Mohon tunggu...
Avian Dewanto
Avian Dewanto Mohon Tunggu... profesional -

cuma sekadar bincang-bincang di alam maya. siapa tahu bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Soekarno di Medio Juni 1970

11 Desember 2011   09:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:31 2141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di Wisma Yaso suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir (dulu KKO). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono – Panglima KKO – pernah berkata, “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Putih kata Bung Karno, putih kata KKO.“

Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun ketika itu, dia dengan mudah melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan panglimanya Mayjen Ibrahim Ajie.

Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini. Sedikit pun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah. Ia memilih sukarela turun dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.

The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikit pun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke istana Bogor. Tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya – Mayjen Amir Mahmud – disampaikan jam 8 pagi yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang. Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno mengumpulkan pakaian dan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya dengan kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.

“ Het is niet meer mijn huis “ – Sudahlah, ini bukan rumah saya lagi, demikian Bung Karno menenangkan istrinya.

Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis sebelum akhirnya dimasukan ked alam karantina di Wisma Yaso. Beberapa panglima dan loyalis di penjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh di rumahnya.

Kembali ke kesaksian yang diceritakan ibu saya. Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak tahu apa mereka masih di RSPAD sebelumnya. Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang suram, terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Terbujur dan mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin – Gubernur Jakarta – yang juga berasal dari KKO Marinir.

Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurikwarna merah serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak.

Jangan membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC dan penuh dengan alat alat medis di sebelah tempat tidurnya. Yang ada hanya termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya. Dari dalam bisa terlihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia!

Setelah itu jenazah Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet di lantai di ruang tengah.

Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator. Walau dalam Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor. Pihak militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan ibu kota. Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir. Tentu saja Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.

Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa, “Bung Karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan.“ (Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966)

dr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan. (Kompas, 11 Mei 2006)

Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut, “ Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad.“

> Inilah perlakuan terhadap Bapak Pendiri Republik Indonesia yang seluruh hidupnya dibaktikan sepenuhnya untiuk negara dan bangsanya. Apakah mereka yang kemudian dikuburkan dengan segara kebesaran itu pantas sejajar dengan Bung Karno?

Sejarah akan terus mencatat dengan baik.

tengok http://www.facebook.com/photo.php?fbid=197136210369023&set=a.123857471030231.31186.123849001031078&type=1&ref=nf
.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun