Ketika matahari mulai meninggi, satu demi satu masyarakat Desa Podokoyo datang dan langsung duduk bersila menghadap sesuguhan. Tak lama kemudian pelataran punden dipenuhi warga desa. Sulinggih atau Dukun Desa segera membaca mantra, yang oleh orang tengger disebut ngujubne.
Doa yang dibaca sulinggih didahului dengan mantra penyerahan sesuguhan (persembahan) kepada para leluhur. Ia juga memberitahukan kepada para leluhur bahwa anak cucu suku tengger di Podokoyo sudah berkumpul. Dalam mantra yang dibacakan juga terkandung pendadaran mengenai etika kehidupan, yaitu cara bersikap, bentukan moral positif yang bisa membentengi diri dari timbulnya sengkala.
"Seluruh nenek moyang Tengger disebut pada saat ngujubno. Tidak hanya nenek moyang Tengger Podokoyo saja. Nenek Moyang yang di Poten, Penanjakan, Semeru, Bromo itu disebut semua di mantra. Dan memang kalau orang ndak pernah dengar maka dia tidak ngerti dengan ujubane," jelas Witono.
Di Punden, terdapat sebuah ruangan kecil pada dataran tertinggi. Ke arah ruang inilah warga menghadap. Saat upacara dilangsungkan, ruang tersebut dimasuki oleh orang-orang khusus. Menurut pemaparan Witono, ada orang-orang khusus yang harus masuk ruangan kecil tersebut. Di sana, mereka menghadap dan memberikan hormat kepada para leluhur.
"Istilahe sungkem. Seng paling utama sungkem itu Kepala Desa bersama istri, perangkat desa dan BPD serta kaki tangannya Pak Dukun," lanjut Witono.
Meski Bari'an adalah upacara adat yang sakral, masyarakat Tengger Podokoyo terbuka dan mempersilakan para wisatawan untuk turut mengikuti acara ini. Tak hanya Bari'an saja sejatinya, Pujan, Kasodo, Karo dan Entas-Entas adalah upacara lain yang juga boleh diikuti oleh siapa saja.
Jika Anda berencana untuk berwisata alam ke Gunung Bromo, tidak ada salahnya untuk mampir dan menikmati wisata budaya di Desa Podokoyo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H