Banyak yang bilang kehidupan Jakarta begitu keras, serentetan label negatif disandangnya; penuh ketimpangan sosial, kejahatan dimana-mana siap mengintai siapa-siapa yang lalai. Potret hidup di Jakarta begitu individualis, menunjukan persaingan hidup yang kompetitif. Potret hidup yang begitu individualis berakibat pada menurunnya rasa menaruh kepercayaan kepada orang lain. Masing-masing sudah termindset harus membentengi diri dengan penuh kewaspadaan ekstra. Mindset yang tertanam sedemikian rupa kadang melupakan kaidah “ ada beberapa” dari ingkaran “banyak”, melupakan bahwa mayoritas sudah pasti mewakili semua. Hal tersebut wajar-wajar saja, karena setiap hari masyarakat yang tinggal di Jakarta disuguhi pemberitaan kejadian-kejadian kriminal diantara rutinitas harian. Tidak heran jika banyak dijumpai naluri-naluri acuh dan minimnya rasa simpati karena logika berfikir mereka merekam kuat, bahwa sikap seperti itulah bentuk dari kewaspadaan melindungi diri dari hal-hal yang bisa membahayakan diri.
Logika fikir memang penuh dengan rasionalitas tinggi, tetapi ada kalanya intuisi diperlukan untuk menyeimbangi. Ini yang jarang terjadi, kadang kita enggan melatih intuisi untuk menilai terhadap suatu hal yang akan maupun telah terjadi, spontanitas menilai dengan logika tanpa memberi ruang intuisi untuk mengenali dan mengobservasi. Hanya perlu berhati-hati, tidak setiap intuisi benar adanya. Namun sekali lagi beri ruang intuisi untuk mengenali, dan biarkan ia bekerja berkolaborasi baik dengan logika
Saya harus mengakui bahwa kehidupan Jakarta memang keras dan penuh kriminalitas, sepertinya hidup empat tahun di kota dengan berbagai pengalaman buruk yang saya alami sudah cukup menempa saya menjadi pribadi yang senantiasa mawas diri. Namun, saya sama sekali tidak meniadakan “ada beberapa” dari ingkaran “semua” terhadap lebel-lebel negatif dari kota metropolitan ini. Saya masih percaya, masih ada orang-orang yang berhati baik di Jakarta.catat!
Rabu itu (19/03) saya ada agenda ngajar privat murid saya di Paradise Executive Residence, Jakarta Selatan. Saya janji mau datang ke rumah murid saya pukul 16.30. Saya terburu-buru kesana, karena memang sudah terlambat dari waktu yang telah ditentukan, sore itu hujan pula. Jarak rumah murid dari kampus lumayan jauh, harus naik angkot 3 kali, dari Kampus-Pasar Minggu-Perempatan Jalan Antasari-Rumah Murid. Dari Pasar Minggu saya naik angkot KWK 11 Jurusan Lebak Bulus. Dalam kondisi buru-buru saya merasakan feeling yang tidak enak. Angkot ngetem lama menunggu penumpang. Jelang magrib angkot baru jalan. Jakarta sore hari, bersamaan dengan waktunya orang pulang kerja, jalanan pasti macet di mana-mana. Yang membuat saya kesal adalah KWK 11 tidak lewat jalur yang sudah menjadi trayeknya dan tidak mengkonfirmasikannya terlebih dahulu kepada para penumpang. Sopir mencari jalan alternatif melalui gang-gang kecil. Tujuannya memang untuk menghindari macet, tetapi jadi muter kemana-mana. Beberapa penumpang saling lirik, sedikit waspada ditengah gelapnya angkot, kebetulan lampu di angkot tidak dinyalan. Apalagi jalur yang dilalui adalah jalan tikus, tidaklah saya paham persisnya ada dimana. Hanya yang saya catat, saya merasa perjalanan begitu jauh dari biasanya. Saya berniat turun, tetapi kondisi sekitar sepi. Maka saya menunggu di keramaian yang memungkinkan saya dapat berpindah angkot untuk turun.
Setelah melewati jalan tikus dan gang kecil, akhirnya sampai di jalan raya dan saya langsung turun. Saya mengenali sekitar, dan saya sadar saya terlewat begitu jauh dari tujuan saya yaitu Fly- Over Antasari. Saya terdampar di Cipete Selatan, untungnya saya tidak terlalu asing dengan kondisi sekitar karena sebelumnya saya pernah mengajar bimbel di daerah Cipete Selatan. Tetapi kejadian ini benar-benar membuat saya kesal. Segera saya mencari angkot tujuan Fly Over Antasari. Karena sudah terlambat dan saya tidak enak dengan murid saya, saya putuskan ngojek dari Fly-Over menuju Paradise Executive. Padahal jarak dekat, tapi kalau nunggu angkot lama karena trayek angkot yang lewat kompleks perumahan murid saya sedikit jumlahnya.
Sesampainya di rumah murid saya meminta maaf atas keterlambatan yang terlalu, beruntungnya murid saya santai saja, karena ia justru ketiduran. Proses belajar mengajar berjalan sebagaimana mestinya. Hingga sudah pukul 20.15 WIB dan saya harus pulang. Sesampainya di gerbang kompleks saya bingung antara mau menunggu angkot atau jalan kaki menuju Fly Over untuk pulang ke rumah. Saat saya belum memutuskan, ada satpam kompleks yang lewat dan menawarkan tumpangan. Disinilah intuisi saya bekerja,
Untuk sepersekian detik pertama, saya mulai selidik sebelum menerima tawaran pak satpam. Arah jalan pulang memang cukup sulit akses transportasinya. Maka setelah intuisi saya bilang yakin, saya mengiyakan tawaran pak satpam.Awalnya pak satpam hanya akan mengantar saya sampai Fly Over antasari, tempat saya menunggu angkot menuju Pasar Minggu. Tapi setelah ngobrol-ngobrol di jalan, tanya saya tinggal dimana, dia berniat mengantar saya sampai rumah, di Kebagusan. Saya mulai ketar-ketir, merasa nggak nyaman. Di sisi lain bertanya dalam hati, ini seriusan orang baik bukan si atau ada maksud lain? Sambil dibonceng pak satpam, saya sambil terus meyakinkan diri bahwa saya akan baik-baik saja. Halloooo, ini Jakarta Kawan…
Maka sebelum saya berfikir macam-macam, saya menolak baik-baik tawaran pak satpam yang mau mengantar sampai rumah. “ Saya turunin sampai pasar minggu saja pak, ada yang mau saya beli soalnya.” Itu sih alibi saya aja sebenarnya
Sepertinya pak Satpam tidak melihat rasa kehkhawatiran saya. Dia masih cerita panjang lebar tentang pekerjaannya sebagai satpam kompleks perumahan elit. Dia juga cerita kalau merasa senang bisa membantu seseorang. Semakin banyak penjelasan tentang beliau, saya malah semakin waswas dan curiga.
Setelah saya diturunkan di Pasar Minggu, saya langsung bilang terimakasih sebanyak-banyaknya dan langsung segera kabur menuju salah satu pusat perbelanjaan. Biar pak satpamnya nggak curiga kalau tadi saya cuma alibi.
Kejadian ini membuat saya berfikir, mungkin memang masih banyak orang baik di Jakarta, tapi harus tetap waspada dengan orang asing.
Entahlah, saya tidak tahu informasi apa yang sudah dibaca dan direkam oleh intuisi saya sehingga hanya butuh waktu sepersekian detik saya mengiyakan saja tawaran bapak satpam, lalu saat di jalan pikiran saya dibuat khawatir. Kalau pak satpam itu orang baik, berarti intuisi saya benar, tetapi jika sebaliknya, ada maksud lain dari pak satpam, pada saat itulah saya hanya seseorangyang beruntung saja. Tetapi syukurnya, saya baik-baik saja dan selamat sampai rumah. The point is, bagaimana kita harus lebih cermat dan mempertajam lagi intuisi saya terhadap segala sesuatu yang terjadi di sekeliling kita.
Semenjak kejadian itu, kalau saya mengajar privat di perumahan tersebut, saya memilih waktu siang atau sore, sehingga pulangnya lebih awal dari biasanya dan bisa mencari alternatif transportasi.
Kadang sendiri itu memang tidak enak, tapi saya fikir itu jauh lebih aman, dibandingkan harus ditemani dengan orang asing yang baru kita kenal. Jadi harus tetap waspada!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H