Mohon tunggu...
Dokter Avis
Dokter Avis Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Anak

Saya dr. Hafiidhaturrahmah namun biasa disapa Avis, dokter umum dari FK Univ Jenderal Soedirman, dokter anak dari Univ Gadjah Mada. Awardee Beasiswa LPDP-PPDS Angkatan 1. Saat ini bekerja di RS Harapan Ibu Purbalingga. Monggo main di blog saya www.dokteravis.net

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menelusuri Kehidupan Si Pasien Abadi

18 November 2011   14:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:29 4809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini kisah pertama kali saya memasuki dunia KOAS, dunia praktek para calon dokter untuk mengaplikasikan ilmu pra-klinik yang sudah didapat selama empat tahun dan menyandang gelar S.Ked (Sarjana Kedokteran). Dunia koas biasanya dijalani normal selama dua tahun dengan belajar di semua stase (bagian) kedokteran mulai yang biasanya dikenal sebagai stase Mayor (Bedah, Kandungan, Anak, dan Penyakit Dalam) atau stase Minor (Anestesi, Saraf, Mata, Gigi, Forensik, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Radiologi, dan Kulit Kelamin). Stase Mayor dikatakan demikian karena memang waktu tempuhnya lebih lama, biasanya 12 minggu (dalam koas menggunakan hitungan minggu dan bukan bulan) sementara stase Minor hanya 4 minggu saja tergantung masing-masing universitas.

Menjadi KOAS rasanya bangga sekali karena sudah diperkenankan masuk ke rumah sakit pendidikan dengan jas putih bernama Snelli. Beberapa rumah sakit besar yang juga membuka program pendidikan spesialisasi dimana mahasiswanya disebut residen dan para pengajarnya disebut konsulen mempunyai aturan yang ketat tentang snelli ini. Koas yang masih tingkatan sangat rendah snellinya tidak boleh lengan panjang dan biasanya lebih mirip jas praktikum yang diperpendek. Potongan tengah di bagian belakang snelli pun berbeda supaya tidak menyerupai residen. Belum lagi bila sedang bertugas di ruang operasi maka baju untuk koas sudah terpisah dengan sendirinya, dibedakan warnanya hingga sampai sandal operasi dan masker saja berbeda. Semuanya agar tidak menyerupai residen atau malah konsulennya. Kebanggaan menjadi koas pun perlahan memudar seiring bertambahnya beban seorang koas ketika mengetahui arti koas sebenarnya. KOAS yang merupakan singkatan dari Kumpulan Orang Apes dan Salah. Atau lebih parah lagi, Kumpulan Orang Aneh dan Sengsara. Dan gabungan terparahnya, Kumpulan Orang Aneh dan Sial. Betul kawan! Koas memang strata terendah dalam rumah sakit. Bahkan, saking rendahnya, koas itu diibarakan sebuah partikel debu yang ada di keset, sebuah alas tempat membersihkan sepatu yang terbuat dari sabut kelapa atau kain yang entah kenapa selalu bertuliskan “welcome”. Strata rendah ini membuat koas dapat diperintah oleh siapa pun di mana pun, termasuk oleh bagian yang tidak berhubungan dengan dokter sekali pun. Tidak ada hal yang benar bila dilakukan oleh koas walaupun itu memang hal benar sekali pun. Mengapa begitu? Ya, kembali lagi ke definisi di atas bahwa koas adalah kumpulan orang apes dan SALAH. Jadi, apa pun yang dilakukan koas termasuk salah. Tidak memeriksa pasien dengan benar, salah. Memeriksa pasien dengan benar pun juga salah karena definisi benar tergantung dokter yang visitase. Termasuk ketika koas mendapati penguji paling killer sejagat raya padahal selama perkoasan termasuk rajin membantu orang lain. Ya, kembali lagi ke definisi di atas. Koas memang kumpulan orang APES. Atau koas dapat giliran jaga dengan pasien berdatangan tanpa henti di IGD sehingga sampai pagi tidak dapat memejamkan mata sejenak saja. Ya, itu namanya SENGSARA. Apa pun singkatannya, hal aneh, sial, sengsara, apes, salah sudah menjadi makanan para koas setiap harinya. Hidup tanpa hal-hal di atas rasanya seperti makan tanpa garam. Hambar. Tapi, kebanyakan makan garam pun bukan berarti banyak pengalaman melainkan tekanan darah melejit naik karena kadar garam dalam tubuh meningkat. Hasilnya, kemarahan mengerikan seperti gunung berapi yang meletus. Jadi, jangan heran bila melihat kami berbaju putih tetapi mengepulkan asap hitam di atas kepala dengan hidung kembang kempis. Lebih baik jangan disapa untuk sementara waktu daripada terkena semburan kemarahan tersebut. Maklum, kemarahan koas biasanya merupakan akumulasi dari kemarahan yang di atasnya. Sang Dokter konsulen memarahi residen, residen memarahi koas, belum lagi perawat dan bagian administrasi ikut-ikutan memarahi koas hingga akhirnya koas bingung mau marah ke siapa lagi. Memarahi pasien, jelas tidak mungkin kecuali bila keceplosan. Jadi, bagi para pasien yang pernah merasa mendapatkan perlakuan buruk kami, itu bukanlah karena kami yang sebenarnya. Tapi karena tekanan kami sungguh besar saat itu. Anda sepertinya datang di saat yang kurang tepat. Itu namanya apes. Nah, terlepas dari definisi tidak jelas tentang koas di atas, koas menjadi dunia indah tersendiri bagi kami para calon dokter. Melihat konsulen kami mengobati pasien lalu kami diberikan tugas memfollow up pasien setiap menit, jam, bahkan harinya hingga pasien sehat merupakan kegembiraan tersendiri. Apalagi bila pasien mengingat nama kami dan menyebutkan kinerja kami yang baik di depan konsulen, wah melayang dan membesar sudah kepala kami karena senangnya. Melihat wajah yang awalnya bersedih karena bayi mereka nyaris meninggal dan berubah bahagia ketika mendengarkan tangisan bayi yang indah, sudah membuat kami dokter muda merasa lebih dari cukup. Kami paham bahwa hal tidak mengenakkan dengan segudang tugas yang membuat kami tidak dapat memejamkan mata merupakan cara membiasakan diri kami ketika nantinya kami menjadi dokter. Bahwa segala tingkat stres saat ujian dahulu memang agar kami memeriksa pasien sebaik mungkin dan tidak menganggap enteng penyakit ringan sekali pun. Saya yakin semua dokter jika ditanya mengenai masa koasnya, mereka akan tersenyum mengingat kembali memori itu. Gabungan ketakutan, kegembiraan bahkan kebandelan dimana edisi kabur dari tugas akan selalu ada pada diri koas. Ah, kali ini saya akan menceritakan bagaimana pertama kali saya menjadi koas dulu. Stase putaran pertama saya adalah stase bersama mayat alias forensik. Ini dia stase yang kita tidak perlu repot-repot menanyai pasien karena jelas mereka tidak akan menjawab. Stase ini selalu jadi stase seru karena berlangsung di luar kota selama sebulan yang artinya kami boleh sedikit cuci mata di ibu kota Jawa Tengah. Persiapan koas di kota lain ternyata hebohnya luar biasa karena saya dan 20 rekanan koas harus mencari kos ditambah lagi deretan panjang siapa saja yang akan membawa kendaraan sendiri untuk transportasi sehari-hari. Ternyata, bukan hanya dokter muda alias koas dari universitas saya saja yang mempelajari ilmu forensik di rumah sakit ini karena ada rekan-rekan dari tiga universitas swasta di Jakarta dan juga satu universitas swasta di Semarang yang belajar di sini. Walhasil, ada lebih dari 100 dokter muda, jumlah terbesar dalam setahun terakhir ini. Herannya, kami semua dapat tertampung dalam satu ruang kuliah besar walau harus berhimpitan dan berebut udara segar satu biji AC Cina. Walhasil, kami dibagi menjadi dua kelas karena keterbatasan dan demi kenyamanan ruangan utama. Sebagian masuk di kelas pagi dan sebagian lainnya di kelas siang. Kerjaan kami di bagian ini termasuk tidak terlalu berat karena kami hanya dikenai jam jaga malam bila sewaktu-waktu ada kedatangan tamu yang ditunggu alias mayat. Karena harus mendapatkan pengalaman dari mayat, maka saya mengakui semenjak memasuki bagian ini, doa saya menjadi jelek. Bukannya berdoa supaya orang sehat. Justru di bagian forensik saya merasa setiap harinya berdoa supaya ada mayat. Jelas saja supaya tugas visum dan otopsi dapat kami lakukan karena bagian ini jelas tidak dapat diwakilkan oleh orang yang masih bernyawa. Kota Semarang memang pantas direkomendasikan menjadi tempat belajar ilmu forensik karena kasus permayatan di kota ini cukup banyak. Mulai dari korban tenggelam, pembunuhan, bunuh diri dengan gantung, menenggak obat anti serangga, sampai mutilasi dan gali kubur pun ada. Namun, satu bulan untuk zaman saya dapat dikatakan tidak terlalu ramai pasien abadi karena kalau ramai sudah barang tentu dalam sehari dapat melakukan visum lebih dari 2 kali dan juga otopsi. Yah saya menyebut pasien forensik sebagai pasien abadi. “Tumben sepi banget, Pak?” Saya menyapa Pak Kumis, penjaga ruangan persegi alias ruang otopsi yang sudah bertahun-tahun bertugas sebagai juru kunci. Kumis jambangnya bikin wajah Pak Kumis terlihat sangar. Katanya, demi menetralisir keadaan makhluk dunia lain. Aneh. “Ya…namanya saja kamar mayat gini. Kadang sepi, kadang rame. Beda sama swalayan yang rame terus. Siapa coba yang doyan main ke ruangan kayak gini?” Saya nyengir. Memang tidak salah yang diucapkan Pak Kumis. Orang awam sangat jarang memasuki ruangan ini. Hanya sekali seumur hidup kalau bisa. Bahkan, mungkin maunya tidak sama sekali memasuki ruangan ini. Pertama kali saya memasuki ruangan ini pun aroma lezat langsung tercium. Aroma campuran antara daging busuk, formalin, serta berbagai binatang kecil yang sudah ada di tubuh para pasien abadi menjadi aroma segar. Apalagi ditambah dengan aroma kotoran baik berupa muntahan, busa, feses maupun darah segar. Aroma yang membuat orang berjarak sepuluh meter pun akan langsung menutup hidungnya. Tapi kami tidak boleh melakukan itu karena aroma itulah yang mengajarkan pada kami apa yang terjadi pada si pasien abadi. Hebatnya, ruang kuliah kami berada dua meter persis di samping ruang otopsi tersebut. Kerennya lagi, lima meter di belakang ruang otopsi terhampar satu lorong panjang yang mentok di belakangnya tercipta tempat persemanyaman terakhir bagi si semua insan: kuburan.

Tidak jarang pula aroma pasien abadi bercampur dengan aroma bunga-bungaan yang lebih awam disebut kemenyan. Bulu kuduk berdiri bukan hal aneh lagi apabila harus melakukan pembedahan mayat di malam hari.

Malam ini adalah giliran saya jaga. Belum ada satu pasien abadi pun yang datang. Itu artinya keamanan di Semarang sedang bagus. Saya duduk bersama dengan Pak Kumis dan empat penunggu lainnya. Kali ini penunggu asli yang berupa manusia hidup dan masih dari dunia yang sama. Kami asyik mengobrol sembari menonton satu pertandingan catur yang tidak kalah seru dari Utut Adiyanto: Pak Kumis versus Pak Jenggot. Sebuah pertandingan catur yang hebat menurut saya karena keduanya memerlukan waktu sekitar 5 menit sebelum menggerakkan bidak caturnya. Pemikiran yang berat. Saya sendiri bukan penggemar catur, tapi berpindah dari tempat itu artinya maut. Sebab, saya tidak punya cukup keberanian harus berjaga seorang diri di ruang otopsi. Walau lampu dinyalakan dan tidak ada satu pun pasien abadi, tetap saja aroma ngeri tidak dapat hilang begitu saja. Padahal boleh jadi itu hanya perasaan saya saja yang berlebihan. Permainan masih berlangsung alot. Suasana sepi mulai menggerogoti satu tikar lebar yang kami gelar. Kepulan asap rokok seperti mulai memelan seiring terdengarnya degup jantung masing-masing pemain dan pendukungnya. Satu kotak rokok Djarum Super yang masih tertutup rapat belum tersentuh sampai nanti permainan usai dan ketahuan pemenangnya. Lima gelas kopi hitam pun tampak jernih mengendap karena tidak satu pun dari kami menyeruputnya kembali. Dan tiba-tiba…. Syerrrr….. Bulu kuduk saya berdiri. Saya bukan tipe orang dengan anugerah indera keenam untuk menangkap hal-hal aneh seperti itu. Namun, saya juga bukan orang apatis yang tidak tahu bila marabahaya itu datang. Tentu saja bulu kuduk berdiri ini bukan hal fisiologis karena udara malam kali ini tidak begitu dingin. Ini hal patologis, batin saya. Syerrr…. Kali ini sebuah aroma menyelusup saraf pencium saya dan tepat menggetarkan bulu-bulu halus hidung lalu menyampaikannya ke saraf olfaktorius sebagai suatu wangi…melati. Bulu kuduk saya masih saja berdiri. Sementara otak saya masih saja mencerna bahwa aroma melati itu masih terasa bekasnya. Sangat terasa dan tidak mungkin saraf otak saya salah mengartikannya. Indera penglihatan sedikit saya picingkan, khawatir tiba-tiba saja dihadapan saya akan muncul hal-hal yang tidak seharusnya muncul. Indera pendengaran saya tiba-tiba menajam, mencoba menangkap getar-getar suara aneh seperti tangisan atau bahkan nyanyian. Dan, saya bersyukur tidak menangkap suara itu. "P…p…pak…" saya mulai menyikut tangan Pak Kumis yang masih saja asyik masyuk dengan dadu caturnya. "Nyium bau melati lewat, nggak?" Pak Kumis malah hanya mesem-mesem saja. "Nggak tuh, Non" jawabnya tanpa ekspresi "Beneran nih, Pak… Saya merinding... Nggak mungkin bapak nggak nyium." "Lho, si Non bisa lihat juga, tho?" "Lha, Bapak ditanya malah balik nanya. Untungnya nggak bisa lihat yang gitu-gitu, Pak. Cuma bisa ngerasain aja." "Ooohhh….bagus dong! Jadi bisa ngerasain juga kan kalau itu tepat di samping kiri, Non…" Saya langsung loncat dari duduk, meringkuk ke samping Pak Kumis yang malah ketawa ngakak bareng semuanya. "Seriussss nih, Pak? Beneran, ya?" Saya memastikan. Aroma melati masih terasa seliweran di indera penciumku. "Hahahaha… Masa dokter takut sama yang begituan???" "Yeee… Bukannya takut, Pak. Cuma nggak enak aja kalau ntar ketemu saya dimintain tanda tangan sebagai sebangsa dan setanah air." "Santai aja, Non! Di sini aman kok. Nggak gangguin kita-kita kalau kita juga nggak gangguin mereka." Saya mulai lega. Kopi item yang menghiasi obrolan malam pun saya seruput kembali. "Pernah ngalamin yang aneh-aneh, Pak?" "Hmmm… Kalau dilihatin sih, sering, Non." "Ya…mulai lagi deh." Pak Kumis pun tidak jadi menunjukkan beberapa lokasi persembunyian makhluk kasat mata tersebut. "Katanya tadi nggak takut, Non?" "Iya, Pak. Cuma masalahnya saya lagi jaga sendirian nih. Mana sepi lagi, yang lain langsung pulang habis visum terakhir tadi." "Kalau Bapak mah, dari sekian ratus mayat yang datang ke sini…" "Jalan kaki gitu, Pak, datangnya?" "Bukan, Non. Datang berkasuslah ke sini. Cuma ada satu yang luar biasa. Perempuan, cantik, dan sampai dua hari mayatnya di sini nggak berbau malah wangi kayak bau melati yang tadi Non bilang." "Serius nih, Pak? Atau jangan-jangan tadi dia lewat, ya?" Saya mulai merinding lagi. "Tenang aja, Non. Si Ibu itu sudah lama meninggalnya kok, sudah ada 5 tahun yang lalu karena penyakitnya." "Kok bisa nggak busuk gitu, Pak, sampai berhari-hari?" "Ya itulah, Non. Mungkin selama hidupnya dia baik dan taat beribadah." Saya diam, kali ini aroma melati yang membuat saya merinding berganti aroma kematian yang merangsang bulu kuduk. Apa nanti jasad saya akan beraroma wangi pula saat saya meninggal? Lalu dengan cara apa roh saya nanti akan pergi meninggalkan raga saya? Apakah menyakitkan, seperti ada sesuatu yang menjerat leher atau malah seperti bakso besar yang tersedak dalam tenggorokan? Apakah wajah saya akan langsung memucat nantinya, atau saya masih dapat berteriak dan sekadar lirih menyebutkan nama Tuhan dan Rasul di penghujung hidup? Apakah aroma dingin akan mengiringi kepergian saya mulai dari kaki, naik ke atas, hingga seluruh bagian tubuh pun mendingin dan kaku? Apakah orang-orang di sekitar saya akan menangis dengan sedu-sedan sebagaimana mereka juga menangis di kala saya pertama kali muncul ke dunia ini? Apakah saya mati saat sedang berbuat amal kebaikan atau malah saat saya lengah berbuat hal tidak baik? Saya tidak tahu dan benar-benar tidak akan pernah tahu. Nguing….nguing…nguing…baru hendak pergi, ternyata suara sirine yang khas datang, pertanda panggilan tugas. “Pasien abadi…” batin saya. Entahlah bagaimana harus menyebut orang yang sudah meninggal sebagai pasien saya kecuali dengan istilah ‘pasien abadi’ karena mereka hanya datang sekali dan saya tidak berharap mereka akan datang lebih dari sekali. Menyeramkan sekali membayangkannya. Kali ini pasien abadi saya diduga korban pemerkosaan. Hmm… Ini sudah yang ketiga kalinya dalam bulan Juni saya memeriksa korban pemerkosaan. Apakah syahwat bangsa saya memang sedang meningkat? Atau gairah perpolitikan sampai juga ke ranjang menjelang Pemilu akbar ini? Entahlah. Tugas saya hanya memeriksa, bukan? Dan pasien tadi menutup malam saya jaga.

****************************** Setiap orang menginginkan akhir hidupnya berada bersama orang-orang yang mereka sayangi. Kata lainnya, betapa mengenaskan kematian dimana tidak ada keluarga mencarimu bahkan hanya untuk sekadar bertanya apakah kamu masih hidup atau tidak. Memang itu yang terjadi pada kebanyakan kasus suddent death pasien abadi saya. Meninggal dengan mendadak tanpa sebab musabab itulah yang kami sebut dengan suddent death. Biasanya pasien tipe ini akan kami visum lalu bila memerlukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui penyebab kematiannya, maka otopsi pun akan kami siapkan. Bedanya, visum hanya mengamati apa yang ada di hadapan kami tanpa melihat organ dalamnya, seperti otopsi yang membuka keseluruhan organ mulai dari otak, jantung, paru-paru, hati, hingga organ rahim atau saluran pembuangan harus diperiksa. Kali ini pasien abadi saya adalah seorang wanita separuh baya yang lebih pantas kami sebut ibu. Dia ditemukan meninggal di pinggir kali di daerah Karang Bendo, Semarang, dengan tubuh berbalutkan banyak lapisan pakaian yang tidak pernah diganti sehingga bau busuk menyeruak hidung. Dari cara berpakaian dan lokasi ditemukannya jasad ini, saya duga dia adalah gelandangan. Lagi pula tidak ada satu pun sanak keluarga yang mencarinya. Usianya sudah lebih dari lima puluh tahun dan mengenaskan sekali melihat posisi terakhir ibu ini tergeletak meringkuk seperti orang tidur yang menggigil kedinginan. Bibir pun dipenuhi luka lecet seperti bekas gigitan karena menahan sakit. Di kaki kirinya tampak sebuah luka lama berupa koreng yang nyaris menutupi telapak kakinya. Bekas nanah masih tampak jelas dan diiringi keluarnya darah di sela ujung jempolnya. Lukanya tidak terawat sama sekali, bercampur tanah yang menyelimuti luka hingga tidak berbentuk lagi. Luka ini seperti bekas ganggren, suatu luka khas pada penderita kencing manis. Entah apa yang ibu ini lakukan di siang hari untuk sekadar memenuhi kebutuhan perutnya karena saya lihat kakinya yang terluka tersebut pastilah sangat sakit bila dibuat berjalan. Saya terdiam, teringat mama di rumah yang beberapa kali mengeluh sakit dan beberapa kali check up ternyata bukan gejala kencing manis. Bayangan ibu sahabat saya yang meninggal karena kecing manis pun hadir di memori dan rasanya mengenaskan karena di akhir hidupnya harus meninggal lantaran kadar gulanya terlalu tinggi. Itu saja ibu sahabat saya sudah mendapatkan obat pengurang kadar gula yang beliau minum rutin, ditambah lagi diet ketat tidak dapat menikmati lezatnya makanan manis, tidak boleh terluka walau hanya sedikit dan rasa perih lainnya. Lalu, bagaimana dengan ibu gelandangan yang jangankan berpikir mendapatkan obat pengatur kadar gula darah karena mungkin untuk makan sehari-harinya saja dia tidak sanggup. Tinggalnya saja bukan di gubuk reyot yang masih ada tempat berteduh melainkan hanya di bawah jembatan yang alas berteduhnya berupa beton tebal diselingi deru kendaraan yang tidak pernah ada usainya. Sungguh ibu itu sangat tegar mengatasi rasa sakitnya hingga titik darah terakhir dia menggigit bibirnya. Hingga malam, saya masih memikirkan ibu tanpa nama ini sampai akhirnya saya datang lagi di malam hari karena penasaran, adakah keluarga yang mencarinya. Ternyata kartu identitas si Ibu sudah ditemukan. Ibu ini berasal dari Surabaya, sebuah jarak yang cukup terhitung jauh karena ibu ini ditemukan meninggal di Semarang. Bacaan Yasin yang niatnya akan saya bacakan saya urungkan karena ternyata kami berbeda keyakinan. Saya pun akhirnya hanya berdoa semoga Tuhan menerima segala amalan kebaikan dia semasa hidupnya termasuk kesabarannya dalam menghadapi sakit. Senada dengan ibu tanpa nama. Sehari sebelumnya kami melakukan pembedahan terhadap jenazah bapak tukang becak yang meninggal mendadak di atas becaknya, meringkuk tidur dengan sarungnya. Jenazah bapak ini kami putuskan untuk diotopsi karena kami menduga kematiannya lantaran penyakit paru kronis. Saya yang mendapat kesempatan untuk ikut dalam bagian otopsi juga diharuskan proteksi diri dengan menggunakan sarung tangan berlapis. Bagaimana pun, bila benar bapak ini menderita penyakit paru kronis, maka kami dapat tertular walau bapak ini sudah tidak bernyawa sekali pun. Saya mendapat bagian memeriksa organ dalam seperti hati dan usus. Total tim otopsi ada delapan dengan lima di antaranya dokter muda seperti saya yang mendapatkan bagian berbeda, seperti bagian kepala, lengan, dan kaki. Bahkan, bagian hanya menulis, pun ada. Sisanya adalah para dokter residen yang sedang mengambil spesialisasi forensik. Satu profesor kami yang sudah puluhan tahun di bidang perotopsian tidak lupa menemani kami sebagai mentor utama. Otopsi dimulai dengan berdoa terlebih dahulu lalu residen mulai membelah dada pasien menggunakan pisau tajam. Perlahan namun pasti residen mulai menggerakkan pisau bedah menguliti dinding dada lelaki itu. Mematahkan tulang rusak kanan dan kirinya dengan pisau panjang lalu membuka perlahan rongga dadanya. Mendengus dan menahan nikmatnya bau tidak sedap ketika rongga dada itu terbuka. Sret….sret….bunyinya begitu miris karena ketajamannya yang terasah membuat tulang iga pasien tersebut dapat dengan mudah dipatahkan dan terlihatlah rongga dadanya. Tidak berhenti sampai di situ, kali ini residen langsung menguliti bagian dada supaya otot dada terlihat dengan jelas dan saat dibuka nanti tidak ada penghalang lagi. Para koas bagian dada pun kebagian membantu memegangi kulit tersebut supaya residen lebih mudah melakukan tugasnya. Acara menguliti yang lebih mirip tukang jagal pun berakhir dan terbukalah sudah rongga dada pasien tersebut. “Buka semua jendela, Dek!” Dokter senior memerintahkan koas membuka semua jendela yang secara langsung terhubung dengan ruang kuliah kami. Berbagi bau busuklah dengan koas lain yang belum berkesempatan otopsi langsung dan hanya melihat kami dari video teleconference yang tersambung di ruang kuliah tersebut. Bau pasien yang diduga sudah dua hari meninggal mendadak dan tanpa diketahui siapa pun ini memang sudah tercium sangat menyengat. Lebih menyengat lagi saat rongga dadanya dibuka. Walau sudah tahunan saya mencium bau busuk mayat namun tetap saja saya butuh udara segar. Warna hitam tampak menghias rongga dadanya lantaran paru-parunya legam berwarna hitam, nyaris tidak ada warna kemerahan sedikit pun. Keduanya melekat erat pada dinding dada dan tidak mengembang selayaknya paru manusia normal yang berwarna merah. Oh Tuhan… Paru-paru macam apa yang saya lihat ini? Baru kali ini saya melihat paru yang tidak layak disebut sebagai paru, tempat oksigen disaring. Hitam legam, berbenjol tak beraturan dengan nanah nyaris memenuhi setiap bagian parunya. Pless…. Pisau residen tidak sengaja mengenai parunya dan memecahkan puluhan butir kantong nanah yang berbenjol di seluruh parunya. Nanah membanjiri rongga dadanya seperti jus alpukat yang biasa saya minum sehari-hari. Bau anyir pun makin menyeruak, bercampur dengan bau busuk yang sudah ada sebelumnya. Seluruh tim otopsi sudah bersiap dengan perlindungan utama, termasuk sarung tangan berlapis dan masker sehingga nanah yang mengalir deras ini langsung ditampung. Jelas saja bagian tampung-menampung adalah tugas koas. Hampir empat gelas belimbing jumlah nanah itu. Gila!!! Konyol rasanya membayangkan lelaki ini dapat bertahan hidup hingga usia enam puluh tahun dengan paru-paru legam bercampur nanah. Bagaimana mungkin dia bisa bernapas dengan sakit luar biasa seperti ini sembari mengayuh becaknya hanya demi selembar uang yang mungkin dia pakai untuk merokok yang dia kira dapat menghilangkan nyeri di dadanya tapi malah menjadi bumerang baginya?! Bagaimana mungkin lelaki tua ini masih sanggup mengayuh becak di Semarang yang tanahnya tidak pernah rata ini sambil berebut oksigen bersih dari asap hitam banyak kendaraan. GILA!!! Saya benar-benar tidak habis pikir. Ini sungguh GILA!!! Ibu dan bapak tanpa nama itu benar-benar orang kuat yang bertahan di tengah kejamnya kehidupan kota besar. Saya berharap dalam kehidupan mereka sebelumnya ada kebaikan tidak terkira sehingga pintu surga terbuka untuk mereka. Setidaknya kehidupan mereka yang sengsara di dunia dapat digantikan dengan kehidupan bahagia di akhirat nanti. Dan pasien tersebut bukan hanya satu dari sekian pasien abadi yang memberi saya pelajaran hidup bahwa RASA SYUKUR dapat datang dari makhluk tidak bernyawa sekali pun. Bahwa TUHAN masih membiarkan kita di bawah atap rumah, di bawah atap buminya untuk berbagi dengan orang lain yang jauh lebih tidak beruntung dibanding kita. Thanks GOD for opening my eyes widely. Belajar dari mayat Belajar jadi mayat Belajar mencari kematian dengan jalan yang terbaik

Avis, dr In memorial of forensic Umbu Ngedo Sumba Barat Daya 181111

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun