Gorengan akhirnya menjadi pelabuhan terakhir si Mbok yang walau sudah berusia lanjut tetap saja berada di balik layar usaha ini. Hanya bermodalkan gerobag panjang, sekilas saya merasa ah menjual gorengan tidaklah susah, hanya "goreng" saya lalu selesai. Namun, satu hari bersama si Mbok membuat saya mengubah pandangan bahwa segala usaha yang terkesan sederhana sebenarnya berasal dari dedikasi penuh dari para pemiliknya. Yap, Sabtu (17/5/14) kemarin saya beruntung dapat bermain dan memberikan kejutan ke rumah si Mbok. Sejak pertama kali bertemu dengan si Mbok, saya merasa seperti ketemu Mbah saya di Jawa dan setelah dijelaskan alamat rumah beliau, saya memang berjanji untuk main. Tadinya mau berkunjung ketika buka puasa atau lebaran tapi rasanya terlalu lama.
Saya tahu di si Mbok masih terkejut ketika saya hadir ke rumahnya. Saya lebih terkejut lagi ketika menyaksikan sendiri si Mbok mengolah semua adonan dan racikannya sendiri. Ditemani oleh anak keduanya (Pak Agung karena anak pertamanya bernama Agung), saya pun merasakan sehari menjadi penjual gorengan. Ternyata nongkrong di depan supermarket sejak jam 5 sore hingga 10 malam itu bagian dari rangkaikan panjang usaha dalam sehari.
Sejak dini hari si Mbok memang sudah bangun untuk mempersiapkan segalanya. Jika dulu masih si Mbok sendiri yang belanja ke pasar, sekarang sudah tidak lagi. Anak pertamanya yang wanita yang kini belanja. Dalam satu hari belanjaannya tidak pernah saya duga akan sebanyak itu. Bahkan untuk tepunya saja sampai satu karung besar yang habis untuk sehari. Itupun katanya produksi sengaja dikurangi karena satu anaknya sedang mudik ke Jawa dan tidak ada tenaga tambahan. Belum lagi tahu, singkong, tempe juga sayuran lainnya. Hanya aneka gorengan.
Sejak pagi aktivitas racik isian tahu goreng hingga combro dimulai dan biasanya ketika sudah terdengar azan Ashar mereka akan mulai menggoreng sebagian di rumah. Cara menggorengnya pun cukup unik karena menggunakan drum berisi serbuk kelapa yang dibakar. Konon ini dapat mengirit bahan bakar minyak tanah yang semakin mahal dan sulit didapatkan di Papua. Sengaja digoreng sebagian ini agar ketika nangkring sudah bisa menjual jika ada pembeli datang.Sementara jam 5 sore adalah patokanPak Agung harus sudah mendorong gerobag panjangnya ke tempat tongkrongan.
[caption id="attachment_337166" align="aligncenter" width="335" caption="Bahan pembuatan combro siap digoreng (Dok Pribadi)"]
[caption id="attachment_337168" align="aligncenter" width="298" caption="Sebagian digoreng di rumah supaya cepat (Dok Pribadi)"]
[caption id="attachment_337163" align="aligncenter" width="343" caption="Pak Agung, anak kedua Mbok Sum ikut menjalankan roda bisnis keluarga ini (Dok Pribadi)"]
[caption id="attachment_337165" align="aligncenter" width="436" caption="Mulai beraksi di gerobag panjang (Dok Pribadi)"]
Setelahnya, ratusan gorengan pun siap dijual seharga seribu rupiah. Rupiah demi rupiah pun mengalir. Bagi saya ini harga yang sangat murah bila dibandingkan dengan perjuangan mereka mempersiapkan segala hal tersebut. Bahkan saya bilang, sekarang kalau mau makan gorengan si Mbok jadi gak tega. Saya gigitnya cuma sekali tapi si Mbok bikinnya seharian. Hehe
Berkah Gorengan
Bagi saya, si Mbok contoh sukses dan berkahnya suatu usaha. Saat ini si Mbok bahkan sudah mempunyai kendaraan roda empat yang dapat digunakan untuk belanja ke pasar. Bahkan juga bisa membangun rumah kos-kosan dengan banyak kamar. Yang lebih penting lagi, usaha keluarga tersebut ternyata dapat menyekolahkan cucunya kuliah di Yogyakarta di jurusan pertambangan. Satu hari bersama si Mbok cepat berlalu tapi saya nanti akan rajin datang. Mencicipi gorengan pertama ternyata sensasinya spesial.