Mohon tunggu...
Awang Praing
Awang Praing Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Teologi UKAW Kupang.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri Hidup di Dalam Mimpi itu

21 November 2013   16:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:51 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tubuhku lemaspikiranku pun letih, aku hanya ingin berbaring. Aku ingin melayang terbawa angin yang masuk ke dalam kamarku.Semakin ku menikmati alunan angin itu, pikiranku seolah-olah semakin di tusuk. Kepalaku sepertisedang diikat. Aku mau terlepas terlepas dari ikatan pada kepalaku karena sangat menyiksa diriku, semakin kuberusaha aku semakin aku kehilangan kesadaranku.

Ketika itu tanganku tanganku di pegang olehnya dengan sangat keras. Tanganku seolah kaku tak mampu di gerakan. Tubuhku pun membatu. Suatu tolakan yang sangan dahsyatkekuatannya dari bawah telapak kakiku mengangkatku dengan paksa lalu melayangkanku masuk ke dalam kegelapan dengan tiada setitik cahaya pun. Dadaku sesak, aku hanya mau menghiup udara sebabas-bebasnya. Semakin ku berusaha mnghirup udara dadaku semakin sesak. Aku terpenjara dalam kegelapan. Mulutku terbuka lebar untuk berteriak tapi telingaku tak mendengar apa-apa, hanya desusan angin kencang yang datang silih berganti menghantam gendang telingaku. Tapi aku masih dalam keadaan kacau, kali ini lebih kacau dari sebelumnya. Kegelapan ini pun semakin menerkam aku memaksaku menutup mata di dalam kegelapan. Ku berharap ada terang yang dapat ku lihat saat mata ku tertutup. Ya, memang benar hal itu yang terjadi. Ada cahaya yang sangat terang bahkan sangat menyilaukan mataku dan membuat kepalaku kembali tertusuk. Kebingungan pun datang dengan tiba-tiba menggigitku. Aku melihat diriku yang sama sedang disorot oleh cahaya yang sangat tajam. Diriku sedang berada dalam lingkaran kerumunan lelaki-lelaki tua berrambut panjang bertubuh setengah manusia, setengah binatang, tubuh mereka sangat aneh, selalu berubah-ubah mengikuti arah bola mataku yang sedang melotot. Ternyata sebagian dari lelaki tua itu menggunakan pakainku, sepatuku, perhiasanku, menghambur-hamburkan uang-uangku, mereka saling mengejek satu dengan yang lain. Dan ketika diriku yang sedang dalam lingkaran itu memandang wajah para lelaki tua itu, sesungguhnya wajah mereka adalah wajah para lelaki yang pernah aku permainkan. Wajah-wajah yang penuh dengan kemaran, kemarahan yang berkepanjangan dengan dendam yang membara. Wajah mereka memaksa diriku yang sedang berdiri tegak di sudut itu berpikir bahwa sebab kemarahan mereka itu adalah buah perbuatanku yang akan berkepanjangan sampai masa tuaku.

Dalam keadaan kaku, kaki kiriku bergerak ke depan disusul kaki kanaku, salinbg bergantian, namun bukan aku yang menggerakannya. Adda sesuatu yang memaksa kakiku untuk berearak maju, bagaikan menarik kedua kakiku dan mendorong tubuhku, tapi aku massih saja seolah kaku dan tak mampu bersuara. Tanpa aku sadari langkahku telah jauh meninggalkan diriku yang sedang dikelilingi lelaki-lelaki tua yang menyeramkan itu dan meninggalkan diriku juga yang sedang ketakutan dan penuh kebingungan dalam lingkaran kerumunan yang menerkam diriku yang di sana itu.

Kedua biji mataku melotot memaksa terpelocot, melihat jurang tajam yang menganga dan siap menelan tubuhku. Jantungku berdetak menghancurkan gendang telingaku. Dengan cepat kaki kiriku kembali tegak, disusul rapi kaki kananku. Tubuhku terpaku lurus di depan mulut jurang tajam itu. Bola mataku kembali memutar dengan cepat masuk ke dalam kelopak mataku. Telingaku tak mendengar bunyi detak jantungku lagi.Seketika itu juga tubuhku kaku daan mengeras. Kepalaku di pukuldan kedua bola mataku tiba-tiba dipaksakan untuk tunduk dan melihat isi dalam jurang itu. Dari atas aku melihat mereka menampar wajahku dengan sangat kencang. Wanita-wanita itu…. ngWanita-wanita miskin yang selalu aku siksa, dan semua wanita yang pernah aku sakiti.

Mereka semua satu per satu mengacungkan kedua tangan menamparku bolak-balik pada kedua pipiku dengan wajah yang sangat menggeram. Di antara wanita-wanita itu, aku melihat ibuku, ia membawa jerigen di tangan kananya dan api obor terangkat di tangan kirinya. Semakin cepat langkah kaki ibuku mendekati diriku yang sedang di tampar-tampar oleh wanita-wanita itu. Dari atas, tubuhku ingin keterjunkan uk menyelamatkan diriku yang akan di bakar hidup-hidup oleh ibuku, tapi tubuhku sangat kaku, dan saat ini ayahku sedang memeluk tubuhku untuk menahanku ddari atas. Ayahku, dia pun juga menginginkan dan membiarkan tubuhku yang di bawah itu terbakar.

Hidungku mengerluarkan darah karena tamparan keras mereka, darah yang mengalir sangat banyak, membasahi tubuhku. Aku bingung dan dan hatiku ketakutan, semakin aku bingung dan takut, ibuku telah berdiri lurus tepat di depanku, iaan diang tg menyiramku dengan minyak dalam jerigen yang dibawanya, dengan kencang ia melemparkan api obor yang di tangan kirinyaitu ke tubuhku. Seolah diri yang terkaku di atas sedang melihat aksi sirkus yang sangat menakutkan para penonton. Tapi disana, di bawah, di dalam jurang itu ada tubuhku yang telah terbakar. Namun aku pun masih juga dapat mendengar suara minta tolong pada ibuku dan ayahku dan kepada aku juga yang ada di atas. Tubuhku tak terbakar tapi aku adda dalam perrepian yang sangat panas.

Ibuku menangis, ayahku menyesal, dan aku terrdiam kaku melihat diriku berterriak dalam perepian itu. Aku mendengar suara ibu dan ayahku, mereka berdua serentak berteriak dan berbicara. Suara mereka membelah kedua gendang telingaku. Aku mendengar isi hati mereka, aku merasakan kehangatan kasih sayang mereka. Aku telah membawa kepahitan di hati mereka berdua.

Panasnya perapian dari bawah tiba-tiba berlari menyambar diriku yang sedang terrpaku. Dengan sangat aneh, kakiku berlari begitu kencang meninggalkan perapian panas yang mengejar diriku. Aku berlari meninggalkan aku yang dalam perapian panas itu, ibu dan ayahku yang sedang menangis, beserta wanita-wanita yang sedang terrtawa bahagia melihat diriku dalam perrapian.

Perasaan hatiku yang ketakutan berubah menjadi suasana hati yang penuh kebahagiaan,meskipun aku masih dalam keadaan berlari dan hatiku memaksaku untuk semakin berlari kencang menuju tujuan yang sedang ada dalam hatiku saat itu. Gerakan kakiku tiba-tiba dihentikan olehnya. Aku kembali berdiri tegak. Orang yang dari semula membawaku masuk kedalam Aku yang penuh penderitaan itu,ia kembali menggendong lalu membaringkanku.

Aku terbangun…hatiku sedih,air mataku mengalir tiba-tiba. Baru ku sadari,aku telah melihat semua perbuatanku yang selama ini kulakukan tanpa ku sadari dan yang telah membuat orang-orang disekitarku membenci bahkan sama sekali tidak menginginkan keberadaanku di tengah-tengah mereka.

Aku ingin keluar dari kamarku dan merasakan sejuknya tiupan angin seperti yangpernah aku rasakan dulu,dengan harapan yang besar bahwa angin itu akan membawa kesejukan di hati yang telah lama beku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun