Mohon tunggu...
Kurniawan T Arief
Kurniawan T Arief Mohon Tunggu... lainnya -

Indonesian People

Selanjutnya

Tutup

Money

Menagih Pemkot Cirebon Me-Moratorium Mal & Minimarket

17 November 2013   14:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:03 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KOTA Cirebon beberapa tahun terakhir telah merupa menjadi metropolis baru di pesisir pantura yang gersang. Tapi sayang, pembangunan fisik yang ternyata menonjolkan kekhasan pembangunan perkotaan ini, mengesampingkan pertimbangan lain seperti aspek ekologi, sosial, hingga wahana ekonomi rakyat. Terkait mengenai ketiga hal ini, sepertinya Kota Cirebon sulit mengejawantahkan program pembangunan yang berpola ekonomi kerakyatan. Hal ini, salah satunya dapat dilihat dengan semakin banyaknya pembangunan mal (pusat perbelanjaan modern) di Kota Cirebon.

Kebijakan Pro Bohir

Pada kamis (07/11/2013) kemarin, gedung perbelanjaan modern: Lotte Mart yang terletak persis di depan kampus Unswagati, diresmikan. Aksi demonstrasi mahasiswa turut mewarnai hari perdana pembukaan mal tersebut. Para mahasiswa menuntut Pemkot membuat moratorium pembangunan mal dan minimarket sebagai komitmen untuk mewujudkan ekonomi kerakyatan di Kota Cirebon (Harian Pikiran Rakyat). Penulis bersetuju dengan tuntutan mahasiswa.

Jika merunut kepada lokasi pendirian LotteMart, jelas-jelas pendirian ini telah melangkahi aturan yang berlaku. Karena, menurut hemat penulis proses pembangunan dan keberadaan mal tersebut akan berdampak secara lingkungan, sosial dan ekonomi. Padahal, dalam surat keputusan menteri negara lingkungan hidup No. Kep/48/MENLH/11/1996  dijelaskan bahwa batas kebisingan di lingkungan sekolah dan area pendidikan adalah sebesar 55 dBA, tak lebih!

Dengan adanya mal tersebut, tingkat kebisingan di daerah itu akan meningkat dikarenakan peralatan yang digunakan selama proses pembangunan menimbulkan kegaduhan. Setelah jadi, kebisingan itu semakin parah karena meningkatnya jumlah pengunjung yang mendatangi mal. Juga oleh kendaraan yang digunakan pengunjung maupun angkutan umum yang antri mencari penumpang. Keberadaan LotteMart, jelas akan memicu terjadinya kebisingan permanen di area tersebut. Dalam hal ini kampus Unswagati di sebelah barat, dan SMA/SMK serta sebuah masjid di sebelah timurnya. Dapat anda bayangkan betapa terganggunya aktifitas anak-anak anda yang bersekolah disitu.

Belum lagi, tingkat paparan debu dan emisi gas buang kendaraan yang semakin meningkat. Hal ini dipengaruhi karena trafik jumlah kendaraan yang melintas di perempatan jalan Pemuda dan jalan By Pass semakin padat. Hal ini dapat memicu timbulnya resiko penyakit ISPA. Ini belum mengabsen dampak psikologis pengguna jalan karena kemacetan, atau kerugian materiil warga akibat bencana banjir karena resapan airnya berkurang. Tidakkah pemerintah Kota Cirebon mempertimbangkan aspek-aspek ini dalam memberikan ijin?

Pada tahun 1982, pemerintah mengeluarkan UU soal lingkungan hidup. Dari sini, istilah analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) mulai dikenal. UU ini diatur kemudian dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1986, diganti menjadi PP Nomor 51 Tahun 1993, dan terakhir diganti lagi menjadi PP Nomor 27 Tahun 1999. Dalam PP itu disebutkan, Amdal merupakan kajian bagi dampak besar atau penting, suatu usaha atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan dalam suatu usaha atau kegiatan. Lalu yang menjadi pertanyaan penulis, beranikah Pemkot Cirebon mentransparansikan laporan-laporan Amdal tersebut ke muka publik?

Tentu pembaca masih ingat dengan peristiwa penyegelan minimarket di pasar perumnas pada tahun 2012 lalu oleh Satpol PP dengan alasan usaha dan gedungnya belum berijin. Namun, entah kenapa akhirnya minimarket tersebut kembali dibuka dan beroperasi.

Mungkin, Pemkot Cirebon perlu berkaca dari Bengkulu. Walikotanya Ahmad Kanedi sejak tahun 2011 telah resmi mengeluarkan kebijakan moratorium pembangunan mal baru di wilayahnya. Kebijakan ini akan berlaku sampai 2015 nanti. Alhasil, kini Bengkulu berhasil menjadi salah satu kota yang mengalami pertumbuhan ekonomi kreatif dan mikro yang pesat di pulau Sumatera.

Selain eksekutifnya, legislator Kota Cirebon tak ada salahnya meniru apa yang dilakukan oleh Komisi B DPRD Kota Bukittinggi yang mendorong Pemkotnya untuk menjadikan tahun 2013 ini sebagai program tahun ekonomi kerakyatan. Sekaligus membuktikan kepada Pemerintah Provinsi, Pusat bahwa Bukittinggi siap menjadi pusat percontohan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Mengingat, faktor-faktor pendukung seperti pertumbuhan koperasi, UKM, UMKM berhasil tumbuh dan berkembang sukses. (Harian Pos Metro Padang; 18 Januari 2013)

Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia Prof. H. Zaini Dahlan menyatakan ekonomi kerakyatan saat ini di berbagai daerah baru sebatas jargon. Penerapannya belum tampak karena sistem ekonomi di Indonesia masih berpihak kepada pemilik modal besar. Pendapat senada tentang pentingnya ekonomi kerakyatan dan keberpihakan pemerintah terhadap UMKM diutarakan mantan Presiden RI Jusuf Kalla dalam pidatonya di kantor Bank Indonesia Kota Cirebon, pada Kamis 19 September 2013 yang juga dihadiri oleh Walikota Cirebon (sumber: www.inilah.com). Ia menyatakan pola UMKM yang dikembangkan seluruh masyarakat adalah solusi untuk membangun ekonomi kerakyatan di Indonesia. Dengan begitu, masyarakat dipastikan perlahan dapat meningkatkan ekonominya secara luas.

Beranikah Moratorium?

Kota-nya para wali kini telah berubah. Kota yang hanya seluas 37.54 km2 itu, kini telah dibuat sesak dengan gedung perbelanjaan / pertokoan modern yang telah mencapai 17 nama.

Sementara, di tengah seukur jengkalan sempit ini, belum cukup membahas soal ekonomi kerakyatan saja. Tentu kita harus menyediakan ruang publiknya yang apik lan ramah bagiwong cilik. Namun, apa nyana. Ruang publik seperti taman krucuk atau gedung kesenian Nyi Mas Rarasantang terlihat ‘kurus’ dan lusuh lantaran diurusdengan setengah hati. Jangankan berusaha untuk mengatasi ‘bau pesing’ serta kesan angkernya yang menyengat, berkomitmen dalam meramaikan kegiatan di tempat itu saja seperti enggan. Mereka, -pemangku kebijakan- di kota ini sepertinya ‘gegar otak’. Apakah selalu begitu? Pembangunan fisik di kota ini begitu menjulang buta tak kompromi terhadap aturan. Meneruskan kebutaan pemimpin yang lalu, ataukah memang sama-sama buta?

Kini, inisiatif dan motif pembangunan Pemkot Cirebon dipertanyakan kembali oleh warganya sendiri. Terutama, soal program dan kebijakan yang akan membawa seisi kota ini. Menjadi pusat embrio ekonomi kerakyatan di timur Jawa Barat, atau menjadi contoh tambahan dari ketimpangan pembangunan daerah yang memihak para bohir? Jika analogi kedua yang dipilih, tentu akan menyisakan sekelumit cerita tentang bencana sosial ekonomi, ekologis dan budaya bagi generasi Caruban Nagari di masa depan. Sejarahmu, wahai pemimpin: dipertaruhkan di masa ini.

(Artikel ini berjudul asli Menggugat Pemerintah ''Berotak Beton" pada 13 Nov 2013 oleh  saya sendiri)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun