Tepatnya di tahun 1998, terjadi di final Coppa Italia antara AC Milan versus SS Lazio. Saya baru berusia 18 tahun saat itu, seorang pelajar kelas 3 SMA di salah satu sekolah negeri di Kota Bandung. "Sedikit flashback nih, hehehe..."
Alessandro Nesta masih berusia muda, salah satu bek tangguh hasil tempaan tim junior Lazio. Seorang pemain yang kemudian hijrah ke AC Milan beberapa musim berikutnya, hingga akhirnya pensiun dari dunia sepakbola.
Hanya ada dua tim yang dipilih Nesta semasa menjadi pemain, SS.Lazio dan AC Milan, selain tentunya menjadi salah satu pemain timnas Italia bersama Alessandro Del Piero dan yang lainnya.
"Kembali ke inti cerita... dimana salah satu Stasiun TV Swasta terpopuler saat itu hingga saat ini, yang berkenan menayangkan pertandingan final tersebut."
Sesuai fakta sejarah, berhadapan dengan AC Milan adalah Final ke-3 bagi Lazio di ajang Coppa Italia. Dua final sebelumnya, Lazio sekali menjadi juara di tahun 1958, sekali menjadi runner-up di musim kompetisi 1960/1961. Melawan tim yang sama di dua final tersebut, yaitu Fiorentina.
"Kembali lagi ke inti cerita, hehehehe...", di final tahun 1998 tersebut di leg pertama, Milan lebih dulu menjadi tuan rumah di stadion San Siro Milan. Pun tentu saja ada seorang George Weah sebagai penyerang utama tim AC Milan.
Singkat cerita, dalam pertandingan tersebut ada satu momentum yang untuk saya adalah proses pembelajaran. Ya! Penjaga gawang tim AC Milan menendang bola sangat jauh hingga menuju jantung pertahanan tim Lazio, penyerang Milan yang berasal dari Negara Liberia, tentu saja adalah George Weah, yang tepat berada di area kotak terlarang tersebut.
Weah tidak menyia-nyiakan peluang, dengan satu sundulan kepala, Weah mampu mengelabui para pemain bertahan sekaligus sang penjaga gawang Lazio, yang adalah Luca Marchegiani.
Tepatnya di menit ke-90, ketika kedua kesebelasan bermain cukup terbuka sepanjang pertandingan, ketika tensi permainan terasa semakin memanas, lalu gol tercipta! Mengubah keadaan sama kuat 0-0, menjadi skor 1-0 untuk kemenangan tim AC Milan, hingga peluit akhir dibunyikan.
Milan menang, Lazio kalah. Kalah menyesakkan, di penghujung pertandingan. Weah merayakan gol yang diciptakan, para pemain Milan yang lainnya ikut merayakan gol mematikan versi seorang George Weah.
Di leg kedua, di stadion Olimpico Roma, Lazio kembali sempat tertinggal. Namun Nesta dan kawan-kawan mampu membalikkan keadaan, Lazio unggul 3-1. Aggregat menjadi 3-2, dan Lazio tampil sebagai juara Coppa Italia musim kompetisi 1997/1998.
Sepakbola adalah salah satu jenis olahraga terkemuka sedunia. Tentang olahraga sepakbola, yang sekarang sedang saya sajikan di tengah-tengah para pembaca yang budiman, tentu saja ada atau mempunyai filosofinya, katakanlah sebuah "Filosofi Bola".
Fakta final Milan versus Lazio di leg pertama di stadion San Siro Milan, yang akhirnya membuat saya menjadi cukup mengerti tentang apa yang bisa saya pelajari, dari sisi lain seputar dunia olahraga sepakbola, yang memang nyata tersedia unsur filosofinya.
"One incredible passing, one goal." Saya mencoba memaknainya seperti itu. "Satu umpan luar biasa, satu gol tercipta." Satu gol yang bisa membuat perbedaan, terwujudlah sebuah kemenangan.
Goal juga bisa bermakna tujuan, "Bukankah ketika berbicara tentang alur kehidupan, sebagai human being... tentu saja wajib, jelas arah langkah yang akan menjadi sebuah tujuan utama? Pun tentu saja diimbangi dengan upaya yang tidak cukup hanya ala kadarnya saja."
Passing kurang lebih bisa diartikan umpan, "Ya... cukup satu umpan saja! Sebuah umpan yang mungkin dan sangat mungkin adalah sebuah umpan lambung yang matang, akurat, menawan, sesuai harapan, dan tentunya tepat sasaran."Â
"Sebuah umpan yang bisa melahirkan perbedaan. Bernilai kelegaan perasaan dan pikiran, yang kemudian dijalani, dinikmati, disyukuri."
Incredible bisa diartikan luar biasa. "Upaya menjadi salah satu cara, agar luar biasa bisa tercipta, terasa, dan tentu saja bermakna berkah nan bahagia yang berkenan hadir mendekap jiwa raga."
Begitulah fakta ceritanya...  yang awalnya hanya sekadar pertandingan sepakbola biasa, namun kemudian melahirkan sebuah "Filosofi Bola" yang hingga detik ini, terasa sekali manfaatnya untuk saya sebagai pribadi.Â
"Tentu saja... berupaya senantiasa mencoba, mencari, lalu mengolah dan mampu memaknai apapun yang bisa saya pelajari, yang semoga saja akan menjadi ilmu, juga berkah tersendiri bagi saya sebagai pribadi, itu semua adalah hal-hal yang teruntuk saya sungguhlah berarti."
"Ya... berkat nonton final tersebut, saya jadi ngerti, nggak perlu terlalu keseringan ngasih umpan. Cukup satu umpan saja, dan itupun di momentum penentuan, yang sekiranya akan menjadi sebuah keputusan menentukan yang disesuaikan dengan ketentuan, hehehehe."
Salam Filosofi Bola
Ridwan Ali 21072020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H