Mohon tunggu...
Awal Awaluddin
Awal Awaluddin Mohon Tunggu... -

Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan. Bekerja pada Lembaga Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sulawesi Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Cerita Dari Negeri Sakura

2 Februari 2011   06:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan perjalanan Awaluddin (Divisi Pelatihan dan Pengembangan LPUMKM Sulsel), peserta Training Program for Young Leadership Desember 2010, bidang Community Small and Medium Enterprises Development and Promotion di Jepang*

Pasca Perang Dunia II, Jepang membenahi diri dan terus tumbuh sebagai negara industri maju dan bersaing dengan beberapa negara maju lainnya di belahan benua Eropa. Jepang sangat terkenal dengan produk-produk berkualitas tinggi di bidang manufaktur. Jepang menjadi tempat belajar, bukan hanya oleh negara-negara berkembang di benua Asia dan Afrika tapi juga oleh negara-negara Eropa.

Suatu kesyukuran karena saya diberi kesempatan untuk belajar di Jepang meskipun dalam waktu yang relatif singkat hanya sekitar 3 minggu, namun waktu yang singkat itu cukup memberi kesan yang dalam dan menambah pengetahuan serta wawasan saya menyangkut dunia Small and Medium Enterprises di Jepang. Terima kasih saya yang sebesar-besarnya untuk Japan International Cooperation Agency (JICA) sebagai penyelenggara program, juga kepada Bapak A.M. Yamin (Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Provinsi Sulawesi Selatan/Wakil Ketua Dewan LPUMKM Sulsel) dan Bapak Ahmad Firdaus (Manajer LPUMKM Sulsel) yang telah memberikan rekomendasi kepada saya untuk mengikuti Young Leadership Program bidang Community Small and Medium Enterprises Development and Promotion di Jepang. Tak lupa juga ucapan terima kasih kepada Ketua Dewan LPUMKM Sulsel (Pemimpin Bank Indonesia) yang telah memberi izin dan support kepada saya untuk sejenak meninggalkan tugas rutin di LPUMKM.

Tidak banyak hal yang saya ketahui tentang Jepang sebelum saya mengunjunginya kecuali tentang samurai, robot, mesin, kecekatan, kedisiplinan dan kota yang modern sebagaimana yang saya lihat di film-film dan saya baca dari beberapa buku. Tentu saja semua itu membuat saya kagum. Tapi setelah berkunjung langsung ke Jepang ternyata semakin banyak hal yang membuat saya kagum dan salut, mulai dari masalah fasilitas, infrastruktur, sarana dan prasarana dasar, lingkungan, budaya dan etos kerja, hingga koordinasi multi stakeholders baik pemerintah, swasta, legislatif, serta perbankan dalam pengembangan industri dan usaha kecil menengah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kekaguman tersebut memaksa saya untuk menuliskan beberapa hal menarik agar saya dapat berbagi dengan teman-teman yang belum sempat mengunjungi Jepang. Banyak hal yang tidak bisa saya tuliskan karena keterbatasan saya, tetapi setidaknya sedikit informasi yang saya berikan dapat menjadi pembelajaran yang berharga untuk kita aplikasikan khususnya menyangkut pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia.

Kesan Pertama di Jepang

5 Desember 2010, saya dan 15 kawan lainnya menghirup udara dingin di Jepang untuk pertama kali ketika tiba di salah satu bandara tersibuk di dunia, Narita. Tidak cukup banyak waktu untuk menikmati Tokyo karena kami segera terbang lagi ke Nagoya di Prefecture Aichi, salah satu prefecture dimana produsen mobil dunia yaitu Toyota bermarkas. Kesan pertama yang saya dapat sejak tiba di Jepang adalah “bersih”. Kemanapun mata memandang tidak terlihat adanya sampah, bahkan satu puntung rokok sekalipun. Awalnya saya menduga bahwa pemerintah Jepang tentu mengeluarkan dana yang besar untuk menggaji banyak orang sebagai cleaning service dan membuat banyak perangkat pembuangan sampah. Ternyata tidak. Petugas cleaning service tidak sebanyak yang saya lihat pada mall-mall di Makassar dan tempat sampah juga tidak selalu ada di setiap sudut ruangan. Hidup bersih nampaknya memang sudah membudaya di Jepang sehingga tidak ada orang yang membuang sampah di sembarang tempat, walaupun tidak menemukan tempat sampah.

Tidak boleh ada kata lelah buat saya selama di Jepang! Saya memotivasi diri sendiri untuk meminimalkan istirahat agar dapat mengunjungi dan melihat banyak tempat di Jepang. Setelah chek-in di JICA Chubu saya langsung berjalan-jalan di sekitar kota Nagoya, kota terbesar ke 4 di Jepang setelah Tokyo, Yokohama, dan Osaka. Nagoya juga terkenal sebagai kota mode di Jepang, atau mungkin bisa diibaratkan “Bandung-nya Jepang”. Trotoar tempat pejalan kaki dimata saya benar-benar seperti catwalk karena orang-orang yang berjalan dengan dandanan modis dan stylish. Pakaian-pakaian musim dingin yang berbulu dan sepatu-sepatu boot tinggi yang dikenakan orang-orang membuat jalan raya seperti catwalk. Yang menarik bagi saya bukan tentang catwalk itu, tetapi para pejalan kaki yang disiplin berhenti saat lampu merah untuk pejalan kaki menyala meskipun tidak ada kendaraan lewat, orang-orang yang bersepeda di jalur sepeda, tidak ada pedagang kaki lima dan asongan di jalan-jalan, serta infrastruktur dan sarana/prasarana yang sangat memperhatikan orang-orang cacat. Trotoar jalan dibuat rata sehingga orang yang mengenakan kursi roda dan tongkat tidak susah untuk berjalan. Traffic light diberi nada tanda sehingga orang yang buta pun tahu kapan mesti berjalan saat lampu sudah berwarna hijau.

Saya jadi malu mengingat kelakuan buruk saya di Makassar saat jalan macet, trotoar pejalan kaki pun jadi jalanan buat motor saya. Belum lagi kebiasaan menyalah-artikan lampu kuning yang seharusnya “hati-hati” menjadi “tancaaapppp!!!”. Tapi Insya Allah, tidak lagi. Dua kesan pertama ini, yaitu bersih dan disiplin serta taat aturan, harus saya jadikan “oleh-oleh berharga” saat kembali ke tanah air dan itu harus saya mulai dari diri saya sendiri.

Ada “LPUMKM” di Gifu Shi?

10 Desember 2010. Hari kelima saya berada di Jepang. Setelah mendengarkan ceramah dan kuliah umum dari Pemerintah Kota Gifu (Gifu Shi), kami diajak untuk mengunjungi pusat inkubasi usaha baru (Inkubator Bisnis). Tidak jauh dari kantor Pemerintah Kota Gifu, ada gedung seperti ruko, berlantai 7. Ketika kami masuk, kami disambut oleh Manajer Inkubator dengan ramah dan diajak berkeliling dari lantai 1 sampai lantai 4 melihat beberapa usaha baru yang sedang dalam proses inkubasi. Disana kami melihat beberapa ruang kantor kecil yang didalamnya hanya terdiri dari 2-3 orang karyawan. Ada yang bergerak dalam bidang pembuatan software mainan nintendo, ada yang mengelola situs pemasaran sederhana, dan ada juga usaha yang bergerak dalam bidang pembuatan souvenir. Mereka bekerja dan memanfaatkan pusat inkubator tersebut sebagai kantor usahanya.

Gedung ini sengaja dibuat oleh Pemerintah Kota Gifu untuk merangsang munculnya usaha baru melalui fasilitasi tempat usaha dan konsultasi manajemen. Sebagaimana yang kita ketahui, Jepang adalah salah satu negara termahal di dunia. Mulai dari hal-hal kecil seperti parkir, sarana listrik, air, internet, hingga penyewaan rumah dan kantor semuanya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk ruangan yang berukuran 4x7 meter persegi sewa perbulannya bisa mencapai Rp. 18-25 juta, belum termasuk biaya operasional lainnya. Hal ini tentu menjadi kendala sendiri bagi masyarakat yang sedang mencoba membangun usaha tetapi masih terkendala dengan modal untuk menyewa kantor yang layak sebagai pusat usaha. Oleh karena itu, di inkubator ini Pemerintah Kota Gifu menyediakan tempat dan fasilitas untuk para pengusaha baru yang mau berkantor di tempat itu dengan biaya yang sangat murah (hanya berkisar 30% dari harga sewa ruangan serupa diluar). Gedung berlantai 7 tersebut disekat hingga dalam tiap lantai terdiri dari 2 ruangan kantor.

Ketika saya bertanya tentang prosedur untuk dapat masuk ke inkubator tersebut, ternyata juga tidak mudah dan tidak bisa memasukkan tanpa melewati prosedur yang sudah ditetapkan. Apa saja prosedurnya? Seorang calon pengusaha baru harus membuat Business Plan (BP) yang jelas kemudian disampaikan kepada Manajer Inkubator. Business plan yang masuk kemudian diseleksi dan calon pengusaha baru yang BP-nya dianggap bagus diminta untuk mempersentasikan BP-nya dihadapan komite inkubator usaha. Komite ini kemudian yang memutuskan apakah calon pengusaha baru tersebut layak untuk masuk ke inkubator usaha atau tidak. Calon pengusaha baru tersebut “diinkubasi” selama 1 tahun kemudian di evaluasi, apabila masih layak dan menunjukkan tanda-tanda perkembangan yang baik maka yang bersangkutan dapat memperpanjang masa inkubasinya maksimum hingga 3 tahun. Namun apabila pengusaha baru tersebut sudah mampu untuk berdiri sendiri dengan menyewa tempat lain diluar, maka pengusaha baru tersebut dapat keluar dari inkubator. Selama berada dalam proses inkubasi, pihak manajemen akan memberikan asistensi manajemen usaha, konsultasi pengembangan usaha, pendampingan pembukuan keuangan, bantuan fasilitasi dan pelatihan. Pengusaha baru yang telah melalui masa inkubasi, akan diberikan sertifikat dari Pemerintah Kota Gifu dan sertifikat tersebut dapat dijadikan sebagai rekomendasi dari Pemerintah Gifu untuk mengakses perbankan.

Proses ini menurut saya sangat menarik dan cukup aplicable untuk dilakukan di Indonesia, khususnya di Makassar. Sebenarnya pengelola inkubator ini memiliki beberapa kemiripan dengan kelembagaan LPUMKM Sulsel yang ada di Makassar, tempat dimana saya berkantor. Pengelola inkubator di Gifu Shi juga bukan berasal dari pegawai negeri tetapi merupakan konsultan yang ditunjuk oleh Pemerintah Prefecture Gifu untuk mengelola inkubator tersebut dan membantu pengembangan usaha baru di Prefecture Gifu. Pimpinan juga disebut dengan istilah Manager, dan dibantu oleh beberapa staf untuk pengelolaan inkubator. Pembiayaan juga dibantu oleh Pemerintah, baik tempat maupun operasionalnya.

Saya jadi berfikir, bagaimana kalau sekiranya pola seperti ini juga coba dikembangkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan kelembagaan LPUMKM Sulsel. Tentunya akan ada upaya yang terfokus dalam memberikan fasilitasi dan keluasan berusaha bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang ingin maju. Dengan begitu, tentu masyarakat akan melihat sebuah wujud fasilitasi yang nyata dan bentuk perhatian pemerintah terhadap pengembangan usaha baru. Kita tidak perlu membangun gedung baru untuk itu, ada banyak gedung-gedung yang dibangun oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang dapat dioptimalkan sebagai pusat inkubasi, Celebes Convention Center (CCC) misalnya. CCC memiliki banyak ruangan yang dapat dimanfaatkan sebagai pusat kegiatan atau mini office bagi usaha baru. Tidak perlu digratiskan, tetapi sebaiknya difasilitasi dengan biaya yang terjangkau.

Terakhir, ketika saya menanyakan sudah berapa banyak pengusaha baru yang sukses dan mampu survive setelah keluar dari inkubator di Gifu Shi, ternyata jawabannya tidak begitu banyak. Jumlahnya masih dibawah 10%. Yah, memang bisnis itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan perlakuan yang sama pada orang yang berbeda belum tentu kita akan memperoleh hasil yang sama, tetapi paling tidak pola inkubator usaha ini adalah sebuah pola yang sistematis dan terukur serta dapat menjadi wujud tanggungjawab pemerintah untuk memfasilitasi masyarakat dalam mengembangkan usaha.

Bunga Bank 1% per tahun

Ada hal yang cukup mengejutkan saya ketika saya berkunjung ke Ogaki Kyoritsu Bank di Kota Ogaki, Prefecture Gifu. Saat saya bertanya tentang bunga pinjaman/kredit, pihak bank menjawab bahwa bunga kredit adalah sebesar 1% per tahun. Seolah salah dengar, saya mengulangi pertanyaan saya untuk memperjelas pemahamannya tentang pertanyaan saya, ternyata jawabannya tetap sama yaitu bunga kredit adalah 1% per tahun. Jujur saja saya kaget dan tidak percaya, bagaimana mungkin suku bunga pinjaman bisa serendah itu? Lalu darimana Bank memperoleh pendapatan untuk mendukung operasionalnya? Pihak Bank menjawab bahwa 1% itulah yang menjadi pendapatan perbankan dan dipakai untuk operasionalnya. Di Indonesia, suku bunga Bank Indonesia bisa mencapai 6-7% per tahun dan di Bank-bank umum bisa mencapai 14% per tahun bahkan ada yang hingga 24% per tahun. Apalagi bunga kartu kredit yang bisa mencapai 48% per tahun.

Karena tidak banyak waktu untuk berdiskusi di Ogaki Kyoritsu Bank, saya masih membawa rasa penasaran saya hingga pulang ke Ogaki Forum Hotel pada sore harinya. Setelah Shalat Maghrib dan Isya saya segera membuka laptop dan browsing beberapa referensi tentang bunga bank di Jepang. Beberapa referensi menjelaskan bahwa pihak Bank of Japan sebagai bank sentral Jepang memang menerapkan suku bunga 0-0,1% per tahun. Selain itu pihak kekaisaran Jepang juga mengalokasikan sebagian pajak masyarakat Jepang untuk disalurkan sebagai dana pengembangan industri melalui perbankan dengan suka bunga 0,6-0,8% per tahun. Saya semakin yakin bahwa saya tidak salah dengar dengan 1% per tahun. Tetapi pemahaman saya yang minim tentang kebijakan suku bunga membuat kepala saya masih diliputi pertanyaan, koq bisa yah?

Saya kembali mencari informasi tambahan tentang faktor-faktor yang menentukan dalam penetapan suku bunga perbankan. Cukup banyak referensi yang saya dapatkan tapi karena background pendidikan saya yang tidak mendalami hal-hal seperti penentuan suku bunga, maka saya masih tetap penasaran dan membutuhkan penjelasan yang lebih logis dan sederhana.

Tiga minggu kemudian setelah saya kembali ke Makassar dan berkunjung ke Bank Indonesia, saya mendiskusikan hal ini dengan salah seorang di bagian Ekonomi Moneter KBI Makassar (Bapak Jaka Setiawan) dan beliau menjelaskan bahwa bunga bank dipengaruhi oleh banyak faktor dan salah satu yang paling utama adalah kejujuran dari para calon debitur dan budaya masyarakat Jepang yang “malu” kalau menunggak kredit. Hal ini juga didukung oleh etos kerja yang baik sehingga pada umumnya kegagalan usaha bukan diakibatkan oleh karakter pengusaha, tetapi karena faktor lain. Kejujuran dan budaya malu ini sangat memudahkan perbankan dalam mengambil keputusan kredit sehingga bank tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mensurvey, membuat dan mengecek SID (Sistem Informasi Debitur), memeriksa agunan, kebutuhan notaris dan banyak hal lain yang semuanya berimplikasi terhadap biaya. Biaya-biaya tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penentuan suku bunga bank.

Tentunya jawaban diatas bukan satu-satunya faktor penentu suku bunga bank, tetapi jawaban diatas cukup logis, sederhana dan yang terpenting mudah untuk saya fahami. Dimata saya, masyarakat Jepang memang memiliki tingkat kejujuran dan kepercayaan yang tinggi. Contoh sederhana, ketika kamera salah seorang teman saya tertinggal di toilet umum, tidak ada yang menyentuh kamera itu hingga dia teringat dan kembali mengambilnya. Saya sendiri sempat terlupa satu map berisi paspor, seluruh uang yen yang saya punya, medical card, dan beberapa surat penting lainnya di kantor Pemkot Gifu. Saya baru mengingatnya hampir 5 jam setelah saya tinggalkan, ternyata Alhamdulillah tidak ada yang hilang secuil pun. Kejujuran juga terlihat dari kebiasaan masyarakat Jepang untuk tidak membuang sampah sembarangan meskipun tidak ada yang mengawasi. Ketika saya tanyakan, kenapa tidak dibuang saja, toh tidak ada yang awasi!? Orang yang saya tanyai menjawab, “alam melihat kita!”. Woww...

Selain itu, di swalayan-swalayan tidak ada cerita menitip tas, topi, jaket, dan lain-lain. Kita bisa masuk ke swalayan dengan jaket setebal apapun, topi, bahkan tas besar sekalipun. Tidak ada yang melarang, menegur atau mengawasi, padahal banyak barang yang bisa diambil dengan mudah. Kita juga disediakan kassa sendiri, dimana kita bisa menscan semua harga barang yang kita beli sendiri dan kemudian memasukkan uangnya sendiri kedalam mesin kasir otomatis. Contoh lain, saya pernah melihat orang yang menemukan satu buah kunci yang jatuh di jalan, kemudian orang yang menemukan itu memasukkan dalam plastik lalu digantung pada tiang yang mudah terlihat agar ketika pemiliknya mencari disekitar situ dapat menemukan dengan mudah. Sungguh peduli.

Apakah masyarakat kita sejujur itu? Mungkin akan lahir berbagai jawaban dengan argumen yang berbeda. Tetapi saya sering mendengar cerita pilu dari debt collector di Indonesia yang harus dimarahi, dimaki, atau bahkan dikejar dengan parang oleh orang yang mau ditagih hutangnya... Lho, koq?? Dia yang berhutang, dia pula yang rela mati ketiga ditagih atau mau ditarik kendaraannya. Harga diri apa yang dipertahankan dengan model seperti itu???? Belum lagi cerita orang-orang yang tersangkut kredit macet di satu tempat, kemudian mengajukan kredit di tempat lain. Atau orang-orang yang kompak tidak mengembalikan dana bergulir dari pemerintah dengan alasan, “itu kan bantuan?!” Mungkin budaya “malu” yang sebenar-benarnya, sudah terkikis di masyarakat kita sehingga kita tidak malu lagi pada masyarakat, lingkungan, alam, hukum, bahkan Tuhan sekalipun. Contoh teranyar, ternyata dinding penjara pun tidak berarti di Indonesia karena masih ada orang yang bisa keluar masuk dengan mudah. Kalau orang se-Indonesia saja bisa dibohongi dan dicurangi, apalagi kalau cuma berbohong dalam pengajuan kredit ke perbankan, yaa??!

Meiho Ladies

Sabtu, 11 Desember 2010. Kami diajak untuk mengunjungi sebuah usaha kecil di Meiho yang bernama “Meiho Ladies”. Meiho Ladies bergerak dalam bidang pengolahan beberapa produk pertanian, tetapi kegiatan utamanya adalah pembuatan saus tomat.

Daerah Meiho adalah merupakan penghasil tomat di Jepang, oleh karena itu kaum perempuan disana berfikir untuk mengolah tomat menjadi produk olahan saus. Beberapa orang perempuan ibu rumah tangga kemudian membentuk kelompok perempuan, melakukan pengolahan hasil pertanian termasuk tomat dalam skala kecil. Kelompok perempuan ini beranggotakan 17 orang dan mereka mengajukan permohonan pengembangan kepada pemerintah setempat. Ide usaha ini kemudian disupport oleh pemerintah dengan memberikan bantuan pembangunan pabrik pengolahan saus tomat skala kecil.

Usaha ini berjalan lancar dan saat ini sudah mensuplay sekitar 40% saus tomat di sekitar Prefecture Gifu bahkan sudah dipasarkan ke seluruh Jepang. Pada tahun 2009 lalu mereka memperoleh pendapatan yang kalau dirupiahkan sekitar Rp. 5 M. Sebuah jumlah yang fantastis (menurut saya) untuk usaha sederhana yang dilakukan oleh 17 orang ibu rumah tangga. Awalnya usaha ini memperoleh bahan baku dari membeli kepada masyarakat petani tomat, namun sekarang mereka sudah memiliki kebun tomat sendiri untuk menjaga pasokan stok bahan baku yang mereka butuhkan, selain tetap membeli dari petani.

Ada dua hal yang saya jadikan sebagai pembelajaran dari kunjungan ini, yang pertama dan utama adalah niat kuat yang didukung oleh kesungguhan dan ketekunan. Bukan hal yang mudah membangun usaha berkelompok, karena didalamnya tentu ada tendensi beragam dari banyak kepala. Berbeda dengan usaha individual yang bisa dimanage sendiri sesuai dengan keinginan pemilik. Namun karena ada niat yang kuat dari para pendirinya untuk membangun usaha bersama dan didukung oleh kesungguhan serta ketekunan dalam menjalankannya maka keberhasilan bersama dapat dicapai. Di Sulawesi Selatan saya banyak melihat kelompok usaha masyarakat yang “ngebet” di awal tetapi “melempem” di pertengahan dan pastinya “lumer” diakhir. Belum lagi kalau sudah diwarnai dengan konflik-konflik internal kelompok, rasa curiga, iri, dan lain-lain, bisa-bisa yang muncul bukan kesuksesan tapi justru permasalahan baru. Saya melihat ada cukup banyak program yang dilakukan dengan mentargetkan pembentukan kelompok masyarakat kemudian diajak berfikir untuk mengembangkan diri, dan akhirnya terbentuklah sebuah alternatif usaha bersama untuk dilakukan, meskipun sebenarnya bukan sesuatu yang muncul atas kesadaran mereka jauh didalam lubuk hatinya. Mungkin kedepan kita perlu lebih selektif untuk melihat hal-hal yang memang muncul dari kesadaran masyarakat sendiri atau sesuatu yang sudah mereka mulai, sehingga yang perlu kita lakukan adalah mensupport percepatan perkembangan usahanya, bukan dengan memberikan alternatif usaha yang “indah” dimata kita tetapi menjadi “beban” buat mereka.

Pembelajaran yang kedua adalah tingginya dukungan pemerintah terhadap kelompok mayarakat yang berniat untuk maju melalui usaha bersama. Pabrik pengolahan yang dibangunkan oleh pemerintah berbentuk miniplan dengan luasan sekitar 1 ha, terdiri dari bangunan, peralatan, ruang produksi, ruang pendingin, penyimpanan, ruang dan sarana pengepakan, kendaraan distribusi, dan lain-lain. Tentunya tidak sedikit biaya yang diberikan oleh pemerintah untuk mendukung usaha ini tetapi hasilnya juga tidak mengecewakan. Di Sulawesi Selatan pola pemberian bantuan terhadap kelompok usaha masyarakat juga dilakukan oleh Pemerintah, tapi sejauh yang saya lihat tidak banyak yang dapat sukses seperti Meiho Ladies, bahkan tidak sedikit diantaranya yang tidak memanfaatkan bantuan peralatan yang diberikan lalu kemudian rusak dan hilang tanpa bekas. Kalau kita minta pendapat pihak pemerintah tentu yang disalahkan adalah kelompok usaha tersebut yang tidak mau memanfaatkan dengan optimal bantuan yang diberikan, sedangkan kalau kita tanya kelompok masayarakat disisi lain mereka banyak beralasan bahwa bantuan yang diberikan tidak sesuai dengan yang mereka butuhkan atau ada juga yang menganggap bantuan itu kurang lengkap sehingga tidak dapat mendukung usaha produksi mereka, dan sebagainya..... dan seterusnya.... Entahlah... Menurut saya mungkin memang kita harus mengevaluasi kembali pola-pola dukungan yang diberikan oleh pemerintah kepada kelompok-kelompok masyarakat, apa yang kurang dari sistem itu. Bisa jadi tidak adanya pendampingan dan monitoring yang berlangsung simultan terhadap mereka juga menjadi faktor yang membuat mereka tidak lagi peduli dengan peralatan yang diberikan. Namun disisi lain kelompok usaha masyarakat juga seharusnya memiliki kesadaran yang tinggi untuk merubah nasib mereka bukan dari mengandalkan bantuan pihak lain tetapi yang terutama adalah dari niat tulus yang didukung oleh kesungguhan dan ketekunan.

Tulisan ini saya buat sebagai oleh-oleh yang mungkin lebih berarti daripada souvenir yang tersedia banyak di Daiso Japan. Masih banyak pengalaman berharga yang saya temui di Jepang dan ingin saya bagi melalui tulisan ini, namun tulisan ini saya buat disela-sela serangkaian tugas yang juga penting untuk diselesaikan. Insya Allah saya akan melanjutkan tulisan ini lain kesempatan dengan pengalaman dan pembelajaran yang berbeda.

Arigatou Gozaimasu,

Awal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun