Mohon tunggu...
Avanti DM
Avanti DM Mohon Tunggu... Guru - bukan siapa tak punya apa

tak ada yang lebih menakutkan dari mempertahankan hidup

Selanjutnya

Tutup

Diary

Memorizing

28 Mei 2021   09:21 Diperbarui: 28 Mei 2021   09:31 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duluuuuu.... Banget jaman masih SD, suka sama pelajaran mengarang. 2 halaman folio bergaris bisa kurang. Pernah ikut lomba mengarang tingkat SD pas kelas 4 dan menang. Suka nulis di majalah dinding pas SMP. Demi kesukaan menulis, sampe rela uang jajan di potong untuk beli mesin ketik. Masuk SMA dan kuliah sibuk sama ambisi lolos SNMPTN dan krisis cumlaude, menulis jadi terlupakan. 

Menulis bagiku menyenangkan, seakan masuk dunia lain. Gak mesti pengalaman pribadi sih, kadang cerita temen, kadang lihat kejadian di angkot, denger obrolan orang di bis, bahkan kegiatan preman, calo bis dan sopir di terminal juga bisa jadi satu cerita dalam benak. 

Belum lagi kalau main malam, nongkrong di angkringan, lihat aneka orang dan pekerjaan malam mereka, juga satu momen penuh cerita. Selewat tengah malam, kesibukan bongkaran sayur mulai jadi pemandangan yang menghadirkan sejuta cerita lain lagi.

Menjelajahi puncak gunung jelas jadi sumber cerita yang tak kering. Apa lagi nanjak bareng crush, trus berantem, wkwk.. Assoooyyy.. 

Untuk menceritakan kejadian in real life dalam bentuk tulisan, bukan hal yang mudah. Apalagi memikat pembaca. Kekayaan diksi sang penulis, tanda baca sesuai kaidah EYD. Alur, penokohan. Bagi penutur, akan selalu mendapat peran protagonis. Mana mau diri sendiri digambarkan antagonis. Padahal nggak ada salahnya meletakkan diri sebagai tersangka tertuduh dan terpidana. Kita masih manusia.

Sudut pandang juga perlu sesekali bergeser dari yang biasanya. Mendengar kata preman, psk, calo terminal maka yang muncul dalam benak adalah kumuh, kotor, bahkan hina. Pernahkan terbetik bahwa mereka adalah tulang punggung keluarga? Yang pulangnya dinanti dengan pertanyaan, "Jadi beli sepatunya? Kapan beli bukunya? Boleh beli es krim?" 

Bisa jadi mereka yang sosoknya baru nampak di ujung jalan sudah disambut larian langkah kecil dengan teriakan, "Baaappaakkk..ppulllaaannggg.. Horeeeee..." atau, "Ibu daatttaaanggg... yeee...."

Kadang di tengah bongkaran sayuran ada celetukan, "Anakku ki lho wingi lomba ning sekolahane menang." atau, "Ayo gek ndang dirampungke, anakku muleh isuk iki seko kuliahe, aku janji meh methuk jam 9." Disela-sela kesibukan juga ada, "Piye, bojomu wes babaran?" dan dijawab, "Sampun mbok, lanang anakku." dan disambut riuh celotehan mbok sayur lain berebut mengucapkan selamat.

Mereka manusia seperti halnya kita, punya kehidupan. Dan jika boleh memilih, bisa jadi mereka menginginkan kehidupan yang mungkin kita miliki. Pandai bersyukurlah kalau sudah begitu.

Dari rasa menjadi karya, banyak sekali kehidupan yang bisa diceritakan. Namun, untuk bisa memikat seseorang terus membaca yang diceritakan tidaklah mudah. Perlu berlatih menulis efektif, banyak membaca untuk memperkaya diksi. Jangan takut kritik. Jangan sedih gagal. Dan yang penting tetap semangat menulis, minimal untuk diri sendiri, untuk self healing dikala sendu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun