jawabku singkat saja.
Hanya dialog, hanya percakapan. Tentang beberapa hal yang memang. Salah satunya adalah tentang sebuah penanggalan.
Satu tanggal yang bisa kapan saja, dimana saja, bahkan mungkin saat aku tengah sendirian, menjelang akhir perjalanan. Dimana apa saja, apapun itu, mesti aku tinggalkan, tanggalkan.
"Hidup ini memang indah bukan?"Â Meski tentu, indah pun keindahan yang akan dan bisa terasa olehku, itu tergantung pilihanku. Sebuah pilihan yang semestinya tidak akan sampai hati, untuk menjadi rupa-rupa pilihan yang akan aku sesali nanti di kemudian hari.
Keadaan, adalah keadaan. Sebuah akhiran keadaan, tentu akan seja diperjuangkan. Demi meraih senja yang akan berakhiran ragam macam kenikmatan. Kadar kenikmatan yang memang, sebenar-benarnya kenikmatan.
"Kami memang, sama-sama tengah menikmati senja saat ini. Kini kami terdiam, hanya bergumam. Alam pemikiran, tengah melanjutkan petualangan."
DS, 22/08/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H