Pada tahun 2016 lalu Elon Musk, seorang miliarder asal Amerika, merilis sebuah proyek bernama Neuralink. Neuralink merupakan sebuah produk keilmuan yang tercipta dari gabungan dua keilmuan yaitu neurologi dan AI atau Artificial Intelligence.Â
Cara kerja neuralink adalah dengan menangkap sinyal-sinyal kerja saraf otak manusia, yang diambil melalui sebuah chip yang dipasangkan ke kepala, kemudian sinyal itu diolah oleh AI dan dioperasikan di sebuah gadget sehingga manusia tidak perlu menggerakan tubuhnya untuk mengoprasikan smartphone, laptop maupun komputer.
 Namun, hal tersebut hanya bagian kecil dari proyek besar neuralink. Proyek terbesar yang ingin dicapai neuralink adalah menyimpan sistem kerja saraf dan ingatan sesorang yang kemudian ditanamkan pada mesin sehingga mesin itu bisa bekerja layaknya seseorang yang memiliki ingatan tersebut.
Mimpi yang ingin dicapai oleh neuralink tersebut merangsang para filsuf di era sekarang untuk mempertanyakan kembali dan mendefinisikan ulang pertanyaan metafisik "apa itu persona?" atau what is a person?. Apa yang menjadi tolak ukur agar sesuatu itu bisa disebut sebagai persona? apakah hanya pikiran? atau hanya ingatan belaka? atau ada hal lain yang lebih penting?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah diperdebatkan oleh para filsuf dari masa lalu hingga masa sekarang.
Selain itu, dengan kemunculannya neuralink telah menggoncang sebuah definisi yang sudah mapan dan diterima oleh banyak orang yaitu definisi manusia adalah hewan yang berpikir.Â
Jika proyek besar impian neuralink benar-benar tercapai dan telah diciptakannya sebuah mesin yang mempunyai kecerdasan kognitif dan memori dari manusia maka definisi tersebut tidak layak lagi untuk dipakai.
Dari uraian diatas telah disampaikan bahwa neuralink telah membuka kembali pertanyaan yang memiliki kedudukan yang sangat penting dan bisa merubah dunia.Â
Itulah salah satu implikasi positif dari ilmu yang bebas nilai. Tanpa adanya batasan atau kungkungan sebuah ilmu bisa mencapai titik terjauhnya dan bisa menumakan suatu kebaruan yang tak terduga.
Pada akhirnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilmu yang bebas nilai tidak selalu menghasilkan sesuatu yang negatif. Ilmu yang bebas nilai itu dapat menghasilkan dampak positif yang sangat besar bahkan mampu mempunyai potensi untuk mengubah sistem dunia maupun sistem keilmuan itu sendiri yang telah mapan.
Perlu ditegaskan bahwa ilmu yang bebas nilai di sini diartikan sebagai ilmu yang bekerja tanpa dipengaruhi dan terkukung oleh faktor internal seperti faktor politik, ideologi dan agama atau ras. Mungkin benar apa yang dinyatakan oleh Habermas bahwa ilmu itu tidak mungkin bebas nilai karena setiap perkembangan ilmu pengetahuan pasti selalu ada kepentingan dibaliknya. Kepentingan itu bisa kita umpamakan seperti demi majunya keilmuan itu sendiri ataupun demi kemajuan kehidupan manusia.Â
Jika kepentingan yang berada di balik perkembangan ilmu adalah dua hal tersebut maka tidak akan ada seorang pun yang tidak setuju dengan hal tersebut. Namun, dalam rangka memenuhi kepentingan seperti memajukan kehidupan manusia itu ilmu harus bekerja secara objektif tanpa dipengaruhi oleh politik dll.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H