Senin yang kesekian, di detik yang barusan saja sudi mampir untuk hadir. Sekilas namun membekas, sebab detik yang telah berlalu, mana mau hadir lagi. Detik pun menyampaikan, "Cukup sekian dan terima kasih."
Senin yang ngangenin. Mengingatnya, terbayang akan dirinya. Ah! Dirinya itu lho, yang menghadirkan secuil harapan. "Jadi harap-harap cemas nih."
Selasa yang menawan hadir di permukaan. Pucuk dicinta kemasan pun tiba. "Eh bukan, bukan kemasan. Duh maaf-maaf, melainkan seorang perawan, sang pujaan pun idaman. Pemanis kehidupan, muncul dihadapan."
Rabu seru, hadirkan kegirangan. Tentu saja, berkat dari sang perawan berkenan menerima. Menerima pernyataan, yang menjadikan sebuah ikatan mulai dijalankan.
"Ah, semoga saja berkelanjutan. Hingga akan sampai menuju jenjang yang akan berkepanjangan, menuju entah sampai kapan terpisahkan."Â Hanya ingin saja sih, cuma ingin, sebatas ingin.
Hari kamis yang begitu manis. Tak ada raut bengis, sebab yang ada adalah larik-larik gerimis, hadirkan suasana romantis, terasa sangat menyenangkan. "Duh! Ah! Senangnya hati, bahagia menari-menari nih."
Jum'at merapat mendekat. "Eh tapi, kok auranya pekat ya?! Ada sekat apa ya, yang menyumbat?" Kedekatan berubah drastis, keakraban jadi statis. "Duh! Ah! Rasa-rasanya jadi pengen nangis nih!!!"
Sabtu yang baru, rasanya justru sendu. Dia pujaan, idaman, mengutarakan sesuatu. Sesuatu yang ternyata jalan buntu. Mana ada titik temu, mana ada secercah rindu. "Kelabu sih iya."
Minggu penutupan, sang pujaan ngajak ketemuan. Di situ tuh, di tempat yang itu. Tempat dimana awalnya terikat, tertambat.
"Eh kini jadi tempat yang pada akhirnya menjadikan ceritanya berujung tamat. Bahasa lainnya sih... end of a story."
Hanya sepekan saja, sempat berpegangan. "Itu pun sedikit saja. Belum ada surat ijin menyentuh yang terlalu."Â Memang iya, dia yang bilang, jangan keterlaluan, apalagi berlebihan. Sedikit yang penting cukup, setetes... yang penting takjub.