Mohon tunggu...
Awank Darmawan
Awank Darmawan Mohon Tunggu... mahasiswa -

Mahasiswa Tingkat Akhir | Ketua PD. IPM Kota Makassar | Owner #NuunPrinting

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ada "Preman" di Sekolah

5 Oktober 2012   02:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:14 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kedua, guru, kepala sekolah dan stake holder pendidikan lainnya kurang berperan dalam pendidikan moral dan etika. Bahkan, guru seringkali menjadi trigger (pemicu) pelanggaran moral murid-muridnya. Misalnya seorang guru melakukan tindakan kekerasan kepada muridnya lewat hukuman fisik yang diberikan sekolah, secara tidak langsung hal itu telah mengajarkan si murid untuk melakukannya di luar.

Situasi sekolah yang hanya diwarnai rutinitas memuakkan hingga tidak membuat semangat belajar mereka tumbuh. Kepala sekolah dan guru-guru dalam pandangan para pelajar itu bukanlah figur-figur bersahabat dan hangat. Mereka hanya orang-orang tua yang sekedar datang pagi dan pulang sore membawa keluh kesah pada istri dan anak-anak mereka tentang gaji dan tunjangan yang dirasakan tidak pernah cukup untuk belanja sebulan. Sehingga ketika datang ke sekolah untuk mengajar mereka sering bermuka masam dan bertampang garang.

Ketiga, pendidikan orang tua dan pengaruh luar. Pendidikan orang tua dan faktor luar ini punya porsi cukup banyak dalam mempengaruhi maraknya tawuran pelajar. Misalnya, cara mendidik yang diterapkan orang tua penuh dengan kekerasan, akibat pergaulan di lingkungan masyarakatnya yang keras dan media informasi yang banyak menyuguhkan kekerasan.

Albert Bandura (1998) dalam learning social theory menyatakan bahwa kondisi lingkungan dapat memberikan dan memelihara respon-respon tertentu pada diri seseorang. Hal itu karena individu melakukan transformasi sebagai representasi dari pengalaman proses pengamatannya terhadap individu model. Bandura mengembangkan model deterministic resipkoral yang terdiri dari perilaku, person/kognitif dan lingkungan. Menurut Bandura, proses mengamati dan meniru orang lain adalah merupakan tindakan hasil belajar. Teori yang dikemukakan Bandura ini menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan.

Selain itu, pelajar memiliki kondisi kejiwaan yang tidak pernah mau terikat dan diikat dengan apapun. Mereka hanya menuruti apa saja yang mereka senangi. Dan semua itu mereka temukan di luar sekolah. Saat mereka pulang, saat mereka bergerombol di jalanan, saat mereka kebut-kebutan, saat mereka ke mall dan saat mereka bercengkrama tentang segala hal di media social. Di luar sekolah mereka seakan menemukan dunia yang tidak mereka jumpai dari rutinitas sekolah, dunia yang menjemukan menurut mereka.
Anak usia sekolah (remaja) seperti dikatakan Soren Kierkegaard merupakan tahapan manusia tanpa orientasi hidup tertentu kecuali kesenangan belaka (estetis). Usia remaja yang dikuasai naluri seksual, oleh prinsip-prinsip kesenangan hedonistik dan bertindak menurut suasana hati (mood). Mereka tidak punya komitmen dan keterlibatan pada apapun. Kemauan mereka hanya mengikatkan diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Mereka menjadikan trend dalam masyarakat sebagai petunjuk, sebagai kitab dan kamus mereka sehari-hari.

Transformasi Sistem
Tak dapat dipungkiri lagi, kalau tawuran pelajar saat ini cenderung telah menjadi trend. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah yang revolusioner untuk segera memutus mata rantai penularan tindakan destruktif ini. Dan kesemuanya dimulai dari sekolah. Transformasi sistem pendidikansaya anggap merupakan hal yang urgen untuk segera dilakukan. Adalah mewujudkan pendidikan yang humanis-partisipatif, responsif dan mengedepankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang terasa mulai tergerus oleh pengaruh kemajuan informasi dan globalisasi. Nilai-nilai kesetiakawanan sosial, tenggang rasa, penghormatan kepada sesama, persaudaraan, tanggung jawab social, dsb. Nilai-nilai ini tak bisa diserahkan hanya kepada guru agama atau PKn saja, tetapi harus juga diintegrasikan ke semua mata pelajaran dan disepakati oleh semua guru.

Pendidikan yang humanis-partisipatif pun harus dimulai dari mengubah cara pandang kita terhadap warga belajar. Pelajar mesti diposisikan sebagai subjek yang berkepentingan dalam proses pendidikan kita. Sudah saatnya menyudahi anggapan bahwa pelajar hanyalah objek yang tidak tahu apa-apa soal diri mereka. Seharusnya mereka juga mendapatkan ruang untuk mengartikulasikan dirinya dan turut berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan pendidikannya. Sekolah mesti segera menjadi tempat yang nyaman bagi warga belajar dalam mengeksplorasi dan menumbuhkembangkan jati diri. Mereka tak boleh lagi didesain menjadi sosok yang serba penurut, patuh dan taat pada komando karena yang akan terjadi adalah lahirnya sosok mekanis yang kehilangan sikap kreatif dan mandiri.

Meminjam istilah Paolo Freire, pendidikan Indonesia ke depannya harus membebaskan. Seperti apa yang dikenal dalam Islam, amar ma’ruf (mengajak pada kebenaran) nahi mungkar (liberasi, pembebasan) pendidikan mesti dititik beratkan pada pencarian kebenaran dan pembebasan dari tirani ketidakadilan dan segala tindak kekerasan. Sistem pendidikan yang represif harus segera dihapuskan. Pemberian punishment ditiadakan karena hal itu hanya sekedar menumbuhkan kesadaran naïf. Pendidikan kita kelak mestinya harus menanamkan kesadaran kritis lewat pendidikan yang persuasif-reedukatif. Jika hal ini tidak segera dilakukan, maka jangan heran jika ada “preman” di sekolah. Wallahu a’lam.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun