Mohon tunggu...
Awank Darmawan
Awank Darmawan Mohon Tunggu... mahasiswa -

Mahasiswa Tingkat Akhir | Ketua PD. IPM Kota Makassar | Owner #NuunPrinting

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tolak Neoliberalisme!!

6 September 2012   17:38 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:50 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam naskah itu tertera jelas pertumbuhan amat didengunkan. Karena pertumbuhan akan memberikan efek tetes minyak bagi masyarakat. Dengan begitu diharapkan terjadi pemerataan, mengurangi pengangguran dan kemiskinan. Inilah yang disebut dengan trickle down effect. Saya melihat pak Bud, memahami sejarah ekonomi kita sebagai sebuah rangkaian peristiwa saja, padahal menurutku amat banyak hal substansial yang bisa dipelajari atau dimaknai disana. Juga pak Bud abai dengan serangkaian aspek struktural, misalnya bagaimana relasi ekonomi kita sebagai bagian dari struktur besar merkantilisme, Belanda (VOC) sebagai negara jajahan. Itu yang membuat begitu kuatnya Hatta dalam mempertahankan koperasi sebagai basis ekonomi bagi Indonesia. Walau pun ini mungkin "gagal" dalam implementasinya.

Tulisan ini sama sekali tidak ingin masuk membicarakan pribadi pak Bud, saya lebih tertarik mempersoalkan wilayah pemikirannya semata karena saya takut terjebak dalam kesesatan berfikir (fallacy) dan lalu menyerang orang secara pribadi atau Argumentum ad Hominem. Sosok pak Bud adalah pribadi yang sederhana dan baik dan tak banyak basa-basi.

Lalu kenapa harus menolak Neoliberalisme?
Jelas secara normatif, ekonomi haluan liberal dalam konteks Indonesia tidak mendapat tempat secara konstitusional. Sebab dalam ekonomi nasional yang dianut adalah asas kolektivisme. Ini tercermin dalam UUD 1945 ada dua anak kata yang amat menarik yaitu ‘kesejahteraan’ dan ‘keadilan’. Artinya para founding father negeri ini merancang suatu bangunan ekonomi yang menyejahterakan dan berkeadilan. Dengan koperasi sebagai instrumennya. Para pendiri republik menyadari betapa berbahayanya kepemilikan individual apalagi berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Kedua, secara praksis ekonomi, sebenarnya ekonomi neoliberal telah gagal dalam menyejahterakan umat manusia. Rentetan krisis ekonomi yang terjadi mulai tahun 30-an, 60-an, 90-an dan sekarang 2009 menunjukkan betapa model ekonomi ini tidak memiliki basis sosial yang kuat dan menjadi alasan bagi negara-negara dunia ketiga untuk mempertahankannya. Ia telah gagal dan menjilat ludahnya. Dengan sangat malu, terpaksa harus melakukan campur tangan fiskal dalam bentuk stimulus untuk menjaga agar praktek ekonominya tidak ambruk.

Saya ingin mengutip James Tobin, peraih nobel ekonomi tahun 1981, ia menulis begini "Kita menghamburkan semakin banyak sumber daya kita ke dalam semakin banyak aktivitas keuangan yang kian menjauh dari produksi barang dan jasa. Itulah kegiatan pengerukan laba yang sama sekali tidak punya produktivitas sosial. Genesius komputer telah disalahgunakan untuk 'ekonomi kertas', tidak membantu transaksi ekonomi secara produktif, tetapi hanya menggelembungkan jumlah dan ragam transaksi finansial. Itulah mengapa sampai kini tinggi hanya menghasilkan dampak mengecewakan bagi ekonomi, membantu pembiakan spekulasi yang ganas, tidak efisien dan bermata rabun".

Dengan jujur Andrew Lahde, seorang pialang pasar saham yang pada tahun 2007 lalu pernah melipatgandakan uang para kliennya sampai 1.000 persen. Ia adalah pemilik Lahde Capital. Ia tidak sampai bunuh diri akibat krisis finansial yang melanda USA, namun ia menulis surat selamat tinggal yang kira-kira intinya bahwa hidup akan kian mencekik dan resesi ekonomi beberapa tahun kedepan belum akan berakhir. "Saya memilih duduk di pinggir, menunggu. Bukankah duduk dan menunggu tanpa melakukan apa-apa adalah cara yang selama ini kita pakai untuk menjarah uang kredit perumahan? Kapitalisme telah hidup 200 tahu, tetapi zaman telah berubah, dan sistem ini sekarang telah menjadi sedemikian korup".

Secara etik, ekonomi neoliberal sangat tidak adil. Hukum rimba tak bisa dihindari dalam kompetisi pasar. Akhirnya menghalalkan segala cara untuk mengakumulasi kapital, baik yang dilakukan oleh individu pemodal atau pun yang dilakukan oleh negara. Lahirlah anak haram rezim koorporatokrasi.

Akhir kata wassalam kapitalisme global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun