Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengapa Dokter Demo Dianggap Aneh?Tanggapan untuk Nona Pratiwi

27 November 2013   21:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:36 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya lama tidak menulis di rumah maya ini hingga akhirnya di hari ini setelah berhiruk pikuk dengan solidaritas bersama para rekan sejawat, saya membuka kembali kompasiana dan dibuat tersenyum dengan artikel Noni Pratiwi berjudul ini . Bagus nih kalau punya rakyat kritis kayak doi, bisa cerah para dokter Indonesia :)



Dokter si Jas Putih yang Congkak

Wow…luar biasa. Memang sulit sekali ya membuat citra si jas putih ini kembali seperti dewa penyelamat sementara saya pribadi merasa pemberitaan terhadap dokter sering kali tidak berimbang. Contohnya saja untuk hari ini, ketika kami melaksanakan solidaritas. Tidak ada satu pun media yang saya lihat mengupas alasan mendetail kenapa kami melakukan aksi ini. Bukan hanya terkait dengan kasus rekanan sejawat dr. Ayu saja sebenarnya. Tapi nyatanya yang ada di sebagian besar pemberitaan, bahkan segala beritanya di kompas pun terlihat lebih cenderung ke arah menyudutkan dokter. Jelas sekali di pemberitaan ditulis bahwa pasien terlantar ketika dokter melakukan demo, bahkan ada pasien yang harusnya dioperasi tapi ditunda, dan semua arus negatif dari masyarakatpun muncul. Yah, bahkan ketika kami menuntut hak, yang kami dapat di awal hanya cacian dan makian.

Yup...hampir sebagian besar tulisan masih mengedapankan kecenderungan paradigma umum bahwa dokter ya memang si jas putih yang congkak. Bahkan, saking congkaknya mungkin dokter paling kebal hukum atau tidak bisa tersentuh hukum. Mungkin, yah namanya pendapat sah-sah saja. Baik….saya akan stop tulisan si congkak di sini dulu.



Dokter (Mungkin) Masih Malaikat

Sekarang, saya akan bercerita satu sosok dokter yang sudah mengabdikan diri selama puluhan tahun di Papua dan beliau dikenal sebagai sosok “dokter seribu” karena hanya memungut biaya seribu rupiah untuk setiap kunjungan, apapun penyakitnya. Beliau sendiri ternyata berasal dari kota saya, Purwokerto namun memilih mengabdikan hidup di tanah papua sudah lebih dari 40 tahunan. Terakhir, karena jasanya, beliau mendapatkan Liputan 6 Awards kategori Kemanusiaan. Apakah ada yang kenal dengan beliau? Wow...seperti lebih mudah terkenal karena hal "negatif" dibandingkan ini.  Yap...beliau adalah yang terkasih dr. Soedanto

Di lain tempat, sosok dr. Soedanto menginsipirasi banyak dokter lainnya yang baru menyelesaiakan bangku perkuliahan untuk mengabdikan diri ke berbagai pelosok Indonesia. Rekan sejawat saja, dr. Nita mengabdikan diri dua tahun lebih di kepuluan NTT dan saya tahu perjuangan dia berjibaku di tengah malam tanpa listrik hanya untuk menyelamatkan nyawa pasien. Bukan hanya itu, dia juga harus berjuang dengan ketiadaan air bersih dan malaria yang malah diam-diam menjadi musuh dalam selimut disana. Lain lagi, dr. Windi Antari, spesialis anak yang berada di satu-satunya rumah sakit di Sumba Barat Daya harus berjuang dari bawah untuk mengedukasi masyakarat agar tidak terlambat membawa anaknya ke pelayanan kesehatan. Karenanya, nyatanya masih banyak dijumpai pasien anak dengan kegawatdaruratan karena kelalaian orang tua yang terlambat membawa anaknya berobat. Anak dengan demam tinggi baru dibawa ketika sudah kejang karena dianggapnya biasa, atau malah anak dengan diare dibawa ketika sudah lemas dan bahkan tidak dapat diberikan cairan lewat infus.

Atau dr. Shanti, spesialis kandungan di rumah sakit yang sama dengan dr.Windi. Bagaimana sebagian besar kasus kegawatdaruratan di bagian kandungan membutuhkan operasi sesar lantaran ibu hamil terlambat mencapai rumah sakit. Hal tersebut ternyata karena berawal dari alsan sederhana bahwa tidak semua wanita disana mudah mendapatkan izin untuk dirujuk. Mereka harus menunggu satu keluarga besar berkumpul dahulu dan itu artinya menunggu para ketua suku berkumpul untuk memutuskan akankah si ibu hamil yang kondisinya sudah parah dirujuk. Bahkan, kalaupun mereka akhirnya berhasil dirujuk ke rumah sakit sekalipun, mereka harus berunding kembali untuk bersedia atau tidak untuk dioperasi. Butuh proses panjang, belum lagi jika yang datang di rumah sakit tidak hanya satu kegawatdaruratan tapi dua atau tiga sekaligus yang keseluruhannya butuh operasi cepat dan tetu saja butuh persetujuan cepat dari keluarga. Dan di balik semua itu, bagaimana para wanita yang sekalipun hamil itu ternyata bekerja lebih berat dari biasa demi menyediakan kebutuhan sehari-hari untuk keluarganya.

Bagaimana perasaan para dokter di pedalaman harus berjibaku sembari miris mengelus dada bahwa sebenarnya kegawatdarutan itu dapat dicegah dengan pendidikan. Saya pernah berada dalam kondisi sama dimana saya hanya mampu mengurut dada ketika seorang ibu hamil 3 bulan datang dengan perdarahan ringan dan saya berikan edukasi untuk beristirahat termasuk saya cek langsung ke rumahnya. Hari pertama berjalan lancar hingga akhirnya di hari kedua saya lihat beliau sudah kembali ke ladang di pagi hari dan membuat tenunan di sore hari. Lalu di malam harinya, si suami tergopoh memanggil saya karena istrinya mengalami perdarahan hebat.

Atau ketika kasus seorang anak dibawa dalam keadaan kejang dan pembuluh darahnya nyaris tidak teraba. Tentu saja saya kenal dengan si anak itu karena beberapa hari yang lalu dia masih bermain di sekitar tempat saya. Masih bercampur kaget, si anak terserang dua hal sekaligus, malaria juga diare berat. Bagaimana bisa orang tuanya lebih memilih bekerja di ladang dan tidak memperhatikan tanda-tanda yang jelas nyata hingga akhirnya mereka melihat anaknya kejang dan setelahnya terbaring lemas. Sebagai dokter, saya tidak berhak terhadap kehidupan pribadi pasien saya. Saya tahu, walaupun saya dapat memberikan ratusan khotbah atau ceramah, tapi saya lebih memberikan mereka “ini loh dunia nyata”. Jika saya minta mereka untuk beristrahat ketika hamil atau memperhatikan anaknya, bagaiamana mungkin. Mereka butuh kerja supaya menghasilkan uang dan bisa makan setiap harinya. Bahkan mereka berusaha sekuat tenaga pun, mereka masih akan rentan terkena diare karena memang mereka tidak punya sumber air bersih. Yang masih masuk akal, minimal mereka selalu memasak air yang akan mereka minum walaupun air itu saya tahu berasal dari sumber yang tidak layak juga.

Belum lagi, saya tahu, perjuangan mereka berbanding lurus dengan pendekatan kepada para dukun, tetua adat, orang pintar atau para yang dianggap wajib di”sembah” lainnya. Betapa terkadang logika tidak dapat bertemu dengan beragam hal irrasional yang masih melekat kuat dalam kepercayaan. Kasus si anak tadi mungkin dapat anda bca kelanjutan ceritanya ketika akhirnya mereka memutuskan untuk memilih pengobatan di tetua adat.



Dokter VS Dukun

Dan keseluruhan perjuangan bagaimana dokter berusaha menyelematkan para pasien jarang bahkan tidak pernah terekspos di media. Bagaimana sebenarnya pasien sangat menghargai kita dengan hanya mengucapkan terima kasih tanpa membayar apapun tapi itu sudah cukup membuat kita senang karena pasien sehat. Banyak pembelajaran yang saya dapat dari kisah para rekanan sejawat, terkadang ceritanya menyedihkan juga terkadang miris. Yah…jangan dibilang dokter tidak bisa bersedih. Saya orang yang sering melankolis sebenarnya kalau bertemu pasien miskin yang kebetulan tidak punya kartu berobat gratis dan ternyata sakitnya parah seperti kanker payudara. Saya bisa tidak tidur hanya karena memikirkan kira-kira lembaga donor mana yang bisa membantu dia untuk berobat kanker, yang kita tahu kanker butuh uang tidak sedikit. Tapi saya lebih miris lagi jika bertemu pasien dengan kelainan gerak misalnya jalan pincang atau tangan tidak bisa bergerak hanya karena salah pengobatan alternatif ketika mereka kecelakaan. Mirisnya karena sebagian besar pasien itu masih tergolong usia produktif. Bagaimana bisa merampas kesempatan berjalan seorang anak hanya karena mempercayakan pada pengobatan sakal putung yang (sebenarnya tanpa diobatipun semua tulang patah akan menyambung dengan sendirinya).

Banyak kemirisan yang dokter rasakan dan semuanya terkadang hanya dipendam di hati saja. Betapa dokter yang bekerja di rumah sakit malah mengalami kemirisan lebih dibandingkan dokter di pedalaman. Pasalnya, dokter di lini puskesmas misalnya, masih dapat merujuk pasien ke rumah sakit walau harus menempuh jarak puluhan jam bahkan menyebrang laut misalnya. Tapi dokter di lini rumah sakit, apalagi rumah sakit rujukan tingkat provinsi atau nasional, mereka punya rasa miris lebih dibandingkan saya. Pasalnya, mereka sudah berada di tempat dengan peralatan memadai (walaupun mungkin jumlahnya kurang dibandingkan jumlah pasien jika membludak) namun terkadang mereka masih tidak dapat menyelamatkan nyawa pasien. Kok bisa? Ya itu tadi….terlambat sedikit saja membawa pasien dalam keadaan gawat darurat, dapat membahayakan nyawa pasien. Contohnya saja, tidak sedikit pasien jantung yang sudah berhenti napas ketika dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Orang yang membawa hanya berusaha menggoyang-goyangkan badan pasien saja padahal seharusnya mereka melakukan pertolongan minimal pijat jantung agar merangsang jantung tetap bergerak. Akhirnya, ketika sampai di rumah sakit, pasien langsung dinyatakan meninggal. Dan, ketika menyampaikan berita duka, ini adalah hal yang saya rasakan hingga detik ini paling berat dalam berkomunikasi ke pasien. Tidak semua keluarga pasien dapat menerima kalau dokter langsung memvonis meninggal. Memang susah. Saya berulang kali mendapatkan kasus dan berulang kali belajar dan saya mengakui, jujur saya bukan dokter yang baik dalam menyampaikan berita duka.

Memang Saatnya Dokter Demo

Well, saya kembali ke kasus pertama, mengapa hari ini dokter melakukan solidaritas dengan berdemo. Nanti ke depannya, saya berani jamin bukan hanya dokter saja melainkan para tenaga kesehatan lainnya seperti perawat dan bidan juga akan bersatu berdemo menuntut anggaran terkait kesehatan agar lebih baik. Tapi, pada dasarnya kami hanya ingin sedikit diperhatikan bahwa profesi kami ini bukan profesi main-main karena kami jelas memegang peranan penting dalam menyelamatkan nyawa pasien. Perkara bahwa kami sebenarnya hanya perantara dan Tuhan adalah penentu semua kehidupan, itu perkara lain. Bahwa dalam bekerja kami dinaungi hukum, itulah mungkin yang membuat kami berbeda dengan para dukun-TongFang-dan rekan-rekannya. Segala yang kami lakukan didasari pada persetujuan tindakan dari pasien dengan kewajiban mengikuti SOP yang sudah ditentukan. Jika ternyata kami melakukan kesalahan atau kekhilafan bahkan mungkin hanya sekadar kelalaian, kami mengakui tidak mungkin kami sempurna. Toh nyatanya, kami sama seperti kebanyakan manusia lain. Bedanya, ketika manusia lain bisa punya jadwal tidur 8 jam sehari, kami harus berhitung dulu malah ketika akan memejamkan mata karena setiap saat ketika pasien memanggil, kami harus ada.Bahkan ketika mata kami dalam kantuk teramat berat sekalipun, kami harus bangun. Hanya karena kam terlalu lelah akibat melayani semua pasien, kami nyatanya tidak dapat memberikan pelayanan maksimal pada pasien lainnya. Kami mungkin tidak dapat memuaskan semua pihak dengan selalu menyunggingkan senyum di kala badan kami terlalu lelah. Tapi kami akan belajar, belajar untuk menghargai pasien yang juga menghargai kami sebagai sesama manusia. Tentu saja tindakan hingga menyiram kopi, memukul atau menganiaya tidak diperkenankan, bahkan bukan hanya kepada dokter, kepada sesama manusiapun sejogyanya tidak melakukan tindakan tersebut.

Jadi, demo hari ini sebagai wujud bahwa kami ingin dilihat secara adil. Silakan, para pencari berita yang saya tahu kemampuannya super keren, berimbanglah dalam menulis berita. Sama seperti ketika dokter menyelamatkan pasien satu dengan pasien lainnya, penulis berita pun ketika menuliskan berita yang tidak berimbang pasti ada pihak yang tersakiti atau teraniaya secara tidak langsung.

Kami para dokter juga tidak menutup mata dengan kritikan juga masukan apalagi jika sifatnya membangun. Pasien gawat darurat saja kami tangani dengan lapang dada, masa iya cuma dikritik sedikit langsung ngambek. Jadi saya pribadi menyambut gembira artikel Noni Pratiwi (ini saya manggilnya tante, ibu ato mbak ya ^_^) dan semoga di kemudian hari makin banyak dokter yang belajar dari kesalahan demi hajt hidup pasien yang lebih baik. Perkara mo mengambil contoh dari Inggris dan lain-lain, untuk kali ini saya mencoba menjawab dari dalam negeri dulu saja.  Dan untuk kasus dr.Ayu, saya pribadi bukan dokter yang kompeten untuk menjawab detail seperti di persidangan. Hanya saja ada rekan sejawat saya yang terlibat intens di dalamnya sayangnya si sumber enggan untuk diceritakan kembali walau dengan nama berbeda. Doi bilang "nanti kebenaran juga akan terungkap seiring dengan waktu".  Jadi kita tunggu si waktu saja yak :)

Salam Salaman

(Pinjem istilah Om Thamrin Dahlan---Om kemana ajaaa...)

Avis

(tanpa embel-embel karena udah ganti)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun