Ditengah pro dan kontra soal hibah pesawat F-16 bekas dari Amerika Serikat, akhirnya setelah melewati proses yang cukup panjang, DPR RI memutuskan menyetujui opsi Pemerintah soal hibah pesawat tempur tersebut.
Sebelumnya Pemerintah dan Komisi I DPR belum menemui kata sepakat, karena masing-masing pihak memiliki perbedaan sikap terkait rencana hibah pesawat tempur tersebut. Komisi I DPR menginginkan pembelian 6 pesawat F-16 baru, sedangkan Pemerintah lebih memilih hibah pesawat F-16 bekas pakai AS.
Keinginan komisi I DPR didasari atas pertimbangan bahwa biaya pemeliharaan pesawat tempur bekas akan jauh lebih mahal. Selain itu pemerintah menginginkan upgrade pesawat tempur F-16 blok 25 menjadi blok 32, sedangkan DPR RI menginginkan upgrade pesawat tempur F-16 blok 25 menjadi blok 52. Dari pihak Pemerintah sendiri lebih memilih hibah, karena Indonesia bisa mendapatkan 24 jet tempur F-16 bekas dibandingkan dengan 6 unit jet tempur baru. Jumlah pesawat yang jauh lebih banyak menjadi pertimbangan tersendiri bagi pemerintah. Selain itu, jika dilihat dari waktu penerimaan, pesawat bekas dinilai jauh lebih cepat dibandingkan pesawat baru.
Jumlah pesawat F-16 yang dimiliki Indonesia saat ini 10 unit (merupakan F-16 A/B Blok 15 yang dibeli pada tahun 1986), dengan adanya tambahan hibah nantinya TNI akan memiliki 34 unit pesawat F-16. Ini tentunya merupakan peningkatan jumlah yang sangat signifikan. Bila menengok kebelakang, sebenarnya ini bukan yang pertama kali Indonesia mendapat tawaran hibah pesawat tempur. Pada 2009 lalu, Indonesia mendapat tawaran hibah satu skuadron pesawat tempur Mirage dari Qatar. Sayangnya, pesawat tempur buatan Prancis tersebut ditolak lantaran biaya pemeliharaannya yang mahal dan minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah pada saat itu.
Antara Kualitas dan Kuantitas
Melihat kondisi saat ini, memang hal yang lumrah jika harga pesawat militer baru (baca: modern) menjadi mahal, karena hal itu berbanding lurus dengan biaya riset dan pengembangan pesawa tempur yang juga sangat mahal. Apalagi jika melihat kecanggihan teknologi yang diusung. Bagi negara-negara yang anggaran pertahanannya terbatas, tentu saja hal itu menjadi salah satu kendala dalam membangun postur angkatan udara yang ideal.
Sehingga pembelian pesawat yang berharga murah bisa menjadi salah satu alternatif. Pesawat murah berarti kandungan teknologi yang dibawanya bisa dikatakan tidak berdaya deterens tinggi. Dalam perang udara modern hanya akan menjadi bulan-bulanan pesawat tempur musuh yang jauh lebih canggih.
Solusi lain adalah dengan menggunakan pesawat tempur bekas, baik melalui pembelian ataupun hibah dari negara lain seperti hibah jet tempur F-16 bekas ke Indonesia. Pesawat bekas bisa diperpanjang usia pakainya melalui program upgrade (peningkatan kemampuan). Program upgrade diantaranya meliputi peningkatan kemampuan avionik, engine, airframe, dan persenjataan. Sehingga kecanggihan pesawat tempur bisa mengikuti perkembangan teknologi terkini.
Memang untuk pesawat tempur murah dengan kualitas yang sekadarnya ataupun pesawat tempur bekas dengan teknologi yang terbilang kadaluarsa, bisa diakali dengan kuantitas yang banyak. Masalahnya kuantitas yang banyak bukan jaminan kemenangan dalam medan tempur. Dalam hal ini, kita bisa berkaca dari China.
Negara yang dulu berorientasi pada kuantitas, sekarang pun sadar dan mulai mengedepankan prinsip kualitas (tentunya tetap diikuti dengan kuantitas yang memadai). Skadron-skadron tempur angkatan bersenjatanya yang dulu mengandalkan pesawat tempur lama dengan jumlah banyak macam Nanchang A-5 Fantan, Shenyang J-6, dan Chengdu J-7, berangsur-angsur diganti dengan pesawat tempur generasi keempat seperti JF-17 dan J-10. Bahkan dalam waktu tak lama lagi akan dipenuhi dengan J-20 Black Eagle, pesawat tempur siluman buatan Negeri Tirai Bambu sendiri.
Terlepas dari itu semua, dari segi jumlah, memang harus diakui pesawat yang dimiliki TNI tidak mencukupi. Sehingga jumlah pesawat hibah yang lebih banyak paling tidak akan menutupi kebutuhan pesawat tempur bagi pengawasan dan penjagaan wilayah NKRI yang sangat luas ini.