Mohon tunggu...
Avirista Midaada
Avirista Midaada Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Apa adanya bukan ada apanya.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Surat Terbuka Untuk KAPOLRI

19 Desember 2014   22:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:56 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang selama ini telah ada peraturan dimana denda tilang dapat dibayarkan melalui bank yang ditunjuk POLRI, namun aplikasinya di lapangan tidak semuanya bisa dilaksanakan, kekurangsiapan sistem dalam menunjang peraturan yang dibuat membuat peraturan itu tak berarti. Para pengendara yang terkena tilang harus membayar denda itu ke kantor cabang pusat bank tersebut yang biasanya terdapat di Ibukota Kabupaten atau di pusat Kotamadya. Belum lagi penjelasan yang minim dari petugas kepolisian membuat masyarakat yang terkena tilang tidak berpikir panjang. Hanya punya dua pilihan, membayar uang yang diklaim denda tilang di tempat operasi itu juga kepada petugas dengan resiko tidak dimasukkan ke berita acara hasil operasi dan uangnya masuk ke saku petugas sendiri, atau pilihan kedua mendapat surat tilang yang mana polisi kebanyakan langsung mmberikan surat tilang warna merah tanpa menawarkan surat tilang warna biru, kemudian mengikuti sidang di Pengadilan Negeri di daerah operasi itu di selenggarakan dan membayar denda di pengadilan. Pilihan kedua memang lebih masuk akal mengurangi indikasi suap, karena setelah pembayaran denda di pengadilan tersebut, pelanggar mendapat bukti pembayaran denda dan jelas masuk ke mana uang denda yang dibayarkan pelanggar.

Maksud saya di sini, jika memang akan mengadakan operasi bagi kendaraan bermotor oleh POLRI, tertibkanlah anggotanya terlebih dahulu berikan pengarahan untuk menjelaskan sejelas - jelasnya kepada masyarakat terkait bagaimana jika melanggar, apa saja yang merupakan hak pelanggar itu sendiri, hingga penjelasan terkait sistem pembayaran denda yang benar. Peraturan tampaknya juga harus menguntungkan masyarakat, terutama masyarakat yang terkena penilangan operasi kendaraan bermotor, namun tidak berdomisili di wilayah di mana operasi itu di selenggarakan seperti kasus yang saya alami di atas. Ini dimaksudkan, para pengendara bermotor yang terkena tilang yang hanya lewat dan berdomisili jauh dari tempat operasi bisa yakin bahwa uang yang diklaim petugas denda tersebut benar - benar masuk ke kas negara bukan ke kantong pribadi petugas kepolisian, di sisi lain para pengendara tidak harus datang di persidangan di Pengadilan Negeri yang tentunya dapat memakan waktu dan biaya lagi untuk hadir di Pengadilan Negeri. Jika memungkin pengendara yang melanggar dapat mengikuti persidangan tapi tidak perlu hadir sendiri atau perwakilan pelanggar, setelah sidang pelanggar dapat membayar denda yang ditetapkan hakim melalui bank - bank yang sudah bekerjasama dengan POLRI.

Saya yakin apa yang saya alami di atas juga pernah di alami ribuan, bahkan mungkin bisa jutaan masyarakat di Indonesia. Bahkan beberapa teman saya di Malang yang satu almameter pernah melakukan "update status" di salah satu media sosial beberapa hari setelah saya terkena operasi pada Selasa 9 Desember 2014 di Kabupaten Sragen, dan kasusnya pun sama harus memberikan uang kepada petugas kepolisian untuk dapat titip sidang, namun entah tindakan pelanggaran itu dicatat atau tidak di bukti acara operasi.

Ketika institusi POLRI sudah mencanangkan bebas KKN, dengan memasang banner dan spanduk "Stop Menyuap Polisi" di berbagai kantor kepolisian dari tingkat pusat di Jakarta, POLDA, hingga tingkat Polsek bahkan di pos polisi sekalipun, tapi mengapa petugas di lapangan menawarkan pembayaran uang yang diklaim denda sebagai penitip di persidangan, dengan indikasi uang yang harusnya masuk ke kas negara beralih masuk ke kantong pribadi petugas.

Jika tanggal 9 Desember lalu kita peringati sebagai Hari Anti Korupsi, dimana KPK begitu gencar mengkampanyekan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme. Namun sebuah institusi negara yang berpartner dengan KPK justru mengajarkan indikasi suap dengan dalih pembayaran denda tilang yang akan masuk ke kas negara. Sekali lagi saya tekankan, perlu adanya perubahan fundamental pada anggota terlebih dahulu disamping juga mengajarkan pada masyarakat cara - cara pembayaran denda sesuai prosedural Undang - Undang yang berlaku tanpa harus merugikan hak masyarakat itu sendiri.

Ketika Pak Zaenal Mochtar Dirut Pusat Kajian Pemberantasan Korupsi UGM mencontohkan tindakan sederhana apa yang dapat dilakukan mahasiswa, untuk memberantas korupsi pada salah satu acara Talk Show di sebuah Televisi Swasta beliau menjawab tidak memberikan uang kepada petugas polisi saat terjaring razia. Namun bagaimana jika petugasnya sendiri yang seolah meminta uang dengan dalih sebagai pembayaran denda untuk proses sidang yang dititipkan.

Jika institusi POLRI tidak berbenah bukan tidak mungkin stereotipe polisi sebagai peminta uang di jalan yang legal akan terus berkembang di masyarakat. Meskipun di sisi lain, saya meyakini bahwa tidak semua aparat kepolisian di tingkat pusat hingga Polsek yang bermental KKN. Masih banyak aparat kepolisian yang memiliki integritas tinggi dan benar - benar menjadi pelayan dan sahabat masyarakat, bukan meminta layanan dari masyarakat. Jadi kalau tidak sekarang kapan lagi? Saatnya gelorakan REVOLUSI BERSIH seperti yang dicanangkan KPK.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun