Mohon tunggu...
Awaliyatus Sholihah
Awaliyatus Sholihah Mohon Tunggu... -

i'm just an ordinary girl.\r\n\r\n\r\nselalu menanti udara setelah hujan, cause i love it so much :)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ariani

26 September 2010   05:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:57 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ariani masih di belakang meja kerjanya. Masih di belakang layar notebooknya. Masih dengan artikelnya tentang plus-minus bahan makanan organik yang belum juga selesai sejak pagi tadi. Dan masih juga dengan kegamangannya yang belum mau menghilang. "Assalamu'alaikum..." sapa suara di ujung sana beberapa saat yang lalu, setelah nama Hilmi Ardian muncul di layar ponselnya. Ah, lidahnya bahkan tak cukup kuat untuk menjawab salam itu. Maka dibiarkannya salam itu menggantung, dijawabnya hanya dalam hati, kemudian jemarinya tiba-tiba saja memencet tombol merah di sebelah kanan ponselnya. Ada apa denganku? Aku sudah memilih. Kenapa perasaan itu belum juga mau pergi? Ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Faris. "Jangan lupa makan siang Neng Geulis... inget maag..." "Siap bosss... :-)" Ariani kembali ke layar notebooknya, kemudian meneguk segelas air putih dan melahap sekeping biskuit sambil membaca. Tapi gamang itu belum juga mau hilang. Kilatan masa lalu justru muncul satu per satu. Email-email lama Hilmi. Pesan-pesan singkatnya. Beberapa pertemuan tak disengaja. "Aku masih menyimpan pasangannya. Mudah-mudahan nanti cocok utk Riri" Jawab Hilmi saat itu, menanggapi komentar Ariani tentang cincin yang melingkar di jari manis kirinya. Hilmi adalah satu-satunya teman yang memanggilnya dengan sapaan kecil itu. Mulanya Ariani pikir cincin yang dikenakan Hilmi adalah isyarat bahwa dia telah memantapkan hati untuk seseorang lain. Ariani tak punya keberanian untuk menanyakan apa pun saat pertemuan tak disengaja itu. Terlebih tentang sikap Hilmi selama ini yang terkesan memberinya harapan lebih. Tapi pertanyaan tentang cincin itu terus menerus berputar-putar dalam benak Ariani sampai beberapa minggu setelahnya. "Assalamu'alaikum. Pak ustadz, mana undangannya? Ditunggu lho..." sekuat hati Ariani mengumpulkan keberanian untuk mengirimkan pesan singkat itu, berharap mendapat kepastian. Dia bertekad akan benar-benar mundur jika memang harus demikian. "Wa'alaikumsslm wrwb. Undangan apa? Panggilnya Hilmi aja, ga pake ustadz." Ariani tersenyum sejenak. Dengan panggilan itu ia biasa meledek Hilmi. Ya, penampilan Hilmi memang sudah seperti ustadz betulan. Secara dia memang jebolan pesantren kondang di Solo, dan sedang mendalami ilmu agama juga di LIPIA. "Hehe... Iye maap maap... Kemaren kan dh pake cincin di jari manis, berarti dh deket dong..." Ariani menghela napas sesaat setelah mengirimkan pesan singkat itu, antara siap dan tidak siap. Jika dugaannya memang benar, kecewanya pada sikap Hilmi selama ini mungkin akan sulit hilang. Hilmi pernah membuat pengakuan tentang perasaan sukanya pada Ariani saat SMP, dan dia bilang sampai saat dia mengungkapkan itu, perasaan itu belum juga hilang meski dia berkeras mencobanya. Dulu Ariani juga menyimpan rasa yang kurang lebih sama, pada saat yang mungkin juga bersamaan. Dan sampai saat Hilmi membuat pengakuan itu, nyatanya perasaan putih-biru itu tak pernah benar-benar pudar. Perempuan mana yang tdk terbang jika dalam posisi Ariani? Setelahnya, Hilmi banyak bertanya tentang kriteria calon "imam" yang diinginkannya. Tausiyah-tausiyah yang sering dikirimkan melalui pesan singkat juga seolah mewakili perhatiannya kepada Ariani. Ponsel Ariani bergetar. Lama ia hanya memandangi layar bertuliskan "1 New Message From Hilmi Ardian". Ariani masih berfikir tentang kemungkinan ke dua. Bahwa Hilmi hanya ingin orang lain tau bahwa hatinya telah terikat, hanya tinggal menunggu saat yang tepat. Dan seorang yang Hilmi tunggu adalah dirinya. Ah. Ariani menggeleng-gelengkan kepala. Apa yang kupikirkan? Sejak Hilmi terkesan menghilang tanpa kabar hampir setahun lalu, perlahan Ariani mundur dari harapan itu. Ariani belajar membuka hati untuk Faris, seorang yang di mata Ariani cukup baik dan jelas-jelas sudah mengungkapkan keinginan untuk meminangnya sejak lama. Dan pada akhirnya Ariani meng-iya-kan permintaan Faris. Aku toh masih punya waktu untuk belajar menempatkannya dalam posisi Hilmi, pikirnya saat itu. Jari-jarinya bergetar menekan tombol-tombol mungil di tangannya. Ariani merasa seperti kejatuhan durian berton-ton membaca jawaban Hilmi barusan. Lemas. Antara bahagia, menyesal, sedih, dan tak tau harus berbuat apa. Satu-satu tetes air mata itu jatuh, membasahi layar ponselnya. Seorang yang selama ini diharapkan, ternyata masih bertahan dengan harapan yang sama, meski dalam diam. Tapi mengapa baru sekarang Allah memperlihatkannya? Mengapa bukan saat Ariani meminta ditunjukkan pilihan yang terbaik beberapa bulan yang lalu? Hati Ariani ternyata tak pernah benar-benar mundur dari harapan itu, meski logika memaksanya. Tapi bagaimana dengan Faris? Dipandanginya cincin yang melekat di jari manis kirinya lekat-lekat. Ya Rabb... Apa yang harus hamba lakukan? "kenapa utk Riri?" sekuat hati lagi Ariani melemparkan pertanyaan yang sebetulnya tak perlu, sekedar untuk mencairkan kebekuan suasana. "Ga tau... Pengen ngasih ke Riri aja" Ah, manusia satu itu selalu membuat Ariani bingung. Selalu membuatnya berfikir keras, menemukan makna tersirat yang belum tentu juga benar. Pun dengan sikapnya selama ini. Ariani tak pernah benar-benar tau apakah Hilmi masih menyimpan perasaan yang sama seperti 8 tahun lalu. Dan begitulah. Lagi-lagi Ariani tak menemukan jawaban pasti. Hmmpff... "Cobalah berfikir dengan sudut pandangnya. Tdk mungkin dia bersikap demikian tanpa alasan. Maafkan dia ya, Neng..." Jawab Faris saat Ariani berkeluh tentang sikap Hilmi yang kerap membuatnya bingung. Mungkin Faris benar. Hilmi tidak mungkin bersikap demikian tanpa alasan. dia seorang yang sangat menghargai perempuan. ah, sudahlah. Faris sudah begitu baik, jangan sampai akhirnya dia yang harus terluka. *** Setahun setelahnya... "Qobiltu Nikahaha wa Tazwijaha alal Mahril Madzkuur wa Radhiitu bihi..." hening menyelimuti suasana sakral itu. "Sah?" Anggukan saksi dan doa yang mengalun demikian indah menggenapkan sunnah Rasul yang baru saja dilakukan sepasang mahluk-Nya. Ariani meneteskan air mata haru. Perasaannya campur aduk. "Selamat ya Sob... Kamu beruntung mendapatkan perempuan shalihah ini. Semoga keberkahan selalu atas kalian. Aku turut berbahagia untuk kalian." ucap Faris sembari memeluk Hilmi, sesaat setelah prosesi akad nikah selesai. Ariani tersenyum, mengucapkan terimakasih. Tak ada kata lain yang bisa ia ucapkan selain itu. "Bismillah... Aku menyayangimu karena Allah. Jika dengan meneruskan ikatan kita akan menyakitimu, aku akan merasa bersalah seumur hidup. Sebelum terlambat, aku minta kamu pertimbangkan kembali niat baik Hilmi. Aku tau kamu masih sangat menyayanginya (aku sok tau ya? Janji, hanya kali ini saja). Jika bertahan denganku bukan pilihan terbaik, aku ikhlas. Demi kebaikan kita semua." Pesan singkat dari Faris beberapa bulan yang lalu itu masih tersimpan di ponsel Ariani. Betapa baiknya manusia satu itu. Semoga Allah selalu memelukmu dalam keberkahan. Allah sudah menyiapkan bidadari shalihah untuk mendampingimu kelak... Ariani menunduk dalam diam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun