Penyadaran di Akhir
Di Sebuah sekolah menengah atas, terdapat seorang siswa bernama Safrijal yang terkenal dengan kenakalannya. Safrijal adalah anak yang pintar, tetapi ia sering membuat ulah di sekolah. Ia tidak segan-segan menantang guru, membolos pelajaran, dan merusak fasilitas sekolah. Banyak guru yang sudah angkat tangan menghadapi tingkah lakunya, sementara teman-temannya lebih banyak memilih menjauh agar tidak terlibat masalah.
Suatu hari, Safrijal dan teman-temannya yang biasa nongkrong di belakang sekolah sedang merencanakan suatu prank untuk gurunya, Pak Ridwan, yang terkenal tegas dan disiplin. Mereka ingin membuat Pak Ridwan kewalahan dengan menyembunyikan kapur tulis dan mengganti semua spidol di kelas dengan yang sudah habis tintanya. Mereka yakin bahwa rencana ini akan membuat mereka tertawa puas melihat kebingungan Pak Ridwan.
"Safrijal, kamu yakin ini bakal berhasil?" tanya Mujad, salah satu teman Safrijal yang juga ikut terlibat dalam rencana tersebut.
"Tenang saja, semuanya sudah aku rencanain. Pak Ridwan pasti bakal marah besar!" jawab Safrijal dengan senyum penuh keyakinan.
Hari yang dinanti pun tiba. Safrijal dan teman-temannya mulai menjalankan rencana mereka. Pak Ridwan yang baru masuk ke kelas terlihat bingung saat tidak menemukan kapur tulis. Saat ia beralih ke spidol, ia semakin kesal karena semua spidol ternyata sudah habis tintanya. Siswa lain di kelas tertawa kecil, meski beberapa dari mereka merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut.
"Siapa yang melakukan ini?" Pak Ridwan berteriak dengan wajah merah padam. Tidak ada yang berani menjawab, tapi tatapan Pak Ridwan langsung tertuju pada Safrijal yang mencoba menahan tawanya.
"Kamu lagi, Safrijal? Sudah berapa kali saya bilang, kalau kamu punya masalah dengan saya, sampaikan secara langsung, bukan dengan cara seperti ini!" Pak Ridwan mencoba menahan emosinya, tapi jelas terlihat ia sangat marah.
Safrijal hanya menyeringai, merasa bangga dengan perbuatannya. Namun, pada saat yang bersamaan, seorang siswa perempuan bernama Nurul mengangkat tangannya.
"Pak Ridwan, boleh saya bicara?" tanya Nurul dengan suara lembut.
"Silakan, Nurul," jawab Pak Ridwan mencoba mengendalikan diri.
"Saya rasa, Pak, kita semua sudah lelah dengan kenakalan Safrijal. Saya tahu mungkin dia punya alasan sendiri, tapi apa yang dia lakukan tidak benar. Saya hanya ingin kita semua bisa belajar dengan tenang tanpa ada gangguan seperti ini," ujar Nurul tegas.
Perkataan Nurul membuat suasana kelas menjadi hening. Safrijal merasa malu, tetapi ia tidak menunjukkan hal itu. Ia hanya menunduk dan mendengarkan keluhan dari teman-temannya yang selama ini dipendam.
Setelah kejadian itu, Safrijal merasa terganggu. Ia merasa kesal karena seorang siswa perempuan yang jarang berbicara di kelas tiba-tiba mengkritiknya di depan umum. Namun, di sisi lain, ada perasaan aneh yang membuatnya merasa bersalah. Ia mulai mempertanyakan kenapa ia terus bersikap nakal dan apa tujuannya selama ini.
Suatu hari, Safrijal duduk sendirian di taman sekolah. Ia merenung, memikirkan apa yang Nurul katakan. Tidak lama kemudian, Pak Ridwan menghampirinya. "Boleh saya duduk di sini, Safrijal?" tanya Pak Ridwan.
Safrijal mengangguk pelan. Mereka berdua duduk dalam diam beberapa saat sebelum Pak Ridwan mulai berbicara. "Safrijal, saya tahu kamu anak yang pintar. Saya juga tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggumu, tapi kamu tidak pernah mau berbicara tentang itu. Saya di sini bukan untuk menghakimi, tapi untuk membantu."
Safrijal terdiam, merasa air mata mulai menggenang di matanya. "Saya hanya merasa marah, Pak. Orang tua saya selalu sibuk, tidak pernah ada waktu untuk saya. Saya merasa tidak diperhatikan, jadi saya mencari perhatian dengan cara ini," ungkap Safrijal dengan suara bergetar.
Pak Ridwan menepuk bahu Safrijal dengan lembut. "Saya mengerti, Safrijal. Semua orang butuh perhatian dan kasih sayang. Tapi cara yang kamu pilih salah. Kenakalanmu tidak membuat orang lain peduli, malah menjauhkan mereka darimu. Cobalah untuk berbicara dengan orang tua kamu, atau jika kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, kamu bisa bicara dengan saya."
Safrijal mengangguk, merasa sedikit lega setelah mengungkapkan perasaannya. Sejak hari itu, Safrijal mulai berubah. Ia tidak lagi mencari perhatian dengan kenakalan, melainkan dengan prestasi dan sikap baiknya. Ia mulai mendekati teman-teman sekelasnya dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini.
Nurul yang melihat perubahan Safrijal merasa senang. Ia mendekati Safrijal saat mereka sedang istirahat. "Safrijal, aku senang kamu berubah. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk bicara ya. Kita semua teman di sini."
Safrijal tersenyum, merasa bahwa ia telah menemukan jalan yang benar. Kini, ia tidak lagi dikenal sebagai siswa nakal, tapi sebagai siswa yang berusaha memperbaiki diri dan membangun hubungan baik dengan teman-teman dan gurunya. Masa depannya kini terasa lebih cerah, dan Safrijal bertekad untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H