Malam itu hujan turun dengan deras, membasahi seluruh kota yang sudah tenggelam dalam kegelapan. Di balik jendela kaca yang berembun, seorang pria berdiri terpaku. Matanya menatap nanar ke luar, seolah mencari sesuatu di balik bayangan hujan yang jatuh tanpa henti. Namanya adalah David, seorang detektif yang sudah kenyang pengalaman dalam menghadapi berbagai kasus kriminal, namun malam itu hatinya tak tenang. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
"David," suara seorang perempuan memecah keheningan. "Kau baik-baik saja?"
David menoleh, melihat Putri, rekannya di kepolisian yang sudah bekerja bersamanya selama lebih dari lima tahun. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. David mengangguk pelan, mencoba menghilangkan kegelisahan dari raut wajahnya.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Putri lagi, tak puas dengan jawaban singkat itu.
David menghela napas panjang. "Kasus ini... Ada yang aneh. Terlalu banyak kejanggalan."
Putri mengangguk. "Kau bicara tentang kasus pembunuhan berantai yang terjadi selama tiga bulan terakhir?"
"Ya," jawab David, sambil melangkah menuju papan besar yang penuh dengan peta, foto, dan catatan kecil. "Semua korban ditemukan dalam keadaan yang sama: tewas dengan luka di bagian leher dan tangan mereka diikat. Tapi tak ada tanda-tanda kekerasan lain atau jejak pelaku."
Putri mengamati papan itu dengan seksama. "Kita sudah memeriksa segala kemungkinan. Kamera CCTV, sidik jari, DNA, semua nihil. Pelakunya sangat berhati-hati."
David mengangguk, lalu menunjuk ke satu peta yang terpasang di tengah papan. "Lihat ini. Semua pembunuhan terjadi di sekitar area yang sama, membentuk pola melingkar."
Putri memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas. "Pola ini... seperti simbol."
"Benar," sahut David. "Simbol ini bukan sembarang simbol. Ini adalah simbol dari sebuah sekte kuno yang sudah lama hilang. Mereka percaya bahwa dengan mengorbankan jiwa, mereka bisa mencapai keabadian."
Putri terkejut. "Jadi, kau pikir pembunuhan ini adalah bagian dari ritual?"
David mengangguk pelan. "Aku tidak tahu pasti, tapi aku punya firasat kuat. Ada seseorang di luar sana yang mencoba menghidupkan kembali ritual kuno ini."
Malam semakin larut, namun David dan Putri masih berada di kantor polisi, memeriksa berkas-berkas kasus yang menumpuk. Ketika mereka tengah asyik berdiskusi, sebuah telepon berbunyi memecah keheningan. David mengangkatnya dengan cepat.
"Halo?"
Suara di ujung sana terdengar cemas. "Detektif David, kami menemukan mayat lagi. Kali ini di dekat taman kota."
David langsung berdiri. "Kami akan segera ke sana." Dia menutup telepon dan menatap Putri. "Ada korban lagi. Di taman kota."
Mereka segera meluncur ke lokasi. Hujan masih turun deras ketika mereka tiba. Di tengah taman yang sepi, tampak tubuh seorang pria terbujur kaku di atas tanah basah. Seperti korban-korban sebelumnya, pria itu juga tewas dengan luka di leher dan tangan terikat.
David mendekati tubuh korban, memeriksa dengan teliti. "Dia baru saja dibunuh, mungkin hanya beberapa jam yang lalu," katanya sambil memeriksa luka di leher korban.
Putri mengamati sekitar. "Tak ada saksi mata. Lokasinya terlalu terpencil. Siapa pun yang melakukannya tahu persis apa yang dia lakukan."
Saat mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing, seorang petugas forensik mendekati mereka. "Kami menemukan sesuatu," katanya sambil menyerahkan sebuah kertas kecil kepada David.
David mengambil kertas itu dan membuka lipatannya. Di dalamnya, ada sebuah tulisan dengan tinta merah:
"Kematian adalah pintu menuju keabadian. Aku sudah menunggumu, David."
Dada David berdegup kencang. "Dia tahu namaku," gumamnya.
Putri terkejut. "Apa maksudnya ini, David? Apakah dia mengenalmu?"
David mengangguk pelan, seolah mencoba mengingat sesuatu. "Ya... Aku punya firasat, dia mengenalku dengan sangat baik."
Keesokan harinya, David merasa tak bisa tinggal diam. Dia memutuskan untuk pergi ke perpustakaan kota untuk mencari lebih banyak informasi tentang sekte kuno yang mungkin terkait dengan pembunuhan ini. Ia menemukan beberapa buku tua yang menyebutkan sekte tersebut: "Sekte Cahaya Abadi". Sekte ini, menurut catatan sejarah, percaya bahwa dengan mengorbankan jiwa-jiwa tertentu, mereka bisa mencapai bentuk keabadian spiritual.
David membaca dengan cermat setiap kalimat, mencoba mencari petunjuk. Lalu, di salah satu halaman, ia menemukan nama yang membuatnya terhenyak: "Pemimpin sekte terakhir, Darius, menghilang setelah melakukan ritual terakhirnya, dan tidak pernah ditemukan lagi."
"Darius..." bisik David. Tiba-tiba, sebuah kilatan ingatan melintas di benaknya. Sepuluh tahun lalu, dia pernah menangani kasus pembunuhan misterius yang pelakunya tidak pernah ditemukan. Nama Darius muncul sebagai tersangka utama, tetapi tanpa bukti yang cukup, kasus itu menjadi dingin.
"Apa mungkin Darius kembali?" pikir David. Jika benar, ini menjelaskan mengapa pelaku tahu namanya. Darius pasti masih menyimpan dendam karena kasus lamanya tak pernah terpecahkan.
David segera kembali ke kantor polisi dan menceritakan temuannya kepada Putri. "Jika ini benar, kita berurusan dengan seseorang yang sangat berbahaya. Dia sudah pernah melakukannya, dan sekarang dia kembali untuk melanjutkan apa yang dia mulai."
Putri mengangguk. "Kita harus menemukan jejaknya sebelum dia membunuh lagi."
Malam berikutnya, David memutuskan untuk berjaga di sekitar taman kota, lokasi terakhir pembunuhan terjadi. Dia yakin, pelaku akan kembali ke sana. Hujan kembali turun, membasahi tanah dengan deras. Putri berada di posisinya, mengawasi dari jarak yang tidak terlalu jauh.
Tengah malam, David melihat seorang sosok misterius mendekat dari balik bayangan pohon. Sosok itu memakai mantel panjang, dengan topi lebar yang menutupi wajahnya. David merasakan detak jantungnya semakin cepat. "Itu dia," bisiknya dalam hati.
Perlahan, David mengikuti sosok itu tanpa suara, memastikan langkah kakinya tidak terdengar. Sosok tersebut terus berjalan menuju tengah taman, seolah mengetahui David mengikutinya. Saat David semakin dekat, sosok itu berhenti dan berbalik.
"Wah, wah, David... Kau masih sebaik dulu dalam mengikuti jejak," suara sosok itu terdengar tenang dan dingin.
David merasakan bulu kuduknya berdiri. "Darius?" tanyanya dengan suara tegang.
Sosok itu tertawa kecil. "Ya, David. Sudah lama sekali, bukan?"
"Apa yang kau inginkan, Darius?" David mengacungkan pistolnya. "Mengapa kau melakukan semua ini?"
Darius mengangkat tangannya seolah menyerah, namun senyum di wajahnya menunjukkan hal yang berbeda. "Aku hanya melanjutkan ritual yang pernah kau gagalkan, David. Dan kali ini, kau akan menjadi bagian darinya."
Sebelum David bisa bereaksi, Darius mengeluarkan sesuatu dari dalam mantelnya sebuah botol kecil dengan cairan berwarna merah. Dia melemparkannya ke arah David. Botol itu pecah dan cairan menyebar ke udara, mengeluarkan asap tebal dan bau menyengat.
David terbatuk-batuk, penglihatannya mulai kabur. "Putri!" teriaknya, mencoba memberi sinyal. Namun, Darius sudah berlari ke arah gelap, menghilang begitu saja.
Putri bergegas mendekat, menarik David menjauh dari asap beracun itu. "David, kau baik-baik saja?"
David mengangguk lemah, masih mencoba mengumpulkan napasnya. "Dia di sini. Darius ada di sini..."
Hari demi hari berlalu, dan Darius terus menghantui pikiran David. Ia tahu, ini belum selesai. Darius tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Dalam pikirannya, hanya ada satu cara untuk mengakhiri semua ini: menghadapi Darius di tempat di mana semuanya dimulai.
David memutuskan untuk kembali ke rumah tua yang menjadi tempat persembunyian sekte Cahaya Abadi dulu. Rumah itu terletak di pinggir kota, dikelilingi oleh hutan yang lebat. Saat David dan Putri tiba di sana, suasana terasa mencekam.
Mereka masuk dengan hati-hati. Rumah itu tampak seperti sudah lama ditinggalkan, namun ada tanda-tanda aktivitas baru-baru ini. "Kau yakin ini tempatnya?" tanya Putri dengan suara pelan.
David mengangguk. "Ya, aku yakin. Darius pasti ada di sini."
Mereka melangkah lebih dalam ke dalam rumah tua yang kini gelap dan lembab. Langit-langitnya sudah mulai runtuh, dan dinding-dindingnya dipenuhi oleh lumut. Bau apek dan busuk menyeruak dari setiap sudut, menciptakan suasana yang makin mencekam. Di depan mereka ada tangga kayu yang mengarah ke lantai atas. Tangga itu tampak rapuh, namun David tahu mereka harus naik.
"Ayo," David mengisyaratkan dengan anggukan kepada Putri. "Kita harus tetap waspada."
Mereka menaiki tangga dengan hati-hati, setiap pijakan mengeluarkan bunyi berderak yang menggema di seluruh ruangan. Di lantai atas, mereka melihat sebuah pintu kayu tua yang sedikit terbuka. Di dalamnya, ada cahaya lilin yang bergetar, menari-nari di dinding, membentuk bayangan-bayangan yang aneh.
David mendorong pintu itu dengan perlahan. Di dalam, mereka melihat sebuah ruangan kecil yang dipenuhi simbol-simbol kuno di dindingnya. Di tengah ruangan, ada sebuah altar yang terbuat dari batu, dengan lilin-lilin merah yang menyala di sekitarnya. Dan di sana, berdiri Darius, mengenakan jubah hitam dengan lambang yang sama, tersenyum tenang.
"Selamat datang, David," ucap Darius, suaranya terdengar seperti bisikan yang mengerikan. "Aku tahu kau akan datang."
David mengarahkan pistolnya ke Darius. "Hentikan ini sekarang juga, Darius. Kau tidak akan bisa lolos kali ini."
Darius tertawa kecil, senyumnya menyebar lebar. "Lolos? Oh, David, kau salah paham. Aku tidak pernah ingin lolos. Ini adalah takdirku. Dan kau, kau adalah bagian dari takdir itu."
Putri berdiri di sebelah David, matanya tajam menatap Darius. "Takdir? Semua ini hanya permainan gila. Kau membunuh orang-orang tak berdosa untuk apa? Untuk sebuah kepercayaan kuno yang sudah lama mati?"
Darius mengangguk pelan. "Kalian tidak akan pernah mengerti. Cahaya Abadi bukan hanya sekte, ini adalah kebenaran yang tersembunyi dari dunia ini. Dan dengan kematian mereka, aku semakin dekat pada keabadian."
David merasakan darahnya mendidih. "Kau sakit, Darius. Kau harus dihentikan."
Darius tersenyum lebih lebar. "Oh, David, kau memang orang yang tepat untuk mengatakan itu. Kau tahu, sejak pertama kali kita bertemu sepuluh tahun lalu, aku sudah tahu bahwa kau adalah kunci dari semua ini. Kau adalah orang terakhir yang harus aku korbankan untuk menyelesaikan ritual ini."
Putri segera bereaksi, "David, jangan dengarkan dia. Ini hanya tipu daya."
Namun, sebelum David bisa merespons, Darius bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, menarik tali di tangannya. Tiba-tiba, pintu di belakang mereka tertutup rapat dan terkunci otomatis. Lampu-lampu di ruangan itu meredup, meninggalkan hanya cahaya lilin yang berkedip-kedip.
"Selamat tinggal, David," kata Darius, suaranya berubah menjadi nyaris seperti bisikan setan. "Ritual ini telah dimulai."
Darius melangkah mundur ke altar, mulai mengucapkan mantra dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh David maupun Putri. Lilin-lilin di sekeliling altar mulai bergetar lebih kuat, dan udara di ruangan itu terasa semakin berat.
David, dengan cepat, menembakkan pistolnya ke arah Darius, namun peluru itu hanya mengenai dinding. Darius menghilang, bayangannya memudar seperti asap.
"Dia menggunakan trik lagi!" David berteriak. "Kita harus keluar dari sini!"
Mereka berdua berusaha membuka pintu, namun pintu itu tidak bergerak sedikit pun. Tiba-tiba, udara di dalam ruangan menjadi semakin dingin, hampir membekukan. Lilin-lilin itu, yang tadinya menyala terang, sekarang mulai berubah menjadi api biru yang misterius.
Suara Darius bergema di sekeliling mereka, meski sosoknya tidak terlihat. "Kau tidak bisa melarikan diri, David. Ini adalah akhir dari semua jejakmu."
David menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. "Putri, ada jalan keluar lain?"
Putri melihat ke sekeliling ruangan, matanya mencari celah atau jendela yang bisa mereka gunakan. "Tidak ada," jawabnya. "Kecuali... kecuali lantai itu."
David mengikuti pandangan Putri ke lantai kayu di bawah altar, yang tampak sedikit lebih baru daripada kayu lainnya. "Kau pikir ada ruang di bawah sana?" David bertanya.
Putri mengangguk. "Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya."
Dengan segera, mereka berdua berlari ke altar. David mengangkat sepotong kayu yang longgar di lantai, memperlihatkan sebuah pintu jebakan yang tersembunyi. "Ini dia!" teriaknya.
Tanpa ragu, mereka membuka pintu jebakan itu dan melompat turun ke dalam kegelapan.
Mereka mendarat di sebuah lorong bawah tanah yang panjang dan lembab. Lorong itu diterangi oleh beberapa obor yang menyala di dinding, memberi kesan bahwa tempat ini sering digunakan.
David dan Putri berjalan menyusuri lorong itu dengan cepat, suara langkah kaki mereka bergema. Di ujung lorong, mereka melihat sebuah pintu besar dari besi.
"Sepertinya ini jalan keluar," gumam David.
Namun, sebelum mereka bisa mencapai pintu, suara langkah kaki lain terdengar di belakang mereka. David dan Putri segera berbalik dan melihat Darius muncul dari bayangan. Kali ini, matanya memancarkan cahaya merah yang menyeramkan.
"Kau pikir bisa lari dari aku, David?" kata Darius dengan nada mengejek.
Putri segera menarik senjata dan mengarahkannya ke Darius. "Berhenti di sana atau aku akan menembak!"
Darius tersenyum sinis. "Cobalah saja," ucapnya dengan nada menantang.
Putri menembak, tetapi pelurunya seolah melewati tubuh Darius yang berubah menjadi bayangan. Tawa Darius bergema di lorong itu. "Kau tidak bisa membunuh apa yang sudah mati."
David merasa putus asa. "Darius, apa sebenarnya yang kau inginkan?"
Darius melangkah mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan. "Aku ingin kau, David. Jiwa terakhirmu adalah yang kubutuhkan. Bergabunglah denganku, dan kita akan hidup selamanya."
David merasa seluruh tubuhnya gemetar, tapi dia berusaha tetap tegar. "Tidak, Darius. Aku tidak akan menjadi bagian dari kegilaan ini."
Darius berhenti, wajahnya berubah serius. "Sayang sekali," ucapnya pelan. "Kalau begitu, kau akan mati malam ini."
Tiba-tiba, Darius mengangkat tangannya dan ruangan mulai bergetar hebat. Langit-langit lorong runtuh sebagian, membuat batu-batu besar jatuh. David dan Putri berlari ke arah pintu besi.
"Cepat, David!" teriak Putri.
David mencapai pintu dan menariknya sekuat tenaga. Pintu itu terbuka, dan mereka berdua melompat keluar ke udara malam yang dingin, tepat saat lorong di belakang mereka runtuh sepenuhnya.
Dari kejauhan, mereka bisa mendengar suara Darius yang tertawa, seolah menikmati penderitaan mereka.
"Kita harus kembali," kata Putri, napasnya tersengal. "Kita harus mengakhiri ini."
David mengangguk, meskipun seluruh tubuhnya gemetar. "Ya, tapi kali ini, kita harus memastikan dia tidak bisa kembali."
Keesokan harinya, mereka berdua kembali ke kantor polisi dan memutuskan untuk mempelajari lebih lanjut tentang sekte dan Darius. Dengan bantuan seorang ahli sejarah lokal, mereka menemukan bahwa untuk menghentikan ritual dan pengaruh Darius selamanya, mereka harus menghancurkan simbol-simbol dan altar yang digunakan oleh Darius.
David dan Putri, dengan bantuan tim khusus, kembali ke rumah tua itu. Mereka membawa alat-alat berat dan bahan peledak untuk menghancurkan tempat tersebut.
Ketika mereka masuk ke dalam, Darius sudah menunggu. Namun kali ini, David sudah siap. "Ini adalah akhir dari semua jejakmu, Darius," katanya dengan tegas.
Darius berteriak marah, namun David dan Putri menekan tombol detonator, meledakkan seluruh ruangan bersama dengan Darius di dalamnya. Batu-batu besar runtuh, mengubur seluruh tempat itu dalam kegelapan abadi.
David dan Putri keluar dari reruntuhan dengan selamat. Mereka saling menatap, sadar bahwa mereka telah mengakhiri sesuatu yang sangat berbahaya.
"Akhirnya," David menghela napas lega. "Jejak-jejak kematian ini telah berakhir."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H