Sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa, terkhusus di Jawa Timur tentu tidak asing dengan penampakan kendaraan yang lalu lalang secara "khas" seperti ini di bulan Mei hingga menjelang senja tahun.
Truk-truk colt diesel maupun gandeng ini menjadi sarana penyambung bahan baku bagi pabrik-pabrik gula sekaligus penyambung rezeki bagi baik sopir angkutan hingga pekerja pabriknya.
Penggunaan truk semakin marak seiring dengan ditutup nya jalur lori/(kereta pengangkut tebu dari kebun) yang sudah ditinggalkan.
Tebu ditebang, dan selanjutnya diangkut menggunakan truk-truk sedemikian rupa untuk dikirim ke pabrik gula dan bisa juga ke pengepul tebu yang ujung-ujungnya juga masuk pabrik gula yang sudah berumur puluhan hingga ratusan tahun.
Tebu sebagai bahan baku gula
Bicara soal tebu, rumput rumputan yang bernama latin Saccharum Oficinarum ini masih menjadi bahan baku utama gula kristal putih di Indonesia.
Tumbuhan yang ketika masak bisa tumbuh tegak hingga 4 meter ini memiliki kandungan sukrosa sebagai sumber utama pembuatan gula kristal itu sendiri.
Tebu di Indonesia pun memiliki varietas yang beragam dengan keunggulan nya masing-masing. Varietas tersebut, sesuai tipe kemasakannya dibagi menjadi tiga kelompok yakni varietas masak awal (PS881, PSBM 901, PSCO, PSJK, PS862).
Kemudian ada varietas masak tengah (PS882, GMP 1, BL, PS921), dan varietas masak akhir (PSDK 923, PS 864, GMP 2).
Di pulau Jawa khususnya Jawa Timur, Mayoritas varietas BL lah yang menjadi primadona di hampir semua pabrik gula meski ada beberapa alternatif varietas yang tak kalah unggul.
Kemasakan tebu bergantung dengan ruasnya, semakin banyak ruasnya, semakin tua umurnya. Tebu dipanen sekali setiap tahunnya (11-12 bulan masa tanam) dan setelah puncak kemasakan potensi gulanya akan makin turun.
Kemasakan puncak ditandai dengan munculnya bunga sebagai pertanda saat itu adalah maksimal potensi sukrosa/gula yang dapat dicapai.
Tak hanya di Sawah, tebu juga bisa di tanam di ladang dan bahkan di pekarangan. Selain itu tebu juga dapat dijadikan lahan bisnis minuman dengan es tebu nya yang menyegarkan.
Tak Afdhal juga bila tak menyebut rendemen yang secara kasar merupakan gula yang dapat dihasilkan dari tebu.
Rendemen erat kaitannya dengan kemasakan, komposisi kimiawi dari tebu, curah hujan, yang kadangkala sering anomali sehingga membuat petani galau dan hanya bisa "nrimo ing pandum" serta lama waktu dari tebang hingga masuk ke mesin penggiling di pabrik gula yang aktif 24 jam dalam 1 musim giling.
Eksistensi dan dinamika perkebunan tebu
Seiring berjalannya waktu dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, dilansir dari tempo, jumlah lahan tebu makin berkurang tiap tahunnya. Tahun 2019 saja terjadi alih fungsi lahan tebu sebanyak 70.000 hektar dalam tiga tahun.
Berbanding jauh terbalik dengan tahun 1930 dimana Indonesia menjadi raja gula dengan luas lahan 200 ribu hektar dengan produktivitas sampai tiga juta ton gula.
"Tidak Ekonomis lagi" menjadi frasa yang sering digaungkan oleh petani ketika alih fungsi lahan terjadi.
Alih-alih juga beberapa perusahaan yang membuat kebijakan mengimpor gula mentah (raw sugar) sebagai bahan baku gula yang membuat sebagian besar petani ketar ketir dan hal tersebut menjadi bola panas yang isu nya cukup sensitif.
Kembali lagi, meskipun dewasa ini banyak dinamika yang terjadi baik dari faktor cuaca yang anomali dan sukar diprediksi hingga kebijakan untuk sektor perkebunan tebu.
Bagaimanapun juga tebu masih bisa terus eksis menjadi si manis yang "menghidupi" sebagian masyarakat yang menaruh harapan di tiap molekul sukrosa nya, dari dulu, kini, dan nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H