[caption caption="newsmedia"][/caption]
Cinta memang gila, jika sudah terlanjur cinta mautpun terlampaui….
Cinta gila membabi buta, cinta buta menciptakan anomali, anomaly itu bernama Ahok.
BPK adalah lembaga Negara yang menjalankan fungsi check and balances dibidang keuangan Negara melalui sistem auditing atau pemeriksaan terhadap lembaga-lembaga Negara lainnya serta institusi penyelenggara pemerintahan di Indonesia.
Bersama dengan Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi dan DPD, BPK merupakan lembaga Negara buah kandung reformasi yang posisinya sejajar dengan Presiden, MPR, DPR dan MA. Kedudukan BPK RI saat ini sangat kokoh karena diatur dalam UUD NRI 1945. Kedudukan yang tinggi itu tentunya seiring harapan besar masyarakat akan menghasilkan kinerja pemerintahan yang profesional dibidang keuangan yang ujung-ujungnya melayani rakyat dengan jujur dan maksimal. Bahkan kemudian dibelakang hari Presiden dan DPR membentuk lembaga ad hoc KPK guna mempercepat guliran roda reformasi dibidang pemberantasan KKN.
Bagi penyenang reformasi (orang yang berpikiran mendukung reformasi/pelaku reformasi/tumbuh besar diera reformasi), jalan satu-satunya menuju Indonesia yang bersatu, adil dan makmur adalah reformasi disegala bidang melalui hadirnya orang-orang baik di setiap lembaga-lembaga yang baik. Bagaikan dua sisi dalam sekeping uang logam, nilainya akan jatuh apabila satu sisinya cacat atau rusak. Lembaga baik harus diisi orang-orang baik guna mendapatkan hasil kinerja yang baik. Mendukung lembaga-lembaga ini merupakan harga mati yang dapat memicu cinta setengah mati. Mungkin inilah alasan sehingga Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang adalah seorang Reformis sejati kepincut cinta BPK. Demi cinta Ahok naik pitam…. demi cinta Ahok petantang-petenteng, rupanya cinta tak berbalas meskipun Ahok telah berdandan rapi dengan semua prosedur Peraturan Perundangan yang dipahami namun BPK memandang sebelah mata. Memang tidak mudah meraih cinta BPK, Pimpinan BPK terdiri dari Sembilan orang yang berasal dari wakil pemerintah, professional dan kader partai. BPK juga membuka perwakilan disetiap Provinsi. Dalam konteks kelembagaan, BPK RI sederajat dengan Presiden maka selayaknya Gubernur DKI Jakarta yang adalah wakil pemerintah pusat sejajar atau setidaknya koordinasinya dilevel Kepala Perwakilan BPK RI yang ada di Jakarta tapi dalam konteks Jabatan Kenegaraan, Jabatan Gubernur dan Pimpinan BPK RI adalah sama-sama Pejabat Negara. Tantangan Ahok sejatinya ditujukan kepada auditor dan atasannya yang berkedudukan di Kantor Perwakilan Jakarta, secara etika kelembagaan Gubernur Jakarta tidak pantas “mengata-ngatain” BPK RI yang koordinasi kewenangannya di level Presiden. Jika dicermati tantangan Ahok yang menyebut BPK secara umum bermakna jamak cenderung bersayap, bisa ditujukan kepada oknum BPK di Perwakilan Jakarta maupun kepada sesama Pejabat-Pejabat Negara yang duduk di BPK RI. Bukankah Ahok adalah Gubernur sekaligus Pejabat Negara?
Cinta Ahok cinta buta membuat kita kira membabi buta.
Skandal cinta antara Ahok dan BPK bermula dari fenomena anomali Pejabat Publik yang ditandai munculnya pemimpin-pemimpin publik reformis nasionalis diberbagai daerah di Indonesia seperti Solo, Surabaya, Jakarta, Bandung , Bantaeng, Jawa Tengah dan akhir-akhir ini makin marak di berbagai daerah lainnya.
Dengan gaya khasnya masing-masing, para pemimpin reformis ini seakan sedang menantang status quo pemikiran mainstream dengan membuat arus baru. Di era pra reformasi para pemimpin dikagumi karena wibawa dan penampilannya. Pada awal reformasi para pemimpin lahir dari pilihan rakyat karena itu kepopuleran seorang pemimpin sangat diagungkan di era ini. Setelah 17 tahun reformasi bergulir agaknya persepsi tentang kepemimpinan publik itu mulai bergeser kearah yang lebih jauh dan maju. Saat ini, menilai seseorang hanya dari casing atau penampilan saja dianggap pemikiran dangkal dan cenderung ketinggalan zaman. Pemimpin publik haruslah memiliki Integritas yang teruji, berjiwa Pancasila dan berdiri diatas Konstitusi. Kejujuran adalah yang utama tegak didalam arus ketidakjujuran yang telah massif menciderai mental anak bangsa selama puluhan tahun. Miris mendengar cerita dibeberapa tempat bahwa sang Bupati gagal mengeja Pancasila yang merupakan Ideologi satu-satunya Negara Indonesia apalagi menegakkan konstitusi yang merupakan penjabarannya. Indonesia memang perlu sentuhan perubahan yaitu Revolusi Mental kata Presiden Joko Widodo.
Dari semua anomali itu pemimpin di Jakarta menjadi sosok yang paling banyak dibicarakan orang. Mungkin karena rakyat Jakarta seksi mungkin juga karena pemimpinnya yang seksi, setidaknya beberapa hal yang mendukung popularitas itu :
- Jakarta adalah Ibu Kota Negara yang tentunya dapat menjadi barometer pemerintahan daerah di seluruh Indonesia.
- Jakarta baru-baru ini melahirkan Presiden RI yang ke-7 dengan cerita yang fenomenal, berawal dari Walikota Solo menuju Jakarta, tidak diperhitungkan namun meraih kemenangan sebagai Gubernur karena dukungan relawan yang bermain di media social selanjutnya dipilih rakyat karena kejujurannya bukan karena wibawa, penampilannya apalagi bobot, bibit dan bebetnya.
- Estafet kepemimpinan Jakarta jatuh ketangan seorang tionghoa Kristen yang hingga saat ini masih dipertanyakan oleh sebagian kecil masyarakat tetapi paling lantang bersuara menentang arus perubahan zaman.
- Pemimpin Jakarta yang ditentang karena casingnya tersebut kebetulan bagi sebagian orang ditentang juga gaya komunikasinya yang katanya tidak punya etika namun anehnya berdasarkan survey lebih dari 50 % rakyat Jakarta menyukai sang pemimpin karena dari satu kekurangan tersebut melahirkan banyak perubahan kearah Jakarta yang lebih baik, bebas banjir, bebas macet, adil dan sejahtera.
- Jakarta memiliki kelola anggaran yang fantastis. Sumber APBD saja besarnya lebih dari 70 Trilliun, melebihi anggaran yang dikelola oleh umumnya Kementerian Pemerintah Pusat yang jumlahnya belasan Trilliun saja. Apalagi jika dibandingkan dengan daerah lain yang apabila APBD digabung dengan dana dekonsntrasi dan desentralisasi serta dana lainnya paling puncak mencapai belasan Trilliun saja.
Alasan terakhir inilah yang bisa membuat siapapun yang tahu dan berkecimpung dalam pengelolaan dan pemeriksaan anggaran tergoda untuk mencari cinta di Jakarta.