Mohon tunggu...
AVINDA  ASYARO  TAGHSYA
AVINDA ASYARO TAGHSYA Mohon Tunggu... -

Sampoerna Academy

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pancaran Cahaya Sang "Bidadari Surga"

26 Februari 2018   21:44 Diperbarui: 16 Maret 2018   11:04 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tere Liye adalah salah satu penulis hebat dalam dunia literasi Indonesia yang telah menciptakan kurang lebih 29 karya. Dari banyaknya karya Tere Liye tersebut, novel Bidadari-Bidadari Surga menjadi salah satu novelnya yang saya suka. Secara garis besar, Novel Bidadari-Bidadari Surga adalah novel yang mengangkat tema kekeluargaan. Namun tak hanya itu, dalam novel ini sang penulis juga menambahkan unsur-unsur cerita seperti pengorbanan, kehormatan, percintaan, kasih sayang, dan kerja keras yang membuat novel ini menjadi menarik untuk dibaca dan berbeda dari yang lainnya.

Hubungan kekeluargaan dalam novel ini di dukung oleh para tokoh yang saling bersaudara. Selain itu, hubungan kekeluargaan dalam novel ini bisa terlihat ketika sang Mamak memberikan kabar kepada anak-anaknya pada awal cerita sebagai berikut:

"Pulanglah anak-anakku! Untuk pertama dan sekaligus untuk terakhir kalinya, kakak kalian membutuhkan kalian..."(pdf hal.2)

Kutipan di atas menceritakan keadaan sang Mamak yang kebingungan dengan anak sulungnya yang menderita penyakit berbahaya sedangkan anak-anaknya yang lain sedang tidak berada di rumah. Oleh karena itu, sang Mamak memutuskan untuk memberi kabar kepada anak-anaknya melalui via SMS.

Dalam novel Bidadari-Bidadari Surga ini, sang penulis Tere Liye menyampaikan jalan ceritanya dengan halus menggunakan alur campuran. Jadi terdapat alur maju dan mundurnya. Tokoh-tokoh dalam novel ini digambarkan ketika usia dewasa dan masa-masa kecil nya oleh sang penulis sama rincinya. Jadi, bagian sang penulis memberikan cerita ketika masa sekarang dan dahulu memiliki perbandingan yang sama. Novel Bidadari-Bidadari Surga ini juga menggunakan bentuk jenis alur jumlah yang non-tunggal. Hal ini dikarenakan kisah-kisah sang adik dari tokoh utama di jelaskan secara masing-masing namun pada akhirnya cerita mereka menuju hal yang sama yaitu Kak Laisa sang tokoh utama.

Kutipan tokoh Yashinta berikut diceritakan oleh sang penulis dengan menggunakan alur campuran:

"Masih jauh, Kak? Lima menit? Sepuluh menit?" Gadis kecil yang berumur enam tahun bertanya lagi sambil melepas daun yang tersangkut di rambut. (pdf hal. 16)

"Kau sudah 33 tahun, Yash.... Sudah saatnya menikah---" (pdf hal. 130)

Kak Laisa yang mengajarinya tentang alam, "Itu kukang, Yash!" Tertawa melihatnya ketakutan saat seekor kukang melompat. (pdf hal.132)

Sesuai kutipan di atas, di awal dari cerita memang sang penulis sudah pernah menceritakan akan masa lalu Yashinta kemudian dilanjutkan permasalahan pernikahan sang adik bungsu yang ingin mendahuluinya namun akhirnya sang penulis melanjutkan cerita akan masa lalu sang kakak sulung dengan adik bungsu itu kembali. Oleh karena itu, kejadian itu terjadi menggunakan alur campuran.

Novel Bidadari-Bidadari Surga ini memiliki sosok tokoh utama yang sangat luar biasa yaitu, Kak Laisa. Kak Laisa merupakan kakak sulung dari lima bersaudara. Nama adik-adik sang tokoh utama adalah Dalimunte, Ikanuri dan Wibisana,serta Yashintha. Kak Laisa dalam novel ini sendiri pun diibaratkan bak Bidadari Surga karena hatinya yang sangat mulia. Meskipun, Dia memeliki bentuk fisik dan kepribadian yang berbeda dengan saudara-saudara yang lain seperti tubuh gempal,berkulit hitam,dan berambut keriting, Kak Laisa tidaklah menjadi rendah diri. Pekerja keras, cerdas, rajin, penyayang, penyabar, dan tegar itulah sifat-sifat terkenal Kak Laisa.

Rasa sayang dan rela berkorban dari tokoh Laisa bisa dilihat dari kutipan berikut:

"Puyang tidak boleh memakan mereka... Laisa mohon. tidak boleh---"

"Dali, bawa adik-adikmu lari.... LARI!!"  Kak Laisa berseru panik. Situasinya semakin mencekam. Harimau-harimau kembali bersiap. Dalimunte yang menatap ketakutan dari balik semak mendecit. "Dali, CEPAT! Bawa adik-adikmu lari!"(pdf hal. 52)

"Dali, bilang Mamak, bilang Mamak, Lais pergi...

Saat itu, Ikanuri dan Wibisana sedang bertengkar dengan Kak Laisa dan mereka ingin pergi ke kota melalui gunung Kendeng. Ketika Kak Laisa dan Dalimunte mencari mereka, keadaan sudah mencekam. Mereka berdua sedang berhadapan dengan tiga harimau yang sebentar lagi akan memakan mereka. Untungnya Kak Laisa dan Dalimunte datang tepat waktu. Akhirnya, Kak Laisa lah yang berdiri di depan harimau-harimau itu dan siap menjadi ganti dari adik-adiknya. Namun, kebaikan Kak Laisa juga terbayarkan dengan kebaikan, yaitu sang harimau memalingkan tubuhnya dan pergi.

"Aku tidak akan membiarkan Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta putus sekolah karena mengganti tanaman di kebun, Mak. Aku tahu, kalau aku gagal, mereka bisa putus sekolah kehabisan bayaran, tapi sungguh aku tidak ingin itu terjadi...."(pdf.hal 70)

Kutipan di atas menggambarkan kerja keras dan rasa sayang Laisa untuk adik-adiknya. Dia rela tidak melanjutkan sekolahnya agar adik-adiknya masih bisa melanjutkan sekolah dan justru memilih untuk membantu Mamak dan mengurus ladangnya saja. Dia berpikir bahwa seorang wanita pasti hanya berakhir menjadi seorang istri dan tidak terlalu perlu bersekolah tinggi-tinggi. Adiknya lah yang lebih membutuhkan dan pantas bersekolah.

Kemudian, meski Laisa menjadi kakak sulung yang seharusnya melakukan pernikahan yang pertama, tetapi dia justru sangat ikhlas ketika pada akhirnya ketiga adiknya mendahuluinya. Meskipun pada akhirnya, Laisa sudah tidak akan pernah bisa merasakan kebahagiaan dengan keluarga kecil bersama seorang suami.Berikut adalah salah satu kutipan bukti kesabaran dan keikhlasan hati seorang Laisa:

"Kau tidak perlu menunggu Kakak.... Sungguh. Sama sekali tidak perlu. Kelahiran, kematian, jodoh semua sudah ditentukan. Masing-masing memiliki jadwal. Giliran---"(pdf hal.82)

Tidak kalah dengan tokoh Kak Laisa,sang penulis membuat tokoh-tokoh yang lainnya juga berperan besar dalam jalan cerita novel ini.Tokoh Dalimunte merupakan adik paling besar dari Kak Laisa mempunyai kecerdasan yang luar biasa. Di saat umur Dalimunte masih dua belas tahun, dia sudah berhasil membuat kincir air 5 tingkat dan memberikan penghidupan kembali kepada warga Lembah Lahambay itu.

"Itu lima meter tingginya, Dalimunte! Sebesar apa kincir yang harus kita buat agar bisa mengangkat air dari sungai bawah cadas? Kau harusnya tahu itu."  Pemuda itu berseru sedikit putus-asa. "Tidak besar. Tidak besar!"   Dalimunte   menjawab cepat. Setelah   lima   menit menjelaskan kertas-kertasnya dengan terbata-bata, meski masih gugup, dia jauh lebih tenang sekarang, "Tapi kita akan membuat lima kincir air, membuatnya bertingkat! Tidak besar!"(pdf hal.34)

Dalam kutipan di atas Dalimunte memberanikan diri mengusulkan idenya di depan warga meski tidak semua warga bisa menerima penemuannya itu. Sangat sulit untuk menyakinkan warga, akhirnya berkat bantuan Kak Laisa, usul dari Dalimunte bisa di terima oleh warga. Kemudian, selang beberapa hari akhirnya para warga dengan pimpinan Dalimunte dan Kak Laisa pun gotong royong membuat kincir air tersebut. Kincir air telah berhasil di buat dan para warga pun menjadi berkembang. Tak hanya sebatas itu kecerdasan dan kerja keras Dalimunte. Ketika dia sudah besar dan berpendidikan, dia memulai membuka penelitian kembali akan hal yang bernafaskan islam. Profesor hebat itu menjadi terkenal dengan penelitiannya yang membuktikan bahwa bulan memang terbelah.

Kutipan berikut adalah penjelasan sosok moderator akan tokoh Dalimunte akan penelitiannya di depan para hadirin:

"Inilah jurnal ilmu-pengetahuan terkemuka di dunia.... Lihatlah edisi bulan ini, edisi terbaru! Terpaksa menurunkan laporan tidak lazim, utuh sebanyak 49 halaman, hmm, itu bisa dibilang hampir seperempat tebal majalah ini.... Kenapa saya sebut tidak lazim? Karena laporan ini sungguh tak biasa bagi banyak ahli fisika yang kebanyakan sekuler. Apalagi untuk konsumsi publik di negara-negara Barat sana. Judul penelitiannya adalah: 'Pembuktian Tak Terbantahkan Bulan Yang Pernah Terbelah'. Kepala-kepala menyeruak. Berebut ingin melihat lebih jelas. (pdf hal.3)

Setelah penelitian tersebut, Dalimunte membuat kekagetan lagi dengan penelitiannya dengan Badai Ekktromagnetik Antar Galaksi menjelang hari kiamat...."

"....Oleh apa kita akan kehilangan ilmu pengetahuan dan berbagai teknologi canggih tersebut? Kemana menguapnya akumulasi ilmu pengetahuan yang hebat itu? Inilah poin terpenting penelitian Badai Etektromagnetik Antar Galaksi yang akan menghantam planet ini sebelum hari kiamat. Yang membuat berbagai peralatan elektronik, listrik, dan kemajuan teknologi lainnya seolah 'membeku', tidak berfungsi lagi. Mati---"(pdf hal.7)

Berbeda dari Dalimunte yang cerdas, alim, nurut dengan sang Mamak dan Kak Laisa, sang adik Ikanuri dan Wibisana bagaikan kuku dengan inainya. Apa yang dilakukan Ikanuri pasti diikuti oleh Wibisana meskipun hal itu buruk. Suka membolos, jahil, dan membangkang adalah sifat mereka ketika kecil.

Berikut adalah contoh kutipan sikap Ikanuri dan Wibisana ketika kecil:

"Kami tidak mau pulang. Tidak mau. Kau bukan Kakak kami, kenapa pula kami harus menurut!"  Ikanuri mendesis tak kalah galak. Wajah anak berumur sepuluh tahun itu mengeras.(pdf hal.42)

Kutipan di atas terjadi ketika para warga tengah sibuk membuat kincir sedangkan mereka tidak diketahui keberadaannya. Sang Mamak kemudian menyuruh Kak Laisa untuk mencarinya. Setelah sekian lama mencari, Kak Laisa masih belum menemukannya dan ketika Kak Laisa sudah putus asa dan ingin kembali ke tempat pembuatan kincir, Kak Laisa melihat sesuatu yang aneh dengan pohon mangga milik Wak Burhan. Ternyata Ikanuri dan Wibisana ada di sana. Mereka takut ketahuan mencuri oleh Kak Laisa dan akhirnya terjatuh. Sekian lama berdebat, akhirnya Kak Laisa menyuruh mereka untuk pulang namun dua sigung nakal itu tidak mau mengikuti perintah kakaknya itu.

Namun, akhirnya mereka tersadar dan tumbuh menjadi anak yang sayang dengan kakaknya sejak kejadian harimau di Gunung Kendeng waktu itu.

Ikanuri langsung bersimpuh, gemetar menciumi tangan Kak Laisa, Wajahnya buncah sudah oleh rasa sesal. Dan dia seketika menangis--- "Maafkan Ikanuri.... Sungguh maafkan Ikanuri, Kak Lais.... Maafkan Ikanuri yang dulu selalu bilang Kak Laisa bukan kakak kami--- ?" Dan Ikanuri tersungkur sudah. Tersedu.     Padahal saat itu Kak Laisa masih tertidur.(pdf hal.115)

Kutipan di atas terjadi ketika Ikanuri dan Wibisana yang sedang berada di luar negeri untuk sebuah proyek mobil menyegerakan pulang karena SMS yang di kirim oleh sang Mamak. Mereka takut waktu mereka tidak cukup  untuk bertemu terakhir dan meminta maaf kepada sang kakak. Pikiran mereka sudah kemana-mana untuk usia Kak Laisa. Ketika dewas, tokoh Ikanuri dan Wibisana sukses dengan bengkel mobilnya.

Berjalan jauh menelusuri cerita, Tokoh Yashinta dalam novel ini digambarkan sebagai sosok yang cantik rupawan yang amat cinta dengan alam. Hubungan Yashinta dengan tokoh utama Kak Laisa bisa di bilang baik-baik saja. Bahkan ketika kecil, Yashinta sering sekali bermain bersama Kak Laisa untuk melihat berang-berang.

"Terima kasih.... Terima kasih karena Kak Lais dulu telah mengajak Yash melihat lima anak berang-berang itu.... Sungguh...." Dan Yashinta tidak kuasa lagi melanjutkan kalimatnya.(pdf hal.91)

Dalam novel ini, pernikahan Yashinta lah yang menarik perhatian. Sebelumnya, kakak-kakaknya telah melakukan pernikahan seperti biasa, hanya saja mendahului Kak Laisa. Kemudian, di usia Yashinta yang sudah dewasa dan matang, dia tetap tidak ingin menikah mendahului Kak  Laisa karena didahului oleh sang adik pasti menyakitkan. Pada akhirnya, sebelum sang tokoh utama menutup mata untuk terakhir kalinya, Yashinta berhasil menikah dengan Goushky di depan kakaknya sendiri berkat permintaan sang tokoh utama sendiri.

"Menikahlah, Yash.... Sekarang---" Kak Laisa tersengal. Nafasnya benar-benar tidak terkendali lagi. Yashinta tersedu. Menciumi jemari kakaknya.Lima menit kemudian pernikahan itu dilangsungkan. Dalimunte yang menjadi wali pernikahan. Bang Jogar dan salah satu penduduk kampung lainnya menjadi saksi.(pdf hal.136)

Tiada kelima saudara itu tanpa adanya Sang Mamak,seorang wanita yang tegar, penyayang, dan pekerja keras yang melahirkannya. Sang Mamak dalam novel ini digambarkan sebagai sosok yang sangat bijaksana. Beliau selalu mendidik anaknya untuk tumbuh menjadi anak yang cerdas dan membanggakan keluarga tanpa melupakan agama.

Dalam kutipan berikut penulis menuliskan secara langsung cara sang Mamak dalam mendidik anak-anaknya:

Selepas shubuh, meski penat karena dua jam memasak gula aren di dapur, seusai shalat bersama, mengaji bersama, Mamak akan menyempatkan diri lima belas menit hingga setengah jam bercerita. Tentang Nabi-Nabi, sahabat Rasul, tentang keteladanan manusia, tentang keteladanan hewan dan alam liar (dongeng-dongeng), negeri-negeri ajaib, dan sebagainya. Dari situlah imajinasi mereka terbentuk. Tidak ada gambar-gambar, karena Mamak tidak bisa membelikan mereka buku cerita. Juga tidak ada televisi. Mereka bisa melihatnya langsung di alam sekitar. Lembah mereka.(pdf hal.126)

Sejak kecil Mamak mengajarkan ritus agama yang indah kepada mereka. Shalat maiam salah satunya.  "Lais, seandainya kita bisa mengukurnya seperti timbangan beras, shalat malam yang baik seharga seluruh dunia dan seisinya."(pdf hal.126)

Dalam novel Bidadari-Bidadari Surga ini, Tere Liye menggunakan dua latar negara,yaitu Indonesia dan luar negeri. Di Indonesia, sang penulis memilih Lembah Lahambay yang penuh akan hamparan strawberry menjadi latar tempat dari kebanyakan ceritanya. Sang penulis juga menggunakan surau, rumah Mamak, dan sungai yang menjadi saksi akan kincir 5 tingkat itu. Selain itu, Gunung Semeru dan Jakarta juga ikut andil sebagai latar dalam cerita. Untuk latar yang di luar negeri, Tere Liye memilih Prancis dan Swiss untuk tokoh Ikanuri dan Wibisana. Berikut salah satu cara penulis menjelaskan latar tempat yang ada di novel:

 "Mereka lahir disebuah lembah indah yang sempurna dikepung hutan belantara. Terpencil dari manapun. Dua jam perjalanan dari kota kecamatan terdekat. Namanya, Lembah Lahambay. Persis di tengah-tengah bukit barisan yang membentang membelah pulau."(pdf hal.16)

Di samping latar tempat, sang penulis juga menyampaikan latar waktu. Latar waktu yang digambarkan penulis adalah tersurat dan tersirat mencakup pagi, siang, dan malam.

Berikut adalah contoh kutipan penggambaran latar waktu sang penulis dalam novel Bidadari-Bidadari Surga:

"Cahaya matahari senja menerabas indah bingkai jendela kamar."(pdf hal.136)

"Malam hari. Pukul 19.30 di sini. Speaker di pesawat memperdengarkan suara merdu sang pramugari yang lembut menyapa penumpang"(pdf hal.8)

"Asyik benar duduk di atas bebatuan sambil menyantap makan siang."(pdf hal.39)

Latar Sosial yang diambil Tere Liye dalam novel Bidadari-Bidadari Surga ini adalah masyarakat desa Lembah Lahambay. Sang penulis menggambarkan masyarakat desa yang masih erat hubungan kekeluargaannya satu sama lain. Mereka masih mau bekerja gotong royong demi kemakmuran desa seperti membuat kincir bersama. Mereka juga masih membiasakan untuk bermusyawarah dan berkumpul dengan yang lainnya di surau tidak seperti halnya masyarakat kota. Selain itu, latar sosial novel ini pun masih menggunkan segala sesuatu yang masih sederhana belum dengan teknologi modern yang canggih semacam zaman sekarang. Oleh karena itu, dalam novel ini tokoh Dalimunte masih memikirkan bagaimana cara untuk membuat suatu alat yang bisa menggerakkan air untuk irigasi lading mereka tanpa teknologi yang modern dan membutuhkan banyak biaya. Berikut adalah cuplikannya:

"Ahad berikutnya, seperti kesepakatan pekan lalu, penduduk kampung bergotong-royong membuat lima kincir air di pinggir cadas sungai. Melaksanakan ide Dalimunte."(pdf hal.38)

"Ia menyiapkan teknologi pengalengan sederhana. Dengan gentong-gentong besar dari tanah yang banyak dijual di kota kecamatan. Jadi tak ada lagi buah yang busuk ketika tiba di kota provinsi."(pdf hal.73)

"Warga kampung berkumpul. Tidak ada lagi wajah-wajah suram habis bekerja seharian, pakaian seadanya, dan semacam itu seperti mereka sering berkumpul di balai kampung dulu."(pdf hal.79)

Dalam pengemasan novel Bidadari-Bidadari Surga ini, sang penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu.

"Kak Laisa setiba di rumah panggung langsung menyiapkan bekal makanan seadanya, kemudian menyusul Mamak Lainuri di ladang bersama Dalimunte ---yang tetap lebih banyak berdiam diri setelah dimarahi di sungai tadi, menunggu rumah."(pdf hal.27)

"Lantas apa peranku dalam cerita ini? Aku hanya saksi hidup."(pdf hal.133)

"Aku tersenyum lebar, lantas menekan pedal gas, meluncur menuju rumah panggung itu. Menjadi saksi urusan ini. Mungkin pula jika mereka mengijinkan, menuliskan kembali kisahkisah masa kecil mereka yang indah."(pdf hal.133)

Kutipan di atas menunjukkan sudut pandang penulis dalam menjelaskan tokoh utama tetapi dia pernah menjelaskan sedikit akan dirinya dalam cerita Bidadari-Bidadari Surga bagian akhir-akhir. Tere menjadi sosok serba tahu atas semua yang dilakukan tokoh di novelnya dan menceritakannnya dalam novel. Pemilihan sudut pandang orang ketiga ini juga membuat beliau lebih leluasa dalam menyampaikan perasaan masing-masing tokoh.

Novel Bidadari-Bidadari Surga ini banyak sekali memberikan pembelajaran kepada sang pembaca. Nilai moral seperti kedisiplinan, kerja keras, kesabaran, dan kemandirian, semua itu telah di contohkan oleh sang tokoh utama, Kak Laisa. Selain itu, dalam novel ini juga masih memperhatikan benar akan nilai budaya yang ada. Hal itu dibuktikan oleh tokoh Dalimunte, Ikanuri, Wibisana, dan Yashinta bahwa melangkahi seorang kakak itu sebenarnya tidak boleh. Namun, karena sang kakak sendiri yang memaksa dan telah ikhlas maka akhirnya mereka tidak melakukan nilai budaya yang ada. Kemudian, dalam novel ini sang penulis juga memberikan gambaran akan nilai agama. Tere Liye menggambarkan para tokohnya tidak pernah lupa akan kewajiban yang ada dalam agama mereka seperti, selalu melakukan sholat tepat waktu, mengaji,dan lainnya.

Tere Liye, penulis dari novel Bidadari-Bidadari Surga ini tumbuh dewasa di pedalaman Sumatra. Beliau memiliki kehidupan sederhana dengan orang tuanya yang bekerja sebagai seorang petani. Oleh karena itu, dalam penyajian novel ini, beliau tahu benar akan kehidupan di desa dan tahu benar akan sistem perkebunan dan pertanian. Tanpa kita sadari, tempat yang di pilih oleh penulis pun tidak jauh-jauh dari daerah asalnya contohnya seperti, Lembah Lahambay yang berada di Sumatera. Kesederhanaan yang ada pada diri penulis pun berpengaruh besar dalam penyampaian cerita novel ini. Beliau menggunakan kata-kata yang padat namun ringan sehingga seorang pembaca akan merasa terlibat langsung dalam cerita.

Demikian pembahasan saya tentang novel Bidadari-Bidadari Surga, semoga kita sebagai manusia selalu mengingat akan perjuangan orang-orang sekitar kita untuk kita. Tak lupa, semoga kita juga bisa memiliki hati seindah Bidadari Surga seperti halnya yang dicontohkan tokoh Laisa. Terimakasih. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun