Reza merasakan dadanya sesak. "Meri, kamu tidak bisa menikah dengan seseorang yang tidak kamu cintai. Itu tidak adil untukmu."
Meri menunduk, air matanya mulai mengalir. "Aku tahu, Reza. Tapi aku juga tidak ingin mengecewakan orang tuaku. Mereka selalu berharap yang terbaik untukku."
Reza menatap Meri dengan penuh rasa sayang. "Meri, kebahagiaanmu adalah yang terpenting. Apa yang kamu inginkan?"
Meri menatap balik ke mata Reza, suaranya bergetar. "Aku... aku ingin bersama seseorang yang aku cintai. Seseorang yang membuatku merasa hidup. Seperti... seperti kamu, Reza."
Jantung Reza berdebar kencang. Dia tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Meri. "Meri, aku... aku juga mencintaimu. Sejak dulu. Tapi aku tidak pernah berani mengatakannya karena takut merusak persahabatan kita."
Meri tersenyum di antara air matanya. "Reza, aku juga merasa sama. Aku selalu mencintaimu, tapi aku takut perasaan ini hanya ada di pihakku saja."
Reza meraih wajah Meri, menghapus air matanya. "Meri, mulai sekarang kita tidak perlu takut lagi. Kita akan menghadapi semua ini bersama. Kita akan berbicara dengan orang tuamu dan mencari solusi terbaik."
Meri mengangguk, merasa beban di hatinya sedikit terangkat. "Terima kasih, Reza. Aku merasa lebih baik sekarang."
Malam itu, mereka berbicara panjang lebar, merencanakan langkah-langkah yang akan mereka ambil. Reza berjanji akan selalu mendukung Meri, apa pun yang terjadi. Mereka tahu jalan di depan tidak akan mudah, tetapi mereka siap menghadapinya bersama.
Keesokan harinya, Reza menemani Meri berbicara dengan orang tuanya. Awalnya, orang tua Meri kaget dan kecewa. Namun, melihat tekad dan cinta yang tulus dari kedua anak muda itu, hati mereka perlahan luluh. Mereka setuju untuk memberikan waktu kepada Meri dan Reza untuk membuktikan bahwa cinta mereka memang pantas diperjuangkan.
Waktu berlalu, dan Meri serta Reza semakin dekat. Mereka berjuang bersama, saling mendukung, dan akhirnya mendapatkan restu dari kedua belah pihak. Pada akhirnya, cinta mereka mengalahkan segala rintangan.