Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Diary

Di Balik Riuh Konflik

18 Juli 2024   10:27 Diperbarui: 18 Juli 2024   10:27 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Balik Riuh Konflik

Pagi ini Aku lagi membalik-balik buku digudang rumah tua tempat tinggalku dulu, tidak sengaja kudapati buku diary ku saat aku masih sekolah SMP dulu. Ku baca perlahan kembali buku itu secara perlahan. Aku seorang siswa di sebuah sekolah SMP di daerahku. Pada saat itu, Aku duduk di bangku belakang kelas, menatap jendela yang terbuka lebar. Angin sepoi-sepoi membawa aroma hujan yang baru reda.

Pagi itu, saat aku tengah mendengarkan penjelasan guru tentang pelajaran PPKN, suara ledakan terdengar tak jauh dari sekolah. Semua orang terdiam. Guru kami, Pak Arifin, menghentikan penjelasannya dan menatap kami dengan tatapan penuh kekhawatiran.

"Anak-anak, tenang. Kita semua harus tetap tenang," katanya lembut, meskipun matanya menunjukkan ketakutan yang dalam.

Kami semua tahu bahwa dalam situasi seperti ini, yang terbaik adalah tetap di tempat dan menunggu hingga situasi mereda. Aku menggenggam tangan temanku, Jarimin, yang duduk di sebelahku. Jarimin berbisik pelan, "Semoga semua aman, ya."

Aku hanya mengangguk, mencoba menenangkan diri. Ayahku adalah seorang petani, dan ibuku mengurus rumah. Setiap hari, aku berdoa agar mereka selalu selamat. Konflik ini telah merenggut banyak nyawa, dan setiap kali ada ledakan atau baku tembak, hatiku berdegup kencang teringat ayah dan ibuku dirumah.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, suara ledakan mereda. Pak Ahmad menghela napas lega dan melanjutkan pelajaran. Namun, konsentrasi kami sudah terpecah. Pikiran kami melayang ke luar kelas, ke orang-orang yang kami cintai.

Saat jam istirahat tiba, Aku dan Jarimin keluar ke halaman sekolah. Kami duduk di bawah pohon mangga yang rindang, tempat favorit kami. Di sana, kami bisa berbicara dengan tenang tanpa khawatir terdengar oleh orang dewasa.

"Jarimin, kau takut?" tanyaku pelan.

Jarimin mengangguk. "Tentu saja. Siapa yang tidak takut? Tapi, kita harus berani, kan? Kita harus kuat."

Aku tersenyum pahit. "Iya, kita harus kuat."

Siang harinya, saat kami berjalan pulang, kami melihat sekelompok pria bersenjata berjalan di semak-semak. Mereka adalah anggota dari Gerakan Aceh Merdeka yang kemungkinan baru pulang dari pertempuran tadi. Pemandangan itu tetap membuatku ngeri. Kami mempercepat langkah, berharap segera tiba di rumah. Tetapi harapan kami sirna tak kala satu truk tentara berhenti tepat di hadapan kami. Salah satu diantara mereka turun dan bertanya kepada kami

"Apa adik-adik melihat sekelompok orang bersenjata?"

Mau jawab jujur nanti kami dianggap "cuak" dan akan mengancam kehidupan kami sekeluarga, namun kalau tidak jujur kami tahu itu berdosa karena itu selalu yang di ajarkan disekolah dan ditempat pengajian kami. Akhirnya aku memberanikan diri untuk menjawab

"Kami tidak melihatnya pak" kataku dengan rasa gugup yang mengerikan. Ini semua demi keselamatan kami dan keluarga kami, terpaksa aku berbohong. Aku hanya takut salah seorang diantara kami yang pada saat itu berjumlah 4 orang mengatakan ada yang melihat, maka "tamat"lah riwayatku. Tetapi untung mereka hanya diam saja.

Sesampainya di rumah, ibu menyambutku dengan senyum hangat. "Bagaimana sekolahmu hari ini, Awal?" tanyanya.

"Baik, Bu. Ada suara tembakan tadi, tapi kami semua aman."

Ibu mengangguk dan mengusap kepalaku. "Syukurlah. Mari kita berdoa agar semua segera berakhir."

Malam itu, setelah makan malam, aku duduk di kamar dan membuka buku harian. Menulis selalu membuatku merasa lebih baik. Aku mencurahkan semua perasaanku di sana, tentang ketakutanku, harapanku, dan mimpiku. Aku menulis:

"Hari ini, aku kembali merasakan ketakutan yang mencekam. Suara ledakan mengingatkanku bahwa hidup kami selalu di ambang bahaya. Namun, aku tahu bahwa aku harus tetap kuat. Aku harus terus belajar, berusaha meraih cita-citaku, meski di tengah konflik ini. Karena aku percaya, suatu hari nanti, perdamaian akan datang. Dan saat itu tiba, aku ingin menjadi seseorang yang bisa membantu membangun kembali tanah kelahiranku."

Selesai menulis, aku menutup buku harian dan menatap langit-langit kamar. Aku tahu bahwa harapan adalah satu-satunya yang bisa aku pegang erat-erat. Di balik riuh konflik, selalu ada harapan untuk masa depan yang lebih baik. Dan aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berjuang, bukan dengan senjata, tapi dengan ilmu dan kasih sayang.

Keesokan paginya, aku kembali ke sekolah dengan semangat baru. Meski ketegangan masih terasa, aku tahu bahwa aku tidak sendirian. Bersama teman-teman dan guruku, kami akan terus berjuang meraih mimpi, sambil berdoa agar suatu hari nanti, perdamaian akan benar-benar datang ke Aceh dan Alhamdulillah perdamaian itu terjadi pada tanggal 15 Agustus 2005.

Catatan Kecil

Di tengah konflik dan ketegangan, harapan dan semangat untuk terus belajar adalah cahaya yang tak boleh padam. Dengan ilmu dan kasih sayang, kita bisa membangun masa depan yang lebih baik dan membawa perdamaian bagi semua. Untuk semua pihak, tolong jagalah perdamaian kami di Aceh ini agar terus berlanjut. Jangan sampai anak-anak kami merasakan apa yang dulu kami rasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun