Mohon tunggu...
Ayu Vinesya Yolisa
Ayu Vinesya Yolisa Mohon Tunggu... -

Seorang yang suka menulis dan terlalu pemalu untuk berbicara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perempuan dan Patriarki Dunia

8 Juni 2016   22:25 Diperbarui: 8 Juni 2016   22:41 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ironi. Kata inilah yang saya rasa mampu menggambarkan kondisi perempuan masa kini di Indonesia. Perempuan yang seharusnya dihormati, bukan hanya karena ajaran agama ataupun hukum yang mengatur, kini harus menanggung beban moral akibat dilemparkannya perempuan ke golongan kaum marjinal. Perempuan yang seharusnya dilindungi, kini harus membisu karena cacian dan tanggungan status bersalah yang tidak sepatutnya diberikan kepadanya. 

Berbagai kasus di Indonesia yang menjadikan perempuan sebagai korban silih berganti mewarnai media massa, baik kasus pemerkosaan, pelecehan seksual, hingga kekerasan dalam rumah tangga. Tercatat bahwa di dalam perjalanan tahun 2016 ini, kekerasan seksual naik ke peringkat kedua terbanyak dari seluruh kekerasan yang menimpa perempuan, dimana kasus perkosaan sebanyak 72 persen atau 2.399 kasus, pencabulan sebanyak 18 persen atau 601 kasus, dan pelecehan seksual sebanyak 5 persen atau 166 kasus yang telah masuk ke meja Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Namun, lagi dan lagi perempuan terlalu takut untuk membuka kebungkamannya akibat posisinya sebagai kaum marjinal dan masyarakat yang mayoritas menganut paham patriarki (memandang sesuatu dari kacamata pembenaran laki-laki).

Dimulai dari beberapa waktu yang lalu, Indonesia sempat dihebohkan dengan kasus kematian YY di Bengkulu akibat (maaf) diperkosa oleh 14 orang pemuda ketika dia dalam perjalanan pulang menuju kediaman rumahnya. Dan kemudian ada pula kasus lainnya yang sempat saya lihat di tayangan salah satu stasiun televisi swasta yang sempat dimana kasusnya tidak begitu terekspos ke dunia luar yang diceritakan oleh sang korban sendiri bahwa dia, sang korban (maaf) diperkosa oleh ayahnya sendiri selama hampir 12 tahun. Dan kasus-kasus lainnya yang mungkin terlalu pelik dan pahit untuk diekspos ke dunia luar. Padahal di satu sisi lain, Indonesia memiliki alat bantu negara yang menaungi hak-hak perempuan dan menegakkan keadilan terhadap perempuan di mata hukum, yaitu Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Meskipun Indonesia memiliki alat bantu negara seperti Komnas Perempuan untuk menegakkan hak-hak perempuan dan melindungi perempuan, namun kembali lagi yang seperti saya katakan sebelumnya bahwa perempuan hanya mendapatkan posisi sebagai kaum marjinal yang harus rela kasih sayangnya dari negara terbagi dengan mereka yang memiliki kuasa penuh karena relasinya, hartanya ataupun status sosialnya di Indonesia. Selain itu, banyak juga perempuan yang terpaksa membungkamkan mulutnya dikarenakan ketidakpercayaan dirinya menghadapi tindak kejahatan yang telah menjadikannya korban tak berdaya dengan di sisi lainnya dia terlalu takut untuk dicerca oleh orang-orang di sekitarnya yang sebenarnya bukan salah dirinya. Lalu, kemudian timbul di benak saya sebuah pertanyaan, “Sampai kapankah perempuan harus dipojokkan dengan kasus-kasus yang menimpanya?”

Pada dasarnya, saya disini menulis tidak untuk menyalahkan pemerintahan Indonesia karena setiap kasus sudah diupayakan dengan baik untuk ditangani oleh pemerintah, bahkan oleh Komnas Perempuan itu sendiri. Terlebih akan ditegaskannya hukuman bagi para pelaku yang menjadikan perempuan sebagai objek untuk pelampiasan hasratnya. Namun, disini saya sangat menyayangkan dengan paradigma yang sudah melekat di masyarakat bahwa adanya ungkapan "Tidak mungkin terjadi kasus-kasus seperti pemerkosaan, pelecehan seksual ataupun lainnya, kalau bukan karena perempuan yang memancingnya terlebih dahulu". Paradigma ini seakan tidak relevan dengan sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.

 Pandangan dan anggapan seperti itulah yang saya rasa seperti tidak beradab karena melimpahkan semua kesalahan pada satu pihak dan tidak peduli dengan pembenaran yang ada. Dan seakan-akan menampikkan kenyataan bahwa perempuan yang menjadi objek kejahatan sebenarnya berada di pihak yang benar. 

Padahal sudah jelas ada alat bantu negara seperti Komnas Perempuan yang siap sedia melindungi hak-hak perempuan, namun selalu begitu saja terjadi ketidakadilan dan pandangan tidak beradab yang dilemparkan kepada perempuan. Seberat itukah perempuan harus menanggung beban mental ini? Saya rasa tidak apabila masyarakat dan pemerintah bahu-membahu meruntuhkan ketidakadilan yang selalu menitikberatkan perempuan sebagai yang bersalah dan menghapuskan posisi perempuan di golongan marjinal karena perempuan adalah manusia yang harus dilindungi dan dikasihi, bukan dicerca dengan dihakimi secara sepihak melalui kacamata pembenaran laki-laki. Karena perempuan juga adalah bukan kaum marjinal yang melulu harus pasrah dengan patriarkinya dunia. Dan inilah peliknya dibalik perempuan dan patriarki dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun