Indonesia meraih skor 6,71 pada Indeks Demokrasi 2022 yang dikeluarkan oleh the Economist Intelligence Unit (EIU) (2023). Indeks tersebut mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy), yaitu negara yang masih memiliki kelemahan signifikan dalam aspek demokrasi, seperti masalah dalam pemerintahan, budaya politik yang terbelakang, dan rendahnya tingkat partisipasi politik. Berbagai upaya dilakukan agar nilai tersebut dapat meningkat, namun hal penting untuk ditanyakan adalah mengapa sebuah negara membutuhkan demokrasi dan apa elemen paling penting untuk menjamin keberhasilan penerapannya?
Rudebeck, Tornquist, dan Rojas (1998, h. 107), dalam bukunya Democratization in the Third World, mendefinisikan demokrasi sebagai kedaulatan rakyat sesuai dengan prinsip kesetaraan politik yang dijamin oleh konstitusi di antara warga negara atau anggota yang cukup merdeka untuk menyatakan kehendak mereka sendiri. Dua komponen penting dari definisi tersebut adalah (1) kedaulatan rakyat dan (2) warga negara yang merdeka untuk menyatakan kehendaknya.
Indonesia telah memiliki falsafah demokrasi sendiri, yaitu prinsip gotong royong yang dikemukakan oleh Bung Karno dalam pidato Sidang BPUPKI 1 Juni 1945, "negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!... Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua." Demokrasi pada dasarnya adalah gotong royong untuk mewujudkan mimpi bersama.
Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa demokrasi dibutuhkan sebagai instrumen agar rakyat berdaulat untuk menentukan dan mewujudkan mimpinya, dan elemen paling penting dari demokrasi adalah rakyat yang berdaya dan peduli. Hal ini senada dengan pernyataan Ki Hadjar Dewantara (1977, h. 3) bahwa "kekuatan rakyat itulah jumlah kekuatan tiap-tiap anggauta dari rakyat itu." Â Menarik sekali bahwa tema Hari Demokrasi Internasional yang dirayakan pada tanggal 15 September tahun 2023 adalah empowering the next generation atau memberdayakan generasi penerus, dan cara memberdayakan yang paling tepat adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendidikan kewarganegaraan (PKn) yang inovatif untuk memperlengkapi setiap individu warga negara agar dapat memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk berdaya menjadi penjaga demokrasi.
PKn yang inovatif adalah pendidikan yang dapat memberikan faktor kegembiraan atau joy factor (Lemov, 2021), relevan dengan kehidupan sehari-hari, dan memiliki tujuan yang dapat dimengerti oleh peserta didik. Hal ini kontras sekali dengan kenyataan lapangan setiap kali penulis mengadakan kegiatan dan bertanya kepada peserta mengenai persepsi ketika mendengar kata "Pendidikan Kewarganegaraan." Jawaban yang diberikan pada umumnya adalah "hafalan, teori, bosan, mengantuk," dan jawaban serupa lainnya yang berlawanan dengan definisi pendidikan kewarganegaraan yang inovatif.
Untuk dapat lebih memahami fenomena ini perlu melihat sejarah PKn dari masa ke masa (Sunarso, 2009). PKn diadakan pertama kali pada tahun 1957 dengan nama "kewarganegaraan" dan memiliki muatan sebatas hak dan kewajiban warga negara serta cara memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan. Pada tahun 1962 berganti nama menjadi Civics dengan lebih banyak membahas Sejarah Kebangkitan Nasional, UUD, dan Pidato-Pidato Politik Kenegaraan yang diarahkan untuk nation and character building. Pada masa orde baru, PKn merupakan bagian dari paradigma "pendidikan untuk pembangunan" yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi serta dirasionalkan demi terciptanya stabilitas nasional dan mendukung kelanggengan kekuasaan.
Indonesia sekarang memasuki era Society 5.0 dimana komponen utamanya adalah manusia yang cakap menciptakan nilai baru yang membawa manfaat bagi sesama dengan menggunakan perkembangan teknologi dan internet (The Government of Japan, n.d.). Jika ingin menghasilkan generasi penerus yang berdaya menjaga demokrasi di era Society 5.0, maka materi pelajaran sebaiknya membekali peserta didik dengan mengasah kepedulian terhadap berbagai isu yang ada di sekitar, melakukan riset mengenai akar masalah dan berbagai alternatif solusi, serta menghasilkan solusi yang bermanfaat sebagai jawaban atas tantangan di komunitas.
PKn yang inovatif dapat dicapai setidaknya dengan dua cara, yaitu penggunaan model pembelajaran service-learning dan penerapan pembelajaran yang dihubungkan dengan budaya populer atau popular culture (disingkat: pop-culture). Cara pertama, yaitu penggunaan model pembelajaran Service-learning (SL), memenuhi kriteria pendidikan PKn yang inovatif karena menjadikan pembelajaran relevan dengan kehidupan sehari-hari dan memudahkan peserta didik memahami tujuan pembelajaran.Â
Definisi SL menurut The National and Community Service Act of 1990 adalah pengalaman pendidikan yang menghubungkan lembaga pendidikan dengan masyarakat di mana peserta didik dapat berpartisipasi aktif dalam pengabdian masyarakat dan menerapkan teori dan konsep akademik mereka ke dalam aplikasi kehidupan nyata yang memenuhi kebutuhan spesifik masyaraka(Marcus et al., 2019). SL merupakan salah satu bentuk dari experiential learning yang digagas oleh John Dewey sebagai dorongan agar peserta belajar sambil melakukan dan melalui pengalaman yang direfleksikan (1938). John Dewey (1910, 1933) mengkritik keinefektifan yang dilakukan di sekolah dalam mengajarkan keterampilan untuk mengamati sebagai keterpisahan dengan permasalahan di sekitar yang perlu dipecahkan dan peserta didik seharusnya memiliki sikap pikiran yang kondusif untuk melakukan penilaian yang baik (Dewey, 1910, p. 101). Dengan kata lain, peserta didik perlu diperlengkapi untuk memiliki kemampuan berpikir yang dapat mendukungnya untuk membuat penilaian agar dapat memecahkan masalah di sekitarnya.
Cara kedua, yaitu penerapan pembelajaran yang dihubungkan dengan pop-culture, memenuhi kriteria PKn inovatif dengan adanya faktor kegembiraan. Definisi pop-culture (Delaney, 2007) adalah produk dan bentuk ekspresi serta identitas yang sering ditemui atau diterima secara luas, umumnya disukai atau disetujui, dan menjadi karakteristik masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Bentuknya dapat berupa gaya berpakaian, cerita, serta hal lainnya yang mempengaruhi standar dan nilai yang diyakini masyarakat, yang bersumber dari media masa, musik, film, televisi, radio, video games, buku, internet, dan berbagai media lainnya. Dengan derasnya arus informasi dan nilai di era teknologi ini, pendidik bersaing dengan para content creator untuk menanamkan nilai pada peserta didik. Oleh karena itu, inovasi dalam PKn merupakan keharusan.Â