Mohon tunggu...
M.Awan Eko Sabillah
M.Awan Eko Sabillah Mohon Tunggu... -

Seorang Suami dari Wanita Luar Biasa , Seorang Ayah dari Putri Kecil yang Mengagumkan, Dan Aku Hanya Lelaki Biasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Anak-anak Cahaya

31 Maret 2010   01:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:05 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika anda bertanya berapa harga kebahagiaan? maka harga serupa yang harus ditebus untuk mencerabut keceriaan dari setiap urat jiwa adalah jawabnya. Keberhagaan sesuatu yang ( pernah ) kita miliki, akan terukur manakala kita hadir dalam episode kehidupan bertajuk "kehilangan", hingga kemudian semua indrawi akan menakar sejauh mana nilai guna sesuatu yang hilang.

Kehilangan, barangkali momentum yang tidak pernah memberikan kesempatan kepada kita untuk menyisakan ruang suka, serupa cinta yang menguap untuk kemudian berganti rupa dengan wajah lara dan tidak berselang lama menjadi kebencian, dalam banyak hal, termasuk kebencian akan kehidupan itu sendiri.

Sejarah tidak pernah berhenti menyodorkan kepada mata-mata mungil tanpa bersalah itu kenyataan yang membuncahkan beribu-ribu pertanyaan " mengapa?" , tetapi kemudian pada saat yang sama jawabannya adalah sebuah kesadaran yang dipaksakan bahwa diri mereka terlalu lemah untuk sekedar berkata "tidak".

Di pojok bumi ini sedang meringkuk seorang bocah, menatap takut wajah menyeringai puas orang yang telah menyakitinya, dalam banyak macam rupa ; perdagangan anak ( human trafficking ),pelacuran di bawah umur, korban perang, penistaan kehormatan ( pedofilia ), dan seribu wajah angkara lainnya

Dan bocah - bocah itu, pantaskah jika kemudian jenak-jenak keceriaan-yang patutnya dirasakan sekali dalam fase kehidupannya-terenggut?

Peradaban ini dibangun atas dasar energi bernama harapan, kekuatan yang membuat seorang renta menanam pohon di usia senjanya tanpa ia sendiri tahu untuk menuai buahnya, pun energi yang sama dirasakan seorang ibu membaluri buah hati dalam telaga kasihnya tanpa mengetahui terbalasnya budi baik itu.

Dan masa kanak-kanak adalah waktu untuk menyemai harapan, energi untuknya menyambung hidup. Bahwa kemudian pada fase ini, sebuah pijakan untuk men-set seberapa berkualitas jiwa-jiwa baru untuk tumbuh nantinya. Apakah kemudian ia tumbuh menjulang hingga menembus cakrawala sejarah atau cukup menjadi bonsai, kesemuanya bergantung seberapa baik pohon harapan itu dirawat.

Aku, Engkau dan kita semua adalah bapak - ibu peradaban. Kita adalah - seperti kata Kahlil Gibran- busur bagi melesatnya anak-anak panah peradaban ini. Namun betapa pun bocah-bocah itu adalah putra-putri sang hidup,tapi amanah kita untuk menyediakan "rumah" yang layak bagi jiwa-jiwanya, selaksa cinta buah dari amanah karena di rahim ibu mereka janji kehidupan diikrarkan saat Tuhan mereka bertanya "Alastu birabbikum " (Bukankah Aku ini Tuhanmu), kemudian janin mungil itu pun menjawab "Qaaluu balaa Syahidnaa", (Benar, Wahai Tuhanku, kami semua menjadi saksi)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun