Mohon tunggu...
Awal Awaluddin
Awal Awaluddin Mohon Tunggu... -

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Bekerja pada Lembaga Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pekerjaan Itu Ibadah

2 Februari 2011   07:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pekerjaan itu ibadah…, itu pasti. Dalam Al-Quran Allah memerintahkan kita untuk bertebaran di muka bumi dalam mencari rezeki yang sudah disediakan-Nya untuk kita. Sebagai bagian dari ibadah, maka untuk mendapatkan ridha Allah (sebagaimana ibadah lainnya) tentunya dibutuhkan bukan hanya sekedar usaha, semangat dan etos kerja, kesungguhan, tetapi juga keikhlasan dan kerelaan. Jika ketidak-ikhlasan sempat terbetik dalam proses pelaksanaan pekerjaan, maka hampir pasti ridha tak dapat diraih dan tak berbalas pahala. Mungkin kita tidak keberatan kalau dalam tulisan ini saya menyebut keikhlasan dengan bahasa yang biasa dipakai di dunia kerja yaitu ”enjoy” dan saya menyebut ketidak-ikhlasan dengan kata ”beban atau tekanan”.

Bertutur tentang ikhlas dan rela, maka kita berada pada wilayah organ tubuh yang vital yaitu, hati. Hati sangat menentukan keikhlasan dan kerelaan dalam melaksanakan sesuatu, dan untuk mencapainya maka -tidak bisa tidak- semua faktor harus mendukung. Katakanlah beberapa fator dominan seperti mencintai pekerjaan, usaha dan kerja keras, semangat dan etos kerja, kepedulian akan tuntutan tanggung jawab, dan lain-lain. Disamping faktor-faktor tersebut, lingkungan kerja juga memegang peranan penting dalam mencapai keikhlasan tersebut.

Mungkin kita banyak melihat realita yang mendukung asumsi tersebut.. Seorang kawan punya banyak sanak family yang cukup sukses di Jakarta. Keluarga dekat. Om, tante, sepupu, yang rata-rata punya rumah bagus dan fasilitas memadai. Tapi saat kawan tersebut berkunjung ke Jakarta, dia lebih memilih untuk tinggal di tempat kost seorang kawannya yang lebih sempit dan agak kumuh. Banyak orang (mungkin juga kita), saat berkunjung ke sebuah kota terkadang kita lebih memilih untuk menginap di tempat kawan dibanding menginap dirumah keluarga. Atau kalau lagi banyak duit, paling memilih untuk menginap di hotel, walaupun untuk itu kita harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit walau hanya untuk sekedar meluruskan badan. Uang dan fasilitas jadi tidak berarti saat harus dihadapkan pada kenyataan bahwa kita terbebani terhadap sesuatu…entah apa…

Saat kita diberikan sepiring ubi yang dihidangkan dengan penuh keramahan dan ketulusan maka kita akan memakannya tanpa beban dengan hati yang senang. Tetapi meskipun kita dihidangkan ayam, pizza, dan makanan enak lainnya tapi dihidangkan dengan kasar atau dengan raut yang tidak bersahabat, maka tentu kita tidak akan senang memakannya. Sekali lagi, urusan hati bukan hanya pada apa yang akan kita terima dan apa yang akan kita raih, tetapi juga pada bagaimana kita memperolehnya.

Bagi yang sudah pernah mengalami beberapa siklus pekerjaan pada tempat yang berbeda, membandingkan pekerjaan yang lama dengan yang baru adalah hal yang lumrah dan sangat manusiawi, walaupun memang harus diyakini bahwa tidak ada satupun tempat yang bisa memberikan nuansa sama pada lingkungan yang berbeda. Perbandingan-perbandingan tersebut umumnya seputar fasilitas, tunjangan, kemudahan, lingkungan, persetemanan, perilaku, dan harus diakui bahwa faktor-faktor non fasilitas yang sering mendapat porsi tertinggi dari penilaian kita. Faktor-faktor non fasilitas yang saya maksud disini antara lain adalah lingkungan kerja, perlakuan atasan, sikap teman-teman kerja, cara memberi perintah kerja dan hal-hal yang sifatnya non materi.

Dalam beberapa kasus seringkali kita dengan ikhlas dan rela hati serta enjoy mengerjakan pekerjaan yang diamanahkan kepada kita meskipun tenggat waktu terbatas atau mungkin bahkan sangat berat, dan honor yang minim. Sebaliknya dalam kesempatan lain pekerjaan yang ringan dan bergaji tinggi belum tentu bisa memotivasi kita secara penuh untuk mengerjakannya dengan ikhlas. Kembali..., persoalan kerelaan hati menjadi salah satu faktor terbesar untuk membangkitkan motivasi terhadap pekerjaan.

Lalu bagaimana untuk memunculkan kerelaan hati itu? Bagi atasan, pimpinan, manajer, atau siapa saja yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pekerjaan, berusahalah untuk memperlakukan orang-orang yang bekerja dengan kita secara manusiawi, tidak memaksakan kehendak diluar kemampuan, tidak melakukan ancaman, tidak menggurui dan tidak menunjukkan tindakan yang intimidatif. Bagi kawan-kawan yang berada dalam lingkungan kerja, berusahalah untuk bersikap ramah, tidak mendiskreditkan teman yang lain dan tidak menghakimi atas kesalahan yang dilakukan oleh kawan (bagaimanapun juga no body’s perfect). Dan bagi kita sendiri, berusahalah untuk menempatkan pekerjaan itu sebagai ibadah, dan nikmatilah...

Yang utama..., jangan pernah menganggap diri kita paling penting atau paling berharga, karena dalam sebuah mobil baik perangkat mesin yang mahal maupun baut roda yang murah, sama berharganya dan sama pentingnya untuk tetap membuat mobil itu berfungsi dengan baik.

Salam,

Awal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun