Mohon tunggu...
Avra Augesty
Avra Augesty Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Sastra Inggris, Humanities, Wonderwall

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sampaikan Salam untuk Desa Seworan

21 Februari 2014   23:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:35 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan setapak yang kau ceritakan semalam, menebar ingatan akan kepiluan. Tentang anak-anak kecil yang mengejar capung di bawah langit nan mendung, yang tak satupun wajah mereka tampak murung. Ada seutas lantunan tawa dari mulut-mulut mungil yang bersahaja. Mata sayu yang menyapa malu-malu. Atau alkisah orang tua yang menyetor mimipi-mimpi anak-anak mereka kepada Tuhannya. Menjelang tidur pada lagu nina bobo yang lirih. Pada malam-malam pekat. Terlalu hening.

Ada juga tentang bau nafas udara desa. Ah, kau pasti tak lupa tentang waktu di tiga dini hari kau biasa menghitung angka yang mendekapmu satu-satu. Atau kau mengendap ke dapur, menyeduh secangkir kehangatan teman perbincangan. Tak luput juga genangan asap kesukaan dari tembakau wangi, dan pemantik api yang kau dapat dari negeri seberang.

Kemudian kita duduk diam dalam pikiran. Mengepal tangan dan kesendirian. Lagi, ada serpihan ucapan yang tertahan. Lantas waktu mulai terbata menyapa fajar yang menggeliat dari nyenyak tidurnya. Hingga berkumandang adzan, kita masih saja bertatapan.

*****

Esok paginya, kita bersiap menyapa banyak pasang mata. Berjalan ke sekolah-sekolah dan madrasah. Berbatu. Liku. Jauh yang dituju, demi ilmu. “Pengabdian yang menyenangkan.”, katamu berkesan. Simpul senyum sendu dari lukisan Tuhan terpapar sepanjang jalan di Seworan. Manusia-manusia menyapa dengan ramahnya, mereka berguru pada alam sepertinya.

Aku suka melihat simpul di bibir mereka, berkata-kata. Dan gelak anak-anak kecil yang jail. Damai menggebu mengecup manis apa yang mereka terka tentang budaya. Tak seperti monster-monster di kota, ah aku mengelak tuk membayangkannya! Kau pun begitu, penat menatap tiap sudut kota. Tak ada hijau yang sejukkan mata. Sawah dan taman asrinya, pohon-pohon yang berjajar dengan gagahnya, atau kicau burung gereja yang kalah dengan bising knalpot-knalpot. “Tuhan sepertinya betah berada di desa, ranah jajahan-Nya.”, katamu berlalu.

Jam makan siang pada sekotak harapan. Anak-anak berseragam putih merah berdoa agar terberkati bersama. Mungkin perut mereka tak begitu kenyang, namun ada banyak tangkai impian di ingatan menjelang tidur malam yang mengganjal semangat hidup wajah-wajah polos mereka. Diucapkan bersama dongeng dari sang ibunda, satu paket dengan  tutur doa. Malam memang terus berbeda, namun mimpi masih tetap sama.

Sempat seorang murid kelas empat, dia menuju padaku malu-malu, bertanya kapan kita kembali ke kota yang nyaris tak punya hati? Jawabku, esok lusa. Dia memegang pensil dan buku, memberikannya padaku seolah ingin menyampaikan sesuatu. Dia memintaku menggambar namanya di situ. Rayhan. Lantas nanar menatapku, “Jangan pergi, aku takut jadi bodoh lagi.”

Kau tau? Aku ingin sekali menghapus sesuatu yang mengalir di pipiku saat itu.

*****

Ya aku ingat jelas, kita berkemas dengan malas, dan tentu saja tak ada kata lekas. Aku tak benci kota, hanya saja banyak jenuhnya di sana. Menatap yang itu-itu saja. Banyak sulapnya, sehingga.. Tunggu, siapa yang menjadi Tuhan dalam adegan-adegan dan dalam bangunan-bangunan?

“Kau terlalu memikirkan dari kacamata logika ya?”, tanyamu beku. Entah, aku mati kutu waktu kau tanya soal itu. Tapi dimana Rayhan? Dia tak menemuiku. Aku ingin menghadiahkan perpisahanku.

Kemudian terlihat di ambang beranda rumah, kaki kecil dan suara lantang mengucap salam. Mimiknya sendu, menggerutu. Rayhan, berlari mendekapku. Seperti ada lem kayu di tubuhku, erat sekali tangannya di pinggangku. Dan sesuatu membasahi kaus oblongku. Tuhan! Sudahkah aku menjadi guru yang baik untuk anak lelaki yang terisak di pelukanku?

*****

Ada rindu ganda. Kau mengingatkannya. Membuka kembali yang pernah ditempati. Seworan. Jalan setapak yang kau ceritakan, tentang kehidupan murni Tuhan. Tentang kemanusiaan dan Rayhan yang ingin jadi presiden teladan. Tentang sekolah - sekolah dan madrasah yang kelasnya bocor ketika hujan marah. Tentang murid-murid yang bermimpi tak pernah seadanya. Tentang luar biasanya mereka di hapalan Al Quran, dan kita merasa sungkan. Tentang semangat yang tak pernah kalah oleh keadaan. Tentang keluarga sederhana pemilik rumah. Tentang kehangatan dalam sepucuk malam. Tentang bau tanah dan udara desa saat subuh tiba. Tentang senyum-senyum yang dilempar merdu. Tentang jajan pasar yang membuat kita jatuh cinta. Tentang angkudes, delman, dan jamu gendong yang lalu lalang di perempatan kecamatan. Tentang penjual-penjual gorengan yang jarang sekali ditemukan. Tentang perjalanan pendakian Gunung Andong dan 2500 bibit tanaman. Tentang hantu-hantu yang berkeliaran. Tentang Coklat Jago dan permen Davos yang kita lahap dengan brutal. Tentang jalan berbatu dan berlumpur yang kita tuju untuk membagi ilmu. Tentang capung-capung. Tentang harga-harga yang tak melambung. Tentang sandal yang hilang ketika kita hendak pulang.

Ah.. Jalan setapak yang kau ceritakan. Maksud hati mengirim doa, berabad pinta. Sedikit ngilu menyibak rindu. Seworan adalah soal kenangan. Seworan adalah soal keikhlasan tanpa batasan. Seworan adalah soal syukur yang tanpa takaran. Seworan, adalah soal kasih sayang Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun