Dari judulnya pasti udah pada tau dong apa yang mau dibahas? Sesuai dengan judulnya disini saya akan bahas mengenai menjamurnya budaya korean wave.
Arus perpindahan manusia beserta hasil kebudayaannya menandakan budaya pun terdampak dari globalisasi. Sehingga globalisasi budaya memiliki arti semakin mudahnya arus perpindahan dan pertukaran budaya dari satu tempat ke tempat lain, contohnya adalah dengan mudahnya orang-orang mengetahui kesenian suatu budaya melalui internet tanpa perlu datang ke pertunjukkan seni, atau dengan mudahnya kita bisa membeli oleh-oleh khas suatu tempat cukup melalui belanja online. Singkatnya, globalisasi budaya meliputi hasil cipta manusia baik fisik maupun non fisik. Namun perpindahan arus budaya bukan terjadi hanya masa kini saja, jauh pada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu, seperti hadirnya kebudayaan Yunani di India kuno sebagai hasil penaklukan kekaisaran Yunani Kuno, atau munculnya budaya latin di Amerika. Namun, kini arus budaya lebih sukarela diterima oleh dunia dibanding di masa lampau sebagai akibat dari penaklukan.
Ngomong-ngomong, di masa sekarang tuh salah satu arus budaya yang paling terkenal adalah budaya populer Korea. Budaya populer Korea ini meliputi film, musik, gaya hidup, riasan wajah, teknologi, dan bahasa. Budaya populer Korea bukan satu-satunya budaya Asia yang menyebar di dunia, ada juga budaya Jepang seperti animasi, musik, film, dan game pada akhir 1970-an hingga 1990-an dan film-film Hongkong (Valentina & Istriani, 2013). Budaya populer Korea, atau dikenal juga dengan Hallyu Wave, hanya berlaku apabila produk-produk budaya populer dipaparkan ke konsumen di luar Korea Selatan. Selama perjalanannya, Jin (2016) mengkategorikan Hallyu Wave atas dua fase yaitu Hallyu 1.0 dan Hallyu 2.0 (Ganghariya & Kanozia, 2020, 178). Hallyu 1.0 merupakan periode penyebaran budaya populer Korea Selatan antara tahun 1990 sampai dengan 2007 yang ditandai dengan perkembangan teknologi sehingga membantu penyebaran Hallyu Wave ke seluruh dunia. Selanjutnya, Hallyu 2.0 adalah periode penyebaran budaya populer Korea Selatan dari tahun 2007 hingga saat ini yang ditandai penambahan unsur gaya hidup seperti kosmetik, operasi plastik, dan estetika.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Hallyu Wave merupakan fenomena globalisasi budaya yang terjadi saat ini sehingga terjadi integrasi. Globalisasi membuat adanya keterhubungan dan ketergantungan antar budaya di dunia, didorong oleh adanya teknologi seperti internet dan media sosial. Selain itu, globalisasi budaya memiliki kecenderungan untuk membuat individu-individu di seluruh dunia menjadi lebih mirip antara satu sama lain. Melihat kesamaan budaya antara individu sebagai sesuatu yang baik, Francis Fukuyama mendukung penyebaran nilai-nilai dan gaya hidup Anglo-Amerika dengan menyamakan hal tersebut sebagai penyebaran demokrasi dan pasar bebas. Teknologi, terutama internet membuat proses homogenisasi budaya semakin mungkin untuk diwujudkan karena memunculkan sub-kultur yang homogen serta membantu mewujudkan gagasan-gagasan kosmopolitanisme, yaitu manusia sebagai komunitas tunggal yang memiliki moralitas yang sama.
Globalisasi menciptakan standarisasi secara internasional melalui homogenisasi. Homogenisasi hadir tidak selalu dalam bentuk identik, tetapi juga menghasilkan standar-standar internasional yang berhubungan dengan nilai, norma, HAM, hukum, pendidikan, kualitas produk, dan sebagainya (Rakhmawati, 2016). Bentuk homogenisasi budaya dapat dilihat dalam bentuk makanan, musik, tarian, mode, film, dan bahasa. Selanjutnya, homogenitas budaya tidak dapat terelakan dari budaya. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh efek Korean Wave yang membawa contoh nyatanya, salah satunya adalah popularitas fashion khas Korea atau K-fashion, khususnya riasan wajah. Hampir seluruh wanita muda di Asia memilih riasan wajah label Korea yang secara tidak langsung, melibatkan konsiderasi mereka sehingga menciptakan standarisasi. Salah satu standar yang berasal dari efek tersebut adalah cantiknya wanita berdasarkan kantong mata atau aegyo sal dalam bahasa Korea (Larasati, 2018). Selain itu, Westernisasi yang lebih jauh mendahului Korean Wave ini membuktikan fenomena homogenitas tersebut melalui, salah satunya, standarisasi dengan menirunya restoran Indonesia dengan konsep makanan cepat saji dan sistem penyajian McDonald’s.
Untuk menghindari miskonsepsi globalisasi budaya, diperlukan identifikasi dengan mengelompokkan aspek apa yang terkena pengaruh globalisasi secara geopolitik. Terdapat dua wujud budaya, fisik dan non fisik. Budaya yang berwujud fisik non-fisik mencakup adat istiadat seperti ritual, tarian dan pakaian khas. Budaya non fisik berwujud gagasan, ide-ide, norma, nilai, pesan moral dan kebiasaan dari kegiatan secara umum. Sedangkan budaya fisik mencakup produk seperti prasasti dan candi. Karena penyesuaian zaman sehingga budaya non-fisik bersifat dinamis dan terbuka atas perubahan, globalisasi budaya merujuk pada budaya non-fisik terutama konteks ide dan aktivitas (Larasati, 2018). Contohnya adalah simbol-simbol fisik budaya Korea mencakup fashion, lifestyle, selera keindahan/estetika, musik pop, make up, bahasa, makanan khas, dan drama atau film; yang digemari masyarakat Indonesia dapat menciptakan pengaruh, yaitu ketertarikan untuk mempraktekkan secara non-fisik, misalnya, berbahasa korea dan selera estetika barang-barang pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H