Beberapa kekerasan seksual seringkali ditimpakan pada korban kekerasan seksual itu sendiri. Biasanya sifat pakaian yang terbuka disalahkan karena membangkitkan nafsu lawan jenis. Itu namanya menyalahkan korban. Victim blaming adalah tindakan dimana seseorang cenderung menyalahkan dan menganggap bahwa tindakan pelaku adalah karena perilaku korban (Ihsani, 2021). Misalnya, ketika seorang perempuan mengalami kekerasan seksual, sebagian orang masih beranggapan bahwa korban sendiri yang menyebabkan kejadian tersebut, misalnya dengan tidak mengenakan pakaian penutup atau pakaian yang menggoda lawan jenis. Selain itu, tuduhan terkait korban seperti rasa bersalah, malu, tidak aman, dan trauma memengaruhi korban, yang dapat merusak kesehatan mentalnya dalam jangka panjang.
Rika Rosvianti melakukan survei tentang gaya berpakaian perempuan saat mengalami kekerasan seksual, diikuti 32.341 responden yang mengalami kekerasan seksual. Mereka menyimpulkan bahwa pakaian itu bukanlah alasan penyerangan seksual. Mayoritas korban kekerasan seksual di tempat umum tidak menggunakan pakaian terbuka, melainkan memakai baju lengan panjang (16%), jilbab (17%) dan celana panjang atau rok panjang (18%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kekerasan seksual dengan pakaian korban. Berdasarkan hal tersebut, apakah pakaian menjadi acuan bagi seorang perempuan untuk mengalami kekerasan seksual? Jelas bukan pakaian korban yang harus disalahkan, melainkan pikiran dan perilaku pelaku.
BUKAN SALAH KORBAN
Kasus tersebut menyangkut seorang guru pesantren yang memperkosa dua belas muridnya dan akibatnya melahirkan sembilan anak dari tujuh santri. Dalam hal ini, peran guru seharusnya mendidik siswanya dan memberikan contoh yang baik bagi mereka dan tidak melakukan perilaku yang tidak pantas seperti kekerasan seksual. Ada juga informasi dari PPA Symphony 2021 yaitu jumlah kejadian kekerasan terhadap perempuan berdasarkan lokasi. Rumah tangga adalah yang pertama (57,7%), diikuti oleh tempat lain (25,1%), ketiga oleh ruang publik (11,6%) dan keempat oleh sekolah (3,9%), kelima tempat kerja (1,5%) dan perguruan tinggi keenam (0,1%). . (Simfoni-PPA, 2021). Jika melihat data, tidak peduli di mana, seperti tempat umum, tempat kerja, dan lembaga pendidikan, yang masih salah adalah pikiran dan perilaku para pelakunya, sehingga seolah-olah tidak ada tempat yang benar-benar aman untuk wanita.
LALU, APA YANG MENYEBABKAN TERJADINYA KEKERASAN SEKSUAL?
Menurut Hosking, faktor penyebab kekerasan seksual terhadap korban secara umum dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu faktor individu yang berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk menggunakan kekerasan, misalnya dari segi psikologis motif utama kekerasan adalah ketidakmampuan. menahan nafsu, bahkan ekspresi emosi. Kedua, faktor sosiokultural yang berkaitan dengan kondisi lingkungan yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan kekerasan.
Selama beberapa dekade, perempuan telah memperjuangkan hak-hak mereka atas keadilan sosial, kesetaraan gender, dan perlindungan dari kekerasan. Untuk itu, solusi dalam mencegah dan mengatasi dari adanya kekerasan seksual bisa dengan melalui dua metode, yaitu metode kuratif dan metode preventif.Â
Â
1. Metode kuratif merupakan metode yang dilakukan dengan upaya menangani dan mengatasi suatu masalah yang sedang dialami oleh individu. Â Salah satu caranya adalah dengan memberikan konseling oleh tenaga profesional untuk membantu memulihkan psikologis korban dari kondisi traumatis akibat kekerasan seksual.Â
Â
2. Â Metode preventif merupakan metode yang dilakukan dengan upaya memberi penyuluhan sehingga mencegah permasalahan pada suatu individu.