Â
Tulisan ini dibuat bukan untuk mengkounter tulisan yang sebelumnya mengatakan LPDP beasiswa yang haram. Sungguh saya tidak punya kompetensi apapun dalam menentukan haram halalnya suatu hal. Saya bukan lembaga yang dapat menjudge sesuatu dan tentu saja karena kemampuan agama saya masih sangat dangkal. Begitu juga dengan penulis keharaman yang telah menyatakan tulisannya disclaimer untuk diri sendiri dan keluarga kecilnya saja. Dia pun hanya ingin sekadar menyuarakan isi hatinya walau sebenarnya sudah banyak tulisan senada yang muncul di dunia maya. Anggap saja kali ini saya punya banyak waktu untuk menulis. Alasan saya pun sederhana, saya ingin sekolah.
Â
Tentu ingin sekolah itu suatu niatan yang baik bukan walau ada saja pihak yang mengatakan jika sekolahnya pakai uang rampokan atau uang riba maka segala proses yang terjadi di dalamnya pun akan haram. Kembali lagi, siapa saya yang hanya manusia biasa lalu berani memvonis sesuatu tanpa didasari dengan evidence based yang kuat. Saya hanya menyuarakan isi kepala saya saja.
Karena saya memiliki basic keilmuan agama yang dangkal maka saya tidak dapat berbicara dari hal tersebut. Namun izinkan saya analogikan hal ini dengan bidang keilmuan saya.
Misalnya saja saya didatangi pasien dengan payudara yang membengkak dan mengeluarkan cairan berbau busuk. Hal itu sama seperti kisah pasien saya temui di Bromo di mana beliau sudah sampai di tahap kemoterapi. Dari pemeriksaan awal MUNGKIN saya bisa mengarah bahwa benjolan ini sesuatu yang berbahaya.
Pertanyaannya apakah saya boleh mengatakan pasien itu mengalami KANKER PAYUDARA STADIUM IV saat memeriksanya pertama kali? Tentu saja tidak. Dalam dunia saya ada yang disebut dengan GOLD STANDARD yaitu baku emas yang digunakan untuk membuktikan suatu penyakit. Tidak cukup hanya dengan melihat atau memeriksa secara fisik saja tetapi butuh analisis lebih mendalam. Untuk pasien yang mengarah pada keganasan maka perlu dilakukan biopsi yaitu mengambil sedikit contoh jaringan untuk diperiksa selnya secara patologi anatomi.
Bahkan jika setelah dilakukan biopsi dan didapatkan hasilnya adalah keganasan, kami para dokter juga diajari ETIKA CARA MENYAMPAIKAN BERITA BURUK. Apa boleh kita serta merta berlari mengabarkan pada pasien bahwa dia mendapatkan keganasan sebagaimana kita berlari bahagia membawa hasil pengumuman lolos beasiswa sementara teman yang kita datangi belum lolos?
Tentu saja tidak. Kami memperlakukan pasien seperti nantinya kami ingin diperlakukan jika menjadi pasien. Loh bener loh, beberapa teman sejawat saya ada yang terkena kanker dan akhirnya menjadi pasien. Kami para dokter justru lebih rentan terpapar penyakit apapun itu.
Nah untuk mengabarkan berita buruk tentunya perlu pengajaran khusus. Bukan hal mudah karena harus melihat waktu yang tepat. Misalnya saja pasien tersebut belum pulih dari kondisi paska biopsi, masih mual muntah dan sulit mencerna makanan, kami sebagai dokter harus menunggu situasi terbaik di mana pasien atau keluarganya dirasa siap. Walau kami menyadari tidak akan ada waktu dimana kita siap menerima berita buruk tapi kami mencoba meminimalisir efek beruntutnya.