Besok
 Cerpen oleh Avarina Sisy
***Â
"Rin, kamu apa kabar?" tanya Bapak dari seberang telepon sana.
"Rin baik, Pak. Bapak gimana di sana, apa listrik masih mati?" jawabku, walau sebenarnya aku ragu apa aku baik-baik saja di sini.
"Iya, listrik di sini masih mati. ponsel Bapak sudah sekarat baterainya, kamu masih makan dengan baik kan, Rin?" tanya Bapak lagi.
"Masih, Pak, dua kali sehari."
"Syukurlah, kalo kondisi sudah memungkinkan kamu pulang ke sini, ya?" ujar Bapak.
"Iya Pak, Bapak jaga kesehatan, ya,"
"Kamu juga jaga kesehatan ya, Rin. Bapak akan usahakan agar bisa kirim uang untuk kamu. Sekarang Bapak tutup teleponnya, ya," ujar Bapak, belum sempat aku mengucapkan sepatah kata lagi telepon telah terputus.
Sebenarnya, aku bohong pada Bapak. Setelah listrik mulai dibatasi seminggu yang lalu, dan hanya dinyalakan satu jam setiap harinya untuk mengisi daya ponsel. Aku tidak lagi menerima kiriman uang dari Bapak, aku hanya makan mie instan satu kali sehari dan sisanya aku hanya bisa meminum air keran agar tak dehidrasi.
Hari ini bertepatan dengan 30 hari, sejak kejadian itu. Terakhir kali ketika listrik masih menyala, aku menonton berita dikatakan sudah ada lebih dari tiga puluh juta orang yang meninggal. Yang artinya, jumlah makhluk itu sudah tidak terhitung lagi.
Aku masih seperti biasanya, hanya bisa mengurung diri di dalam kamar kosanku. Merutuk diri di setiap waktunya, menyesali pilihanku untuk merantau hanya untuk kuliah di kampus sampah itu. Awalnya, kukira kampus itu adalah kampus yang melahirkan lulusan-lulusan hebat. Tidak kusangka lulusan kampus itu hanyalah para iblis. Konspirasi besar telah direncanakan di sana, mereka ingin mengurangi jumlah manusia di bumi.
Bagaimana tidak kusebut sebagai kampus sampah dan lulusan iblis. Kematian yang terjadi, penyebabnya berasal dari kampusku. Semua berawal karena sebuah praktikum percobaan penemuan obat alami dari ular yang dilakukan katingku.
Yang kuketahui, ular yang telah mati dan dikeringkan kemudian di rendam di dalam air dan dicampur beberapa senyawa. Di jurusanku, farmasi tentu praktikum percobaan adalah suatu hal yang biasa. Yang sudah pasti semua mahasiswa akan melakukannya.
Namun, berbeda dengan praktikum yang satu itu. Seharusnya, praktikum itu hanya dilakukan oleh kating tapi entah kenapa kelasku mendapat tugas praktikum itu. Padahal kami masih tahun pertama.
Aku dan kelompokku mendapat giliran terakhir kala itu dan yang bertugas mencuci alat-alat praktikum adalah aku dan temanku Eva. Ketika itu, tidak sengaja aku menjatuhkan satu wadah yang berisi larutan rendaman ular itu.
"Eva! Kamu enggak apa-apa?" tanyaku khawatir melihat cairan itu mengenai tangannya Eva.
Semua berawal dari kejadian itu.
Keesokannya, yaitu 29 hari yang lalu. Eva datang ke kampus seperti biasa, aku pun begitu. Namun, hari itu aku melihat bintik merah di tubuhnya. Dia bilang dia mungkin terkena cacar. Saat kuperiksa suhu tubuhnya, dia demam. Aku pun mengajaknya agar beristiharat saja di ruang UKK, di perjalanan dia terlihat semakin lemas.
Sesampainya di UKK aku menyuruhnya untuk berbaring dan aku mencari cangkir untuk menyeduh teh manis untuknya. Saat aku kembali, Eva muntah. Apa yang di muntahkan Eva sangatlah tidak masuk akal.
Ular.
Eva meninggal setelah memuntahkan bayi ular itu. Dan ternyata seluruh mahasiswa kelasku pun telah tiada dengan penyebab kematian yang sama. Hanya dalam beberapa jam mahasiswa, dosen dan siapa pun yang berkontak fisik dengan Eva hari itu dan hari sebelumnya mengalami gejala yang sama.
Dugaanku, yang menyebarkan penyakit ini bukanlah Eva. Akan tetapi ... aku karena aku juga terkena cairan larutan rendaman ular itu dan aku masih sehat-sehat saja, artinya aku menjadi orang yang menyebarkan penyakit itu.
Suara notifikasi dari ponselku menyadarkanku dari lamunanku. Tertera di layar bahwa ibu kosku yang mengirim chat di grup. Dia meminta kami membayar uang kosan atau meninggalkan kosan ini jika tidak bisa membayar. Saldo di rekeningku seketika kosong, setelah melakukan m-banking ke ibu kos.
Aku pun kembali meratapi nasibku, memandang langit-langit kamarku. Kemudian, mengangkat kedua tanganku seolah ingin menggapai lampu yang tak lagi bersinar di atas sana.
Aku memandangi tanganku, memandangi bintik-bintik merah itu. Aku sadar aku sudah mulai mengalami gejala-gejala itu. Aku mulai merasa demam.
Apakah aku masih akan hidup besok?
Â
SELESAI.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI