Mohon tunggu...
Aviv Abdu
Aviv Abdu Mohon Tunggu... Pelajar -

Nobody just an everlasting student and blogger | Sports addict | Twitter: @avivabdu

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jalan-jalan Melihat Waduk Greneng, Blora

3 Februari 2018   00:53 Diperbarui: 3 Februari 2018   17:16 5798
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pos penjaga Waduk Greneng|Dokumentasi pribadi

Pada hari Jum'at tanggal 2 Februari 2018 Wakil Bupati Blora Bapak Arif Rohman meresmikan Kawasan Wisata Cemoro Pitu (Cemara Tujuh) dan Agrowisata Kampung Durian Nglawungan yang berada di kawasan Waduk Greneng yang beralamat tepatnya di Desa Greneng Kecamatan Tunjungan Kabupaten Blora Provinsi Jawa Tengah. (sumber: Twitter @info_blora)

Jauh hari sebelum objek wisata tersebut diresmikan, saya sudah terlebih dahulu berkunjung ke Kawasan Wisata Cemoro Pitu. Kegiatan jalan-jalan saya tersebut saya lakukan untuk mengobati rasa kangen saya akan suasana Blora, kota kelahiran saya. Dikarenakan selama 10 tahun lamanya saya jarang sekali jalan-jalan di Blora yang tentunya sudah berubah drastis dan berkembang menjadi kota yang lebih baik dalam mengoptimalkan potensi obyek-obyek wisatanya seperti yang terjadi pada kota-kota lainnya di seluruh Indonesia.

Saya berkunjung pada hari Kamis 11 Januari 2018. Kenapa saya tidak berkunjung pada waktu akhir pekan atau pada hari libur? Karena saya ingin lebih dapat menikmati panorama di Waduk Greneng. [Mengenai profil Waduk Greneng dapat dibaca di sini.]

Kunjungan saya kali ini adalah yang kesekian kali dan yang pertama kali setelah sepuluh tahun, saya sudah lupa berapa kali saya berkunjung ke Waduk Greneng. Tentunya sudah banyak perubahan yang terjadi, mulai dari akses jalan yang menunggu untuk diperbaiki, panorama selama perjalanan dan tentunya perkembangan kawasan wisata yang pesat.

Jalan menuju Desa Greneng yang bergelombang dan berjerawat.| Dokumentasi pribadi
Jalan menuju Desa Greneng yang bergelombang dan berjerawat.| Dokumentasi pribadi
Terakhir saya berkunjung, akses jalan ke Kecamatan Tunjungan dari jalan besar Blora-Grobogan masih sangat baik. Aspal mulus tanpa lubang jerawat, jadi saya tidak terlalu khawatir terhadap laju motor saya. Tetapi kondisi jalan tersebut berubah setelah Negara Api menyerang. Eh, bukan. Tentunya setelah sekian lama, kondisi jalan berubah menjadi jalan yang memiliki banyak jerawat (banyak lubang). Hal ini membuat saya tidak dapat mengantuk di atas motor saya.

Jalan rusak tersebut dapat saya rasakan dan nikmati getarannya hingga saya sampai di pertigaan Pasar Tunjungan. Sampai di sini hingga ke arah Waduk Greneng jalanan berkontur mulus dapat saya nikmati.

Pasar Kecamatan Tunjungan.|Dokumentasi pribadi
Pasar Kecamatan Tunjungan.|Dokumentasi pribadi
Jalan ke arah Waduk Greneng yang mulus.|Dokumentasi pribadi
Jalan ke arah Waduk Greneng yang mulus.|Dokumentasi pribadi
Nah, sesampainya saya di lokasi ternyata ada seseorang yang sudah menanti saya, yaitu seseorang yang paling kaya di Indonesia tetapi memiliki sifat tidak sombong karena beliau tahu bahwa apa yang beliau jaga hanyalah titipan. Siapakah beliau? Ya, tukang parkir. Terakhir saya berkunjung ke Waduk Greneng, entah kapan itu, belum ada tukang parkir yang menjaga kendaraan. Jadi siapkan saja uang kecil 2 ribuan agar tidak repot menunggu kembalian.

Pos penjaga Waduk Greneng|Dokumentasi pribadi
Pos penjaga Waduk Greneng|Dokumentasi pribadi
Lanjut, setelah saya parkirkan motor tercinta, saya melanjutkan agenda utama saya, yaitu menikmati panorama alam agar dari hal saya lakukan ini, rasa syukur saya terhadap pencipta akan semakin besar. Halah.

Pintu air Waduk Greneng. Dapat dilihat bagian Cemoro Pitu di belakang.|Dokumentasi pribadi
Pintu air Waduk Greneng. Dapat dilihat bagian Cemoro Pitu di belakang.|Dokumentasi pribadi
Di Waduk Greneng saya langsung berjalan kaki menyusuri jalur setapak menuju "pulau" Cemoro Pitu yang dalam bahasa Indonesia berarti Cemara Tujuh. Jaraknya tak terlalu jauh dan tidak begitu melelahkan karena saya disuguhi oleh pemandangan Waduk Greneng yang cukup menarik menurut saya.

Jalan menuju Kawasan Wisata Cemoro Pitu.|Dokumentasi pribadi
Jalan menuju Kawasan Wisata Cemoro Pitu.|Dokumentasi pribadi
Sesampainya di pintu masuk jembatan yang mengarah ke kawasan wisata Cemoro Pitu, saya sudah disambut seseorang (yang nanti saya ketahui bernama Mas Har) yang menjaga jalur masuk ke lokasi. Ngomong-ngomong, beberapa tahun lalu, menuju ke arah Cemoro Pitu hanya bisa dicapai dengan berjalan memutar yang agak jauh yang mana memerlukan kaki yang tabah dan sabar akan perjuangan. Selain itu terdapat jalur alternatif yang dapat dilalui dengan menyewa perahu dengan biaya 20 ribu sepuasnya.

Namun, kali ini saya tidak perlu memutar jauh dan tidak perlu menyewa perahu (karena saya mengirit pengeluaran). Cukup membayar dengan uang 5 ribu saya bisa dapat karcis bukti masuk dan berjalan melewati jembatan terapung menuju Kawasan Wisata Cemoro Pitu.

Waktu itu angin cukup kencang berhembus dan juga hanya saya yang melewati jembatan, sehingga ada sensasi goyangan yang cukup membuat saya senang. Perlu dicatat bahwa jembatan penghubung tersebut sudah saya buktikan aman. In syaa Allah.

Menuju ke Cemoro Pitu.
Menuju ke Cemoro Pitu.
Di Cemoro Pitu saya hanya berputar-putar menikmati suasana, tentunya tidak lupa dengan tujuan utama saya yaitu bersyukur atas nikmat-Nya. Saya lihat ada beberapa orang yang sedang memancing di bibir "pantai" Cemoro Pitu. 

Pintu masuk Cemoro Pitu yang masih sederhana.
Pintu masuk Cemoro Pitu yang masih sederhana.
Jalan setapak di Kawasan Cemoro Pitu.
Jalan setapak di Kawasan Cemoro Pitu.
Suasana teduh di Cemoro Pitu.
Suasana teduh di Cemoro Pitu.
Beberapa orang yang sedang menikmati kegiatan memancing di Cemoro Pitu.
Beberapa orang yang sedang menikmati kegiatan memancing di Cemoro Pitu.
Ada tempat yang bisa digunakan untuk melepas lelah.
Ada tempat yang bisa digunakan untuk melepas lelah.
Puas berkeliling, saya pulang. Tetapi sebelum pulang saya sempatkan untuk bercengkerama dengan penduduk sekitar. Diantaranya dengan Pak Tris yang waktu itu sedang membersihkan Kawasan Cemoro Pitu, lalu dengan Mas Har sang penjaga jembatan dan Ibu Juremi yang sedang beristirahat sehabis berkeliling dengan perahu. Banyak hal yang saya tanyakan, salah satunya tentang asal-usul nama Cemoro Pitu. Pak Tris dan Bu Juremi bergantian bercerita tentang asal-usulnya.

Nama Cemoro Pitu diberikan karena di tengah "pulau" terdapat 7 buah pohon Cemara. Awalnya terdapat 10 pohon, sayangnya 3 pohon telah tumbang dan saat ini hanya ada 6, karena 1 pohon terbakar. Ketika saya tanyakan kepada beliau-beliau siapa yang membakar, diperkirakan pelakunya adalah orang yang tak bertanggung jawab. Sangat disayangkan.

p-20180111-115624-5a74a44916835f0e515dc6b2.jpg
p-20180111-115624-5a74a44916835f0e515dc6b2.jpg
Setelah cukup bercengkerama saya pamit dan melanjutkan perjalanan pulang. Sempat saya mengambil beberapa foto untuk dokumentasi.

Secara keseluruhan menurut saya Kawasan Cemoro Pitu memiliki potensi wisata yang bagus. Suasana di sini saya rasa cocok untuk camping, pesta barbequedan lain sebagainya. Tentunya jangan lupa untuk membawa peralatan dan hal-hal yang dibutuhkan dari rumah. Dan yang terpenting jangan lupa untuk membersihkan lokasi setelah kita pergunakan untuk menjaga kelestarian alamnya. Sekian.

Dari kanan; Pak Tris, Mas Har serta Bu Juremi.
Dari kanan; Pak Tris, Mas Har serta Bu Juremi.
Tabik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun