Saya merantau ke Jakarta untuk sekolah berberapa tahun sebelum Jokowi-Ahok menjabat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Saya ingat persis keadaan Jakarta pada saat itu, begitu kontras, kotor, panas, padat dan masyarakat sudah membiasakan semua keadaan itu. Dari awal saya selalu menggunakan transportasi umum dan merupakan pejalan kaki di Jakarta, sehingga saya tahu persis bagaimana seluk beluk kota Jakarta. Waktu itu saya sempat mengambil jurusan Arsitek yang mengharuskan saya sering melakukan proyek untuk mengamati kampung-kampung kumuh hingga dertan toko-toko mewah di Kemang.Â
Ada salah satu mata kuliah saya yang mengharuskan saya untuk membangun stasiun kereta, terbilang cukup mudah karena saya memang ngefans naik kereta. Saya ingat persis ketika keadaan KRL Jakarta benar-benar parah, ketika kereta kelas ekonomi seperti neraka hidup, ketika stasiun kita begitu kumuh dan ketika banyak sekali penumpang gelap naik ke atas atap kereta dan dibiarkan begitu saja oleh petugas. Setiap bulan dan bahkan setiap minggu kita selalu  mendengar berita bahwa penumpang-penumpang ini meninggal karena tersambar listrik diatas kereta. Stasiun penuh dengan toko-toko gelap yang padat dan menjadi tempat yang cukup berbahaya jika tidak berhati-hati.Â
Jakarta dari dulu memang bukan tempat yang baik bagi pejalan kaki seperti saya. Trotoar kotor, rusak dan didominasi oleh pedagang kaki lima illegal yang membuang sampahnya di got sehingga sering menyebabkan banjir dan sarang demam berdarah. Tukang sampah dan kebersihan hanya datang sekali-sekali saja dan ini yang membuat jalan raya kita menjadi merisihkan dan terkadang menjadi sumber penyakit. Â
Kendaraan umum seperti Busway juga berjalan sangat lambat dan jalanan kita masih didominasi oleh angkutan umum yang sudah usang seperti metromini dan bus-bus kota yang sudah jauh dari standar keamanan untuk berfungsi. Masyarakat kalangan menengah kebawah terpaksa menumpangi kendaraan ini yang sebenarnya lebih mahal daripada busway yang ber AC dan nyaman bebas dari pengamen dan pengemis. Setelah saya hitung karena satu perjalanan bus metromini saja bisa ditumpangi 3-4 pengamen dan pengemis dimana mereka terkadang sangat memaksa, uang perjalanan kita jatuhnya lebih mahal daripada naik Busway, belum lagi angkutan usang seperti itu angka kriminalitasnya seperti jambret, copet dan bahkan pemerkosa sangat tinggi.Â
Masyarakat Jakarta sudah terbiasa sekali hidup ditengah-tengah banjir dan kekumuhan, mereka selalu mengeluh terhadap masalah banjir dan penyakit demam berdarah, namun mereka juga tidak mau berbuat apa-apa untuk mengubah keadaan ini. Saya ingat sekali ketika mengunjungi salah satu kampung kumuh dibantaran sungai Ciliwung, dimana saya dan teman-teman saya dikonfrontasi karena masyarakat mengira kami merupakan petugas pemerintah yang ingin menggusur mereka. Sebenarnya mereka sudah tahu bahwa kedudukan mereka disana melanggar hukum, mereka sudah tahu kampung mereka merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tampungan air di sungai terhambat dan menyebabkan banjir dan mereka sudah berkali-kali di bujuk untuk relokasi, namun mereka tidak peduli, alasannya adalah mereka sudah lama menempat disana dan akan susah untuk berpindah. Tentu semua perubahan di hidup kita susah, namun bukan berarti itu membenarkan kita untuk terus diam jika ingin keadaan disekeliling kita semakin baik.Â
Aksi dan tindakan dari pemerintah daerah juga sangat kurang. Masyarakat kita jarang sekali di informasikan mengenai akses untuk menghubungi pemerintahan daerah yang menjabat dan infrastruktur yang rusak terkadang dibiarkan begitu saja. Masyarakat Jakarta sudah pesimis dengan pemerintah. Jika ada lobang dijalan, trotoar rusak,. tiang listrik dijalan  tertumpuk kabel-kabel yang membahayakan pengguna jalan sudah dibiarkan begitu saja. Pemerintah hanya sekali-sekali bertindak. Saya juga sempat mendatangi kantor-kantor daerah untuk meminta sampel data  kota yang seharusnya terbuka bagi seluruh masyarakat, namun ini selalu ditimpali oleh birokrasi yang membingungkan dan saya bisa melihat petugas disana banyak ogah-ogahan untuk berkomunikasi dengan masyarakat yang merupakan tugas utama mereka.Â
Jakarta juga merupakan Kota Mafia. Kota kita dipenuhi oleh berbagai macam mafia dan kelompok preman yang sudah mencekik masyarakat kelas bawah dan berzina dengan oknum pemerintah daerah. Mafia pengemis, mafia anak jalanan, preman pasar, preman tukang parkir illegal yang berkoalisi dengan oknum satpol PP, mafia transportasi, mafia pedangang kaki lima liar, hingga preman-preman yang menggunakan agama untuk mendapatkan uang dan keuntungan pribadi. Seluruh aspek buruk dari kota kita sudah terorganisir dan memiliki entitas yang besar dibaliknya. Saya pernah mengadakan proyek dengan teman-teman saya untuk mengkalkulasikan keuntungan parkir dan pedagang illegal disalah satu pusat perkantoran di jakarta selatan, dalam satu bulan omzetnya bisa mencapai 1 milyar lebih. Berberapa tahun lalu kami juga sempat meneliti jaringan anak jalanan yang ternyata cukup sulit dilakukan karena anak jalanan dijakarta sudah dikontrol kuat oleh jaringan mafia, selalu ada 2-3 orang yang mengawasi satu anak jalanan yang umurnya hanya delapan tahun. Mereka sudah memiliki sistem yang kuat, teknik psikologis yang efektif untuk menekan mereka karena penghasilan anak jalanan di Jakarta juga cukup besar, sekitar 1.4 juta lebih per anak (tergantung lokasi). Namun jarang sekali anak-anak tersebut benar-benar menikmati, banyak diantaranya sudah terekspose pada kekerasan seksual, narkoba, rokok dan kriminalitas.
Ketika ada pasangan calon Gubernur baru yang bukan dari Jakarta menjabat, saya terbilang cukup pesimis, karena keadaan jakarta sudah cukup parah dan yang paling kronis adalah bagaimana masyarakat tidak mau proaktif untuk berubah, atau bahkan sulit untuk berubah bahkan jika sudah dilayani. Namun perasaan itu kemudian mereda dan berubah menjadi agak heran ketika trotoar di jalan Gatot Subroto diperbaiki. Saya awalnya berpikir ini hanya sebatas kesan awal, lama kelamaan juga akan mereda, namun pemerintahan Jokowi Ahok juga sangat proaktif bersama Ignatius Jonan yang waktu itu mejabat sebagai kepala KRL untuk memperbaiki infrastruktur KRL Jabodetabek. Perubahan terasa progressif dan berkelanjutan berbeda dengan gubernur dulu-dulu yang biasanya melakukan perubahan setengah-setengah dan secukupnya saja lalu mereka suka membiarkan ini berhenti begitu saja. Pemerintah Jokowi dan Ahok tidak takut untuk bereksperimen dalam memperbaiki infrastruktur, seperti pengadaan tong sampah dijalan atau juga sistem busway.Â
Sebagai orang luar, saya tidak terlalu punya suara atau kepedulian dengan politik Jakarta sebelumnya. Saya tidak terlalu familiar dengan aspek kedaerahan seperti memilih calon yang keturunan Betawi atau yang sudah lama mengabdi dalam kancah perpolitikan metropolitan dan nasional, sehingga apa yang saya lihat dan rasakan hanyalah bagaimana kinerja, Â program dan kebijakan yang ditanamkan. Ini saya rasa seharusnya menjadi aspek yang terpenting dalam memilih pemimpin manapun, yakni berdasarkan meritokrasi (kemampuan dan keahlian) dan saya benar-benar merasa Jokowi Ahok memiliki meritokrasi yang cukup tinggi.Â
Pandangan ini bukan hanya dari saya, namun juga banyak datang dari kalangan mahasiswa dan anak-anak muda dulu yang sering bergelut dengan proyek-proyek dan tugas-tugas yang berhubungan dengan sosial dan kota Jakarta. Kami sudah menumpang segudang pengalaman ke Balai Kota dan kantor pemerintahan lainnya untuk wawancara, seminar ata sekedar meminta data dan perubahan ini sudah jelas terasa bahkan dikalangan pegawai pemerintah. Jokowi dan Ahok membawa meritokrasi mereka pada staff-staff yang mereka pimpin, sehingga sering sekali kita dengar adanya staff malas dan PNS yang numpang absen saja dipecat karena kinerja mereka dan ini sangat direspon positif oleh masyarakat yang sudah muak dengan kinerja PNS dan pejabat pemerintah yang seharusnya bertugas melayani mereka.Â
Jokowi dan Ahok sudah memegang segudang prestasi seperti proyek waduk Pluit dan pembangunan rumah susun di bantaran kali Jakarta. Arahan pemerintahan Jokowi Ahok sudah menuju arah yang benar seperti pembangunan keatas (rumah susun) bagi rakyat miskin, menormalisasi saluran air dan pembangunan transportasi yang menjadi pusat-pusat penentu kehidupan rakyat jakarta. Perbaikan ini juga akan membantu menstimulasi ekonomi, mendukung investasi yang akan pada akhirnya mendorong kesejahteraan masyarakat Jakarta. Dalam hal-hal yang dianggap kecil pun seperti sampah, pemerintahan Jokowi dan Ahok pun cukup giat, mereka mampu mengerahkan pemulung, menaikkan gaji pasukan oranye yang membersihkan jalanan dan got serta secara rutin mengerahkan pembersihan kali dan sungai. Program-program seperti ini sangat direspon positif oleh masyarakat.
Akan tetapi dalam setiap administrasi pemerintahan pastinya ada kritikan, terutama dari opisisi politik dan juga mafia-mafia yang merasa terancam digebrak oleh kinerja pemerintahan yang baik. Isu penentangan yang cuku besar dimulai dengan masalah penggusuran dan relokasi masyarakat. Kelompok yang anti Jokowi Ahok selalu menempatkan masyarakat yang digusur sebagai "KORBAN". "KORBAN" yang dirasa sudah disakiti oleh pemerintahan baru ini. Namun benarkah mereka korban, walaupun mereka sudah tahu mereka menjajaki wilayah yang bukan milik mereka secara resmi, mereka sudah tahu kedudukan dan pembangunan mereka menyebabkan banjir serta keadaan mereka disana pun sangat tidak kondusif dan manusiawi. Ketika mereka direlokasi ke rumah susun yang sudah digratiskan pada 1-3 bulan pertama, mereka menunggak, karena pada dasarnya mereka tidak mampu dan tidak siap untuk hidup di Jakarta dan penghasilan merekapun tidak tetap. "KORBAN" yang dikatakan ini hingga melaporkan ke Komnas HAM karena kasus ini, mereka lebih menginginkan tinggal ditempat yang memiliki sumber air dan sumber pembuangan yang sama, sangat kotor dan kumuh dibandingkan membayar rumah susun yang sudah disubsidi.Â
Dalam kasus korupsi dan birokrasi pemerintahan Jokowi Ahok juga sering diserang dan terkadang ini terlihat dibuat-buat. Ini sudah terlihat jelas sekali terutama pada masa kampanye pemilu presiden 2014 dan kampanye pemilu gubernur 2016. Jokowi dan Ahok bukanlah calon yang terlilit dalam gelutan partai mereka. Ahok telah banyak berpindah aliansi dan Jokowi merepresentasikan gelombang representasi PDIP yang baru, terlepas dari imagenya yang selalu dihubungkan dengan Megawati. Mereka berdua sangat berbeda dengan politisi seperti SBY, Prabowo dan Aburizal Bakrie yang lebih dikenal sebagai wajah partainya karena mereka yang menyetir narasi kelompok politik mereka sendiri, sehingga ketika terdapat korupsi, permainan politik, espionase dan skandal lainnya, mereka pastinya akan dikaitkan sebagai payung kepemimpinan yang bertanggung jawab atas kelakuan representasin mereka. Jokowi dan Ahok termasuk calon yang tidak neko-neko, mereka lebih ingin fokus dalam pekerjaan yang ada didepan mata, tidak memperdulikan bagaimana narasi dan permainan politik yang ada. Mereka juga bukan merupakan pemimpin yang nepotis dan punya RASA GOTONG ROYONG YANG TINGGI terhadap korupsi seperti SBY misalnys, sehingga sering oposisi mereka membuat-buat isu dengan memainkan miskomunikasi berita ataupun mendistorsikan fakta pada kasus-kasus seperti BLBI dan sumber waras.Â
Masyarakat tidak terlalu mempedulikan masalah kritik yang melanda Jokowi Ahok, bahkan hingga titik akhir, lebih dari 70% puas dengan kinerja Ahok, sehingga memang tidak masuk akal jika kita melihat konsep dan praktek demokrasi, angka ini sangat tidak sepedan dengan hasil Pilkada.Â
Tapi beginilah terkadang realitanya ketika demokrasi dimainkan oleh politik elit yang memiliki agenda. Pembangunan narasi yang kuat justru akan mengalahkan kinerja nyata dan fakta yang benar-benar ada dilapangan. Rakyat lebih terpengaruh oleh apa yang dikatakan lingkungan disekitarnya dibandingkan melihat sendiri bagaimana progressnya secara nyata. Permainan narasi oleh elit politik ini juga sepertinya sudah mentargetkan Ahok dengan sangat berat yang juga bertujuan untuk membuat Jokowi timpang. Naif jika masyarakat berpikir gelombang Aksi Bela Islam yang cukup besar HANYA mentargetkan Ahok saja. Sholat jumat setiap minggu dikampung-kampung sekitaran Jakarta dari dulu sudah menyuarakan kebencian terhadap agama Nasrani, Yahudi, Kaum Tionghoa dan juga Ahok. Mereka selalu menggunakan Al Maida sebagai justifikasi untuk menghinda dan menjelek-jelekkan agama lain, terutama masjid-masjid yang berkoalisi bersama partai seperti PKS dan kelompok islam seperti FPI dan HTI. Mereka selalu menggunakan bahasa yang lebih kasar dibandingkan Ahok, seharusnya mereka juga dihukum. Namun beginilah permainan narasi dan catur elit politik.Â
Istilah Ahokers sudah menjadi salah satu token untuk menjelek-jelekan bahkan mendeligitimasikan (mengecilkan) masyarakat yang mendukung Ahok dan juga Jokowi (dimana dulu dinamakan Jokowers), karena sepertinya siapapun yang bisa mengapresiasi perubahan dan perbaikkan yang dilakukan Jokowi dan Ahok di Jakarta seolah-olah nista terhada Islam dan komunitasnya. Ahokers dianggap tidak memiliki hati pada rakyat kecil yang digusur ataupun bersimpati pada rakyat asli Jakarta yang sudah lama berduduk di Ibu kota. Banyak orang luar seperti saya tidak terlalu dianggap, karena seperti Ahok yang merupakan orang luar juga, saya merupakan orang luar yang tidak mengerti apa=apa tentang keadaan di Jakarta. Namun kelompok itu perlu menyadari bahwa Ibu Kota kita BUKAN HANYA MILIK ORANG ASLI JAKARTA DAN YANG BER-KTP DKI, Ibu kota milik seluruh rakyat Indonesia. Siapapun yang mampu dan memiliki tekat untuk menjadi pemimpin, mengabdi dan bekerja di DKI harus diberi kesempatan yang sama. Siapapun Gubernurnya warga DKI dan non DKI akan terpengaruh sama rata, sehingga dikotomi ini sangat perlu diperbaiki.Â
Disaat yang sama, sungguh ironis karena banyak sekali pasukkan Bela Islam yang mempengaruhi pemilu ini berasal dari daerah-daerah di luar Jakarta dan Jawa. Kelompok Islam ini juga memiliki banyak sekali pemimpin yang berketurunan Arab dan bahkan yang berasal dari Arab. Anies Baswedan juga memiliki darah Arab, namun mengapa Ahok yang berketurunan Tionghoa sungguh dibedakan? Apa ini hanya masalah agama dan ikatan islam saja? Beginilah kuatnya permainan narasi media-media online yang mereka siarkan. Masyarakat tidak dibiarkan memilih secara rasional, karena mereka sudah diarahkan, sebagaimanapun ironis dan munafiknya agenda kelompok Bela Islam ini.Â
Menggunakan EMOSI dan rasa amarah, dendam, persaudaraan dan nasionalisme memang mudah untuk menggerakkan masyarakat dalam berpolitik. Namun emosi itu tidak bisa dipercaya, mudah berubah dan mengaburkan akal sehat dan kenyataan. Fakta, rasionalisme dan kenyataan mau kita percaya atau tidak. akan terus menggilas kehidupan kita. Mau bagaimanapun kecewanya masyarakat yang digusur, jika mereka terus hidup dikali dan bantaran sungai, permasalahan seperti banjir dan penyakit akan terus datang. Sebagaimanapun sukanya kita terhadap SBY, tidak akan menghilangkan FAKTA bahwa administrasinya memang memiliki masalah korupsi yang besar. Seberapapun bisa menerima atau tidak, tapi faktanya Agama tidak menentukan kualitas pemimpin dan Indonesia FAKTANYA bukan negara Islam. Saya bangga menjadi Ahokers, karena pemimpin saya tidak menjilat, melakukan propaganda, menghakimi dan tidak menggunakan rayuan-rayuan gombal yang biasanya dilakukan oleh politisi biasa pada saat pemilu, melainkan berpatut pada fakta dan kenyataan yang ada terhadap permasalahan yang dialami Jakarta dan solusinya. Memiliki pemimpin yang menyerahkan secara total pilihan kedudukannya pada kita sebagai rakyat sungguh jarang, karena selama bertahun-tahun pemilih banyak ditekan maupun diserang oleh politik uang untuk mempengaruhi pilihannya. Â Â
Saya  bangga menjadi Ahoker, dalam masa jabatannya bersama Jokowi hingga sekarang, Jakarta memiliki perubahan yang cukup pesat dan sudah agak mampu mengejar negara ASEAN yang lebih maju seperti Singapura dan Malaysia. Infrastruktur kita lebih baik, lebih aman, lebih nyaman dan rakyat juga bisa memiliki akses lebih mudah.  Sayangnya memang saat ini saya rasa kita telah melangkah kebelakang, bukan karena Ahok gagal, tapi CARA kegagalan Ahok dan permainan politik elit korup yang semakin merudung Jokowi. Pesatnya berita propaganda online yang bombastis dan palsu, mudah menargetkan masyarakat yang ekonomu dan pendidikannya masih kurang. Merekalah yang nanti paling terksakiti oleh mobilisasi elit-elit korup ini. Masyarakat bela islam telah mengarahkan kemarahannya ke arah yang salah, bukannya pada donor-donor yang memberikan uang untuk sesaat, ,mereka malah mengecam pemimpin-pemimpin yang ingin membangun kesejahteraan mereka secara berkepanjangan.Â
Saya  bangga menjadi Ahokers, karena baru pertama kali saya memiliki pemimpin yang giat dalam melayani masyarakat, bisa dihubungi dengan mudah dan selalu meningkatkan komunikasinya dengan masyarakat. Sudah tak terhitung berapa mahasiswa sudah bertemu dan melakukan wawancara dengan Ahok dan berapa jumlah masyarakat yang sudah bermusyawarah dengan beliau. Selama ini pemimpin daerah yang saya temukan mayoritas hanya rajin bertemu dengan rakyat atau konstituennya jika ada perlunya saja, biasanya saat pemilu atau pun setahun sebelum pemilu. Ini sudah merupakan norma pemilu korup di Indonesia dan ini juga saya telah alami dengan Pak Anies ketika beliau menjabat sebagai menteri Pendidikan dan juga dosen di Paramadina. Â
Saya bangga menjadi Ahokers, walaupun ditengah elit politik yang korup, pesimisme dan polarisasi yang terbentuk dimasyarakat, kita semua memiliki harapan yang mendalam terhadap Jakarta dan Indonesia. Ibu Kota kita tidak semena-mena bergantung dari siapa yang memimpin, rakyatlah yang harus bangkit lebih dan menerima kenyataan. Sebagaimanapun mereka terbuainya dengan isu-isu yang dikeluarkan oleh kelompok bela islam ini, kita semua pada akhirnya harus jujur pada diri sendiri, apakah keadaan pasca Ahok akan lebih baik? Menurut saya Ahok memberikan kita sebuah sampel akan bagaimana potensi Jakarta yang sebenarnya dan beliau juga telah memberikan peta yang mampu mengarah pada perbaikan Jakarta. Ini semua akan menjadi contoh pembelajaran yang baik bagi kita semua.Â
Bagi para Non Ahoker yang sungguh tidak suka bahkan memiliki kebencian mendalam terhadap Ahok dan Ahokers, saran saya adalah agar anda jujur kepada diri sendiri  dan lebih kritis dalam memandang isu. Jangan mudah terbuai dari asumsi dan narasi yang terbangun dimasyarakat, carilah fakta dan kebenaran untuk anda sendiri. Ketika politisi menebar janji, ikut awasi dan tuntun mereka terus dalam memimpin. Hubungi mereka, minta bertemu, suarakan segala keresahan, dari sana anda bisa menilai siapa yang berkelakuan sesuai dengan perkataan, jangan hanya membangun asumsi di belakang. Jangan tenggelam dalam dogma agama dari kelompok yang mengaku-ngaku sebagai corong Tuhan, ikut-ikutan dalam menghakimi dan menuntut sesuatu yang tidak pasti. Hidup kita dibawa masing-masing pribadi, carilah yang benar-benar kita butuhkan untuk diri sendiri.Â
Saya percaya Jakarta akan semakin baik dan saya percaya nama Jokowi - Ahok akan selalu menjadi bagian dari perubahan dan kemajuan Ibu Kota kita yang tercinta ini.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI