Mohon tunggu...
Awaluddin aceh
Awaluddin aceh Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMAN 1 Kluet Timur

Penulis Lepas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penyadaran Akhir Seorang Siswa

17 Juli 2024   13:49 Diperbarui: 17 Juli 2024   13:57 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Saya rasa, Pak, kita semua sudah lelah dengan kenakalan Safrijal. Saya tahu mungkin dia punya alasan sendiri, tapi apa yang dia lakukan tidak benar. Saya hanya ingin kita semua bisa belajar dengan tenang tanpa ada gangguan seperti ini," ujar Nurul tegas.

Perkataan Nurul membuat suasana kelas menjadi hening. Safrijal merasa malu, tetapi ia tidak menunjukkan hal itu. Ia hanya menunduk dan mendengarkan keluhan dari teman-temannya yang selama ini dipendam.

Setelah kejadian itu, Safrijal merasa terganggu. Ia merasa kesal karena seorang siswa perempuan yang jarang berbicara di kelas tiba-tiba mengkritiknya di depan umum. Namun, di sisi lain, ada perasaan aneh yang membuatnya merasa bersalah. Ia mulai mempertanyakan kenapa ia terus bersikap nakal dan apa tujuannya selama ini.

Suatu hari, Safrijal duduk sendirian di taman sekolah. Ia merenung, memikirkan apa yang Nurul katakan. Tidak lama kemudian, Pak Ridwan menghampirinya. "Boleh saya duduk di sini, Safrijal?" tanya Pak Ridwan.

Safrijal mengangguk pelan. Mereka berdua duduk dalam diam beberapa saat sebelum Pak Ridwan mulai berbicara. "Safrijal, saya tahu kamu anak yang pintar. Saya juga tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggumu, tapi kamu tidak pernah mau berbicara tentang itu. Saya di sini bukan untuk menghakimi, tapi untuk membantu."

Safrijal terdiam, merasa air mata mulai menggenang di matanya. "Saya hanya merasa marah, Pak. Orang tua saya selalu sibuk, tidak pernah ada waktu untuk saya. Saya merasa tidak diperhatikan, jadi saya mencari perhatian dengan cara ini," ungkap Safrijal dengan suara bergetar.

Pak Ridwan menepuk bahu Safrijal dengan lembut. "Saya mengerti, Safrijal. Semua orang butuh perhatian dan kasih sayang. Tapi cara yang kamu pilih salah. Kenakalanmu tidak membuat orang lain peduli, malah menjauhkan mereka darimu. Cobalah untuk berbicara dengan orang tua kamu, atau jika kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, kamu bisa bicara dengan saya."

Safrijal mengangguk, merasa sedikit lega setelah mengungkapkan perasaannya. Sejak hari itu, Safrijal mulai berubah. Ia tidak lagi mencari perhatian dengan kenakalan, melainkan dengan prestasi dan sikap baiknya. Ia mulai mendekati teman-teman sekelasnya dan meminta maaf atas perbuatannya selama ini.

Nurul yang melihat perubahan Safrijal merasa senang. Ia mendekati Safrijal saat mereka sedang istirahat. "Safrijal, aku senang kamu berubah. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk bicara ya. Kita semua teman di sini."

Safrijal tersenyum, merasa bahwa ia telah menemukan jalan yang benar. Kini, ia tidak lagi dikenal sebagai siswa nakal, tapi sebagai siswa yang berusaha memperbaiki diri dan membangun hubungan baik dengan teman-teman dan gurunya. Masa depannya kini terasa lebih cerah, dan Safrijal bertekad untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun