Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nyaris Patah Tulang demi Taklukkan Kuda Sumba

7 November 2012   00:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:51 893
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumba dan segala hal di dalamnya sering kali membuat saya kangen. Berbagai peristiwa perayaan adat yang bersejarah pernah saya datangi mulai dari peresmian rumah adat Sumba, pemakaman, perkawinan, bahkan sampai acara pacuan kuda yang terkenal, Pasola. Hidup setahun di Sumba seperti kembali ke zaman ratusan tahun silam dimana kebudayaannya masih sangat sederhana. Penduduk yang ramah namun juga mudah meluap emosinya jika tersinggung, pemandangan alam yang luar biasa ekstrim, juga fenomena kubur batu yang ada di setiap pelosok. Dari keseluruhan, saya akan mengenang kuda Sumba terlebih dahulu. Kenapa harus kuda? Yah…saya jatuh cinta pada kuda Sumba pertama kali menginjakkan kaki di pulau kecil ini. Bahkan saya ingin membeli kuda pribadi yang harganya setara dengan gadget iphone ato apple karena saking pinginnya punya kuda. Namun ternyata mencari kuda yang sesuai dengan postur tubuh saya tidaklah mudah. Terhitung sudah lebih dari tiga kuda yang saya coba termasuk uji coba dengan test driving alias naik di atasnya. [caption id="attachment_221858" align="aligncenter" width="300" caption="Kuda pertama di Sumba yang dinaiki hanya 10 langkah karena kasian ama kudanya :)"][/caption] Kuda pertama inilah yang saya coba dan ternyata dia tidak cukup kuat untuk membawa saya ke jarak lebih dari 10 langkah. Mengapa? Pasalnya kuda jantan ini sepertinya tidak percaya bahwa saya tidak akan menyakitinya. Dan jujur ini kuda pertama di luar Jawa yang saya naiki. Rasanya luar biasa karena ternyata mengendarai kuda itu tidak semudah yang saya lihat apalagi warga Sumba yang menggunakan kuda sebagai kendaraan perang di event “Pasola”. Mengendarai dengan kencang sembari mengayunkan tombak mengincar lawan. Luar biasa. [caption id="attachment_221859" align="aligncenter" width="300" caption="Sensasi luar biasa untuk kuda pertama saya di Sumba"]

13522466571402058620
13522466571402058620
[/caption] Saya suka sebenarnya dengan kuda ini namun pemiliknya tidak pernah mampir lagi di depan klinik setelah kudanya saya coba naiki. Padahal kalau dia mampir pasti saya kasih macam-macam sebagai balas budi. Tapi tenang kawan…saya tidak boleh putus asa dan terus mencari sampai keluar masuk pelosok desa meninjau kuda-kuda. Bukan hanya fisik kuda namun juga kejinakkan kuda yang menjadi tolak ukurnya. Loh kok bisa? Pasalnya kuda berikutnya yang saya coba tunggangi di jalan menuju pantai nyaris membunuh saya. Kuda wanita berkulit putih, bagaimana saya melupakan kuda yang mungkin sedang hamil itu karena dia begitu sensitif. Susah payah saya berhasil naik di atasnya dan ketika saya hanya perlu memegang tali kekangnya, dia berontak. Menjatuhkan dirinya sampai pada posisi jatuh terduduk dan saya terjungkal. Beruntung refleks menghindar saya sudah terasah sehingga saya jatuh persis di samping si kuda, bukan di bawahnya. Saya nyaris patah tulang jika tertindih beban ratusan kilo kuda tersebut. Beruntung saya hanya terluka, sama seperti kaki kuda yang lecet menyangga tubuhnya sendiri. Hidung saya kembang kempis, bukan karena kecelakaan yang nyaris bisa membuat pesawat SOS datang menolong saya pulang ke Jakarta jika patah tulang melainkan karena takut “adat”. Maklum, jika menyakiti hewan walau tidak sengaja, pemiliknya dapat saja menuntut. Beruntung saat itu kondisi saya yang lumayan parah malah membuat masyarakat khawatir dengan keadaan saya. Tidak ada hal menyinggung ke arah “adat”. Benar-benar kuda luar biasa yang akan selalu saya ingat. Lalu apakah saya kapok mencari kuda? Pengalaman terjungkal atau mungkin lebih tepatnya dijungkalkan oleh kuda itu memang membuat saya lebih teliti memilih “kuda” yang mau saya coba. Tidak mudah memang karena ada ketakutan dijatuhkan dari kuda lagi. Tapi beruntung, pasien saya ternyata ada yang mempunyai kuda pacuan yang terhitung jinak. Namanya Ndara, yah Ndara sendiri artinya kuda. Jadi si kuda itu namanya “kuda”, haha saya bahkan berulang kali menanyakan benar tidak itu nama si kuda. Pemiliknya sekilas terlihat tampak lebih muda dari saya namun jangan ditanya karena anaknya sudah lebih dari dua. Awalnya, pertemuan tidak sengaja itu terjadi menjelang proses “Pasola”. Para pemuda yang akan membawa kuda ke arena perang tersebut butuh latihan dan mereka akan sliweran di depan klinik saya karena itu jalan satu-satunya ke pantai tempat mereka memandikan kuda. [caption id="attachment_221860" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama Ndara sebelum beradu perang dalam Pasola 2012. Ganteng kan kuda terbaik saya ini "]
13522473332012779971
13522473332012779971
[/caption] Hebatnya, ternyata si Ndara ini merespon saya dengan sangat baik. Entahlah, saya seperti bertemu kuda yang selama ini saya cari. Si Ndara bahkan memoyongkan bibirnya mencium pipi saya. Geli, tentu saja tapi pengalaman luar biasa ternyata dicium kuda juga mencium si kuda. Hmm…kenapa bisa begitu? Sepertinya kuda jantan ini memang menyerahkan dirinya untuk saya dekati. Lalu, saat pertama kali menunggang si Ndara juga sangat nyaman. Dia tidak memberontak atau malah menjatuhkan saya. Dia hanya sedikit bernapas lebih karena harus membiasakan diri dengan tubuh saya. Rekor pertama naik kuda lebih dari 50 meter ini saya alami bersama Ndara. Bahkan dia mengijinkan saya ikut memandikan dia di pantai walau untuk adegan ini saya masih harus belajar karena si Ndara masih sedikit sensitif jika saya berada di belakangnya. Yah, saya baru tahu jika berada di belakang kuda itu rawan untuk ditendang karena memang begitulah insting alami si kuda yang tidak mau kalah ketika berpacu dengan kuda lainnya. Bersama Ndara saya belajar menjadi penunggang kuda yang baik. Akhirnya setiap sore saya menjadwalkan diri berjalan-jalan bersama Ndara. Bahkan seusai tunggangan pertama ini saya tahu diri untuk membeli makanan si Ndara. Ternyata harga satu karung makanan kuda tidaklah murah ya. Dan hebatnya lagi, si kuda bisa memakan lahap isi karung besar 50 kilo itu hanya dalam tiga-lima hari. Dua karung makanan bertahan untuk seminggu plus membelikan peralatan mandi si Ndara. Satu botol sampo besar hanya dipakai sekali untuk mandi dan ternyata si Ndara punya kulit yang sama sensitifnya dengan manusia yah, so that’s why kuda juga suka dielus-elus. Bersama Ndara, adegan saya menunggang kuda dari klinik ke pantai selalu menjadi hal yang menyenangkan. Para kurcaci alias anak-anak Sumba akan berkerumul di samping kami dan warga yang dilewati rumahnya tak kalah heboh. Sayangnya, waktu saya bersama si Ndara tidaklah lama karena saya tidak diperbolehkan menunggang kuda lagi dengan alasan keselamatan diri. Sedih, tentu saja apalagi ketika menyewa si Ndara sudah cukup seperti saya benar-benar memiliki kuda tersebut. Yah, pada akhirnya saya tidak jadi membeli kuda karena bingung bagaimana cara membawa kuda ke tanah Jawa terutama merawatnya selama di Sumba. Pengalaman bersama si Ndara membuat saya ingin belajar menunggang kuda lagi dan sepertinya tempat saya bertugas sekarang di Tosari-Bromo dapat mewujudkan itu. sumber gambar: dok. pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun