Mohon tunggu...
Awank Darmawan
Awank Darmawan Mohon Tunggu... mahasiswa -

Mahasiswa Tingkat Akhir | Ketua PD. IPM Kota Makassar | Owner #NuunPrinting

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Mau Ngebom Gereja Lagi? Silakan"

27 September 2011   15:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:34 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan ini bermula dari statement salah seorang teman Nasrani, Andre namanya, saat bercanda di depan rumahnya beberapa hari yang lalu. Teman saya bilang, "Tuhan kami menetap di hati bro,, tabe'(silakan), kalo mau ngebom gereja yang lainnya".

Ada rasa haru, sekaligus malu mendengar pernyataannya. Bayangkanlah, ia tak membalas perlakuan para pengebom gereja itu dengan caci-maki atau bahkan balas mengebom. Tidak! ia malah memberi segurat senyum diakhir pernyataanya itu.Lantaran sikapnya yang manis itulah, saya dibuatnya malu. Bayangkanlah, dia malah memberi senyum seraya menyilakan kepada perusak gereja untuk membakar gereja lainnya. Kontras benar dengan tayangan video di televisi yang menyajikan tayangan orang-orang yang murka dan membabi-buta, merusak apa saja yang ada di hadapan mereka, termasuk gereja, seperti yang banyak diberitakan oleh media massa.

Saya yakin, hatinya dan saudara-saudara saya yang beragama Nasrani tersakiti oleh peristiwa ini, sebagaimana ketika Ashar, kawan saya yang Muslim, mendengar kabar di Amerika ada pembakaran Al Quran, di Denmark surat kabar Jyllands-Posten memuat karikatur Nabi Mauhammad SAW.

Sama dengan sikap Andre, Ashar dan sebagian umat Muslim lainnya juga menanggapinya dengan bijaksana, bahwa yang melakukan tindak penistaan terhadap Islam hanyalah oknum yang tak bertanggung jawab, oknum yang tak memikirkan akibat dari perbuatannya. Perbuatan oknum, jelas bukan gambaran dari keseluruhan.

Terlepas dari musabab meletusnya kemarahan, betapapun setiap agama mengajarkan agar manusia bisa mengendalikan amarahnya sehingga tidak menimbulkan api yang bisa membakar apa saja. Yang jadi soal adalah, kenapa belakangan di negeri ini justru kemarahan senantiasa berujung pada ketidak-warasan akal. Rambu-rambu yang diajarkan oleh semua kitab suci seperti tak berarti apa-apa, demikian juga perangkat hukum yang menjaga ketertiban umum, tak berdaya menghadapi amarah warganya.

Tak terbayangkan, jika amarah sekelompok orang dibalas oleh kelompok lainnya. Tentu persoalan akan bertambah panjang dan semrawut, seperti kerusuhan antarsuku di Kalimantan beberapa waktu lalu.Tentu saja, sebagian ada juga yang marah-marah. Mafhumlah, agama adalah fitrah. Menurut para pakar, di dalam jiwa manusia itu ada enam rasa/potensi, yaitu agama, intelek, sosial, susila, harga diri dan seni. Fitrah sendiri adalah potensi-potensi tertentu yang ada pada diri manusia yang telah dibawanya semenjak lahir.

Entahlah apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini. Tapi satu hal, rasanya kita telah kehilangan "cara bertanya" dan "cara menyampaikan pendapat" yang santun, yang dulu dicontohkan oleh leluhur kita.

Dalam keseharian, kerap benar kita menjumpai seorang anak atau remaja yang bertanya begini kepada kita, "Si Polan ada?" Pertanyaan yang dingin dan kaku tanpa menyebut terlebih dahulu orang yang ditanya. "Pak, Bu, Mas, Mba, Si Polan Ada?" Begitu misalnya.

Pun demikian ketika menyampaikan pendapat. Cara-cara berdialog rupanya dianggap bertele-tele. Hajar dulu, urusan belakangan. Dan... bres! Bres! Bres! Setelah semuanya luluh-lantak, setelah semuanya jadi abu, setelah nyawa pegat dari raga, barulah kita ngungun dan bertanya-tanya, betapa telah kelewat jauhnya kita dari yang disebut beradab.

Tapi untunglah, kita masih menyisakan orang-orang baik macam Andre dan Ashar, serta saudara-saudara lainnya yang senantiasa menjaga akal sehatnya, sehingga tidak gampang tersulut amarahnya oleh sebuah sebab yang bahkan telah melukai fitrahnya.

Andre, Ashar, dan saudara-saudara kita yang baik tentu masih percaya, akal sehat adalah benteng pertahanan terakhir bagi kejernihan hati. Akal sehat itulah suluh penerang yang memandu manusia mengenal kemanusiaannya. Itu sebabnya, Ashar tak ikut-ikutan mengumbar amarahnya dengan membalas membakar kitab suci agama lain. Itulah soalnya, Andre masih bisa tersenyum tatkala gereja di Kepunton, Solo dibom.

Terima kasih Andre, untuk senyummu, juga untuk kebaikanmu dengan tidak ikut-ikutan marah. Moga-moga pikiran dan hati kita senantiasa bersih, agar Tuhan tetap tinggal di hati kita sekalian.

Salam damai, untuk kita sekalian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun