Mohon tunggu...
Avilla D Ratnafuri
Avilla D Ratnafuri Mohon Tunggu... Lainnya - IR Student

Mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Globalisasi Ekonomi Ala Konsensus Washington: Benarkah IMF dan Bank Dunia Menjadi Predator Kemiskinan bagi Negara Berkembang?

21 Maret 2023   08:08 Diperbarui: 21 Maret 2023   08:26 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kontroversi Kebijakan IMF dan Bank Dunia

Secara eksplisit, paket dari kebijakan Konsensus Washington mengindikasikan menghapus keterlibatan negara (nasionalisme) dalam aktivitas ekonomi strategi deregulasi dan privatisasi. Dalam pengoperasiannya, strategi ini cukup memberikan akses signifikan dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik. Akan tetapi, dengan meminimalisir akses pemerintah dalam geliat dinamika ekonomi bukan menjadi solusi yang tepat karena tidak menjamin sistem ekonomi berjalan lebih baik bahkan berakibat fatal. Justru dengan mengelaborasikan antara pasar bebas dengan pihak pemerintahan akan menjadi kebijakan yang jauh lebih baik.

Sejak adanya kegagalan proyek, IMF dan Bank Indonesia melakukan reformasi terhadap Generasi Kedua (Second Generation). Konsep yang dicetuskan pada generasi kedua ini dengan mengelaborasikan persoalan ekonomi global dengan sistem politik. Seiring dengan perkembangan arus globalisasi, menjadikan lembaga multilateral tersebut bahwa reformasi ekonomi global akan selalu diiringi dengan dinamika politik. Sehingga dalam hal ini, setiap negara harus memiliki kapabilitas serta konsolidasi politik dalam rangka menjalankan globalisasi ekonomi. Sudah menjadi keharusan untuk dijalankan sebagai bagian dari strategi deterrence dalam pengambilan kebijakan (policy makers).

Meskipun sudah melakukan reformasi generasi kedua, masih banyak kebijakan yang telah dipaksakan oleh IMF dan Bank Dunia. Keduanya sering kali merealisasikan kebijakan dimana kondisi liberalisasi pasar modal masih bersifat premature sehingga menyebabkan ketidakstabilan global. Seringkali IMF dan Bank Indonesia gagal menstabilkan perekonomian yang tengah mengalami krisis, akan tetapi banyak kasus yang malah menyebabkan permasalahan yang kompleks. Lalu, bagaimana dengan misi nya dalam rangka stabilisasi ekonomi global serta mempengaruhi negara komunis untuk beralih ke ekonomi pasar bebas? Apakah berhasil atau malah menambah krisis?

Jika dilihat dalam segi ekonomi politik, krisis Indonesia pada tahun 1977 merupakan bagian dari dikte IMF. Pada saat itu, IMF telah menyarankan Indonesia untuk menaikkan suku bunga sebesar 70% sebagai strategi dalam merendam inflasi dengan mencegah pelarian modal ke luar negeri. Namun, faktanya menaikkan suku bunga malah menjadi tekanan bagi sektor riil di suatu negara berkembang, seperti Indonesia. Salah kaprahnya saran dari IMF tersebut malah menimbulkan pertanyaan dari negara-negara di dunia. Saran yang sangat berbahaya dari IMF dan Bank Dunia bagi stabilitas ekonomi politik suatu negara yaitu dengan menekan angka fiskal dan pengurangan anggaran. Hal ini dapat mengakibatkan kenaikan suku bunga, sektor riil makin hancur, dan tingginya tingkat PHK.

Terlepas dari kebijakan tersebut, hasil nyata dari kebijakan yang dikeluarkan oleh IMF/Bank Dunia cenderung memiskinkan dan menyebabkan kerusuhan terhadap negara berkembang. Mengapa hal tersebut terjadi? Menurut pakar ekonom Jerome Sgard, "Kebijakan IMF dan Bank Dunia memaksa negara berkembang untuk meliberalisasi pasar sehingga negara bersangkutan akan semakin lemah terhadap volatibilitas ekonomi global". Kemudian, dalam hal ini apa yang salah dari IMF dan Bank Dunia?

Kekeliruan paling mendasar pada tindakan yang dikeluarkan oleh IMF dan Bank Dunia  terlihat pada misi pengetatan fiskal dan pengurangan subsidi. Tujuan dari misi tersebut agar negara "pasien" memiliki surplus dalam pembayaran hutang. Dengan begitu, negara berkembang memiliki anggapan bahwa IMF dan Bank Dunia berpihak pada pemilik modal dan industri maju ketimbang penduduk miskin di negara berkembang. Pernyataan tersebut diintepretasikan dari praktek IMF dan Bank Dunia yang lebih memprioritaskan mengembalian hutang yang macet ketimbang keselamatan perekonomian global.

Dalam menghadapi ketidakstabilan global akibat gagasannya tersebut, IMF dan Bank Dunia menawarkan "obat" dalam memulihkan krisis ekonomi negara berkembang yaitu liberalisasi, deregulasi, dan privitisasi. Terdapat hal yang unik dalam strategi privitisasi disini, hal ini dikarenakan konsep tersebut justru penuh dengan unsur dominasi dan pemaksaan sehingga semakin menekan kelompok lemah dimana hal tersebut melahirkan gelar sang predator bagi IMF dan Bank Dunia. Dalam persoalan yang kompleks ini, bagaimana seharusnya sikap Indonesia dalam menyikapi sistem ekonomi global agar tidak menghancurkan keutuhan NKRI?

Bagaimana Sikap Indonesia?

Dalam menghadapi sistem struktural yang sangat kompleks ini, Indonesia harus menyiapkan kekuatan dalam menghadapi kekuatan yang berpola ini. Dari kajian di atas, lembaga multilateral sangat memiliki andil besar dalam mencentuskan krisis emerging markets. Kebijakan Washington Consensus merupakan aksi dari Amerika Serikat beserta negara maju lainnya yang memiliki kepentingan yang sama dimana sangat merugikan negara berkembang, seperti Indonesia. Terkadang kita juga mempertanyakan kedaulatan Indonesia di tengah tekanan dominasi negara maju.

Oleh sebab itu, dalam menegakkan kedaulatan negara Indonesia harus melakukan reformasi terhadap sistem ekonomi, politik, dan hukum yang berlaku ke arah yang bersifat fleksible terhadap arus globalisasi. Tidak hanya itu, pembenahan terhadap nilai morasl dan hukum. Akan tetapi, hal tersebut telah mengalami proses transformasi terhadap institusi serta modernisasi dalam jangka waktu panjang. Oleh sebab itu, Baswir memberikan resep khusus yang tertuang dalam bukunya yang berjudul "Di Bawah Ancaman IMF (2003)" yaitu menuliskan jika tips melepaskan diri dari keterbelakangan ekonomi politik yang menimpa harus dimulai dari adanya kemauan kerja keras dan membebaskan diri dari tindasan ideologi Neoliberal. Oleh sebab itu, sebagai generasi muda harus memiliki sikap yang berlandaskan pada Pancasila dalam menyatakan kemerdekaan secara ekonomi dan politik di era Globalisasi. Tidak hanya itu, sebagai warga Indonesia harus selalu melakukan revolusi dengan melakukan pendekatan terhadap pendidikan sehingga memupuk rasa percaya diri dan mendorong persatuan. Jadi, bagaimana generasi muda , apakah siap berjuang menghadapi globalisasi ekonomi-politik saat ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun