Setiap rejim pemerintahan yang berkuasa selalu memikirkan cara bagaimana kekuasaan itu bisa bertahan dan diterima oleh seluruh rakyat dengan legitimasi yang kokoh. Sejak masa Lenin, bahkan jauh sebelum itu, praktik kekuasaan cendrung mencari alat bagaimana pengakuan dan penerimaan publik bisa terus mengalir sehingga ia bisa menjaga institusi negara dalam situasi yang stabil disamping melemahkan segala unsur kekuatan oposisi, baik yang lahir dari basis rakyat sampai gerakan oposisi yang bernaung di tubuh parlemen.
Telah banyak studi yang memperbincangkan mekanisme-mekanisme praktik kekuasaan yang berusaha menjalankan roda pemerintahan secara benar, Machiavelli jauh-jauh hari pernah mendapat penerimaan luas di kalangan politisi tentang kodrat yang melekat pada ruang politik kenegaraan. Baginya, politik riil dalam bingkai kenegaraan itu bisa dijalankan secara maksimal meliputi segala unsur kekuatan yang ada. Politik yang menghalakan segala cara. Maka dalam era globalisasi teknologi sekarang ini, yang memungkinkan pengaruh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi begitu deras masuk di setiap bidang kehidupan, rejim yang berkuasa pun tidak luput untuk memanfaatkan ruang tersebut menjadi medium legitimasi kekuasaan dengan mekanisme baru pada ranah politik.
Pencitraan positif seorang penguasa akan terus berjalan sebagai strategi yang ampuh dalam meraup dukungan publik secara luas, pola kerjanya mengedepankan peranan media dan kecanggihan teknologi sehingga terbuka pula kesempatan dan peluang bagi praktik kekuasaan yang mengedepankan penguasaan atas simbol dan juga kekerasan secara simbolik. Perkara diatas menjadi salah satu alamat kritik Pierre Bourdieu dalam membaca fenomena penguasaan dan kekerasan simbolik berikut politik pencitraan yang belangsung di setiap rejim berkuasa.
Bahasa dalam Praktik Kekuasaan
Bahasa bukanlah medium transparan yang secara netral menggambarkan realitas. Meski sering diabaikan, sebenarnya bahasa berkait erat dengan kekuasaan. Meminjam pernyataan Ernest Cassirer, bahasa adalah karakter yang mendefinisikan manusia, karena manusia juga dikarakterisasikan oleh kreasi musik, seni, tari dan seluruh tingkat dari bentuk-bentuk simbolik.
Jadi, hubungan antara bahasa dan kekuasaan dapat mewujud dalam penciptaan realitas melalui bahasa. Pada konteks ini pemikiran Pierre Bourdieu mengenai hubungan bahasa dan kekuasaan menjadi relevan dalam mengupas praktik kekuasaan yang berlangsung di setiap rejim pemerintahan. Bagi Bourdieu, praktik bahasa dihasilkan oleh habitus dan selalu terjadi dalam ranah yang memiliki skema evaluasi linguistik tertentu. Karena itu setiap diskurus merupakan kompromi antara maksud ekspresif agen dan sensor yang inheren dalam ranah. Sensor ini merupakan sensor diri yang terjadi melalui pengetahuan praktis habitus dalam rangka mengantisipasi keuntungan simbolik atau material. Bahasa menurut Bourdieu, adalah salah satu dari bentuk-bentuk simbolik yang khas. Ia hadir dalam semua wilayah kehidupan sosial dan karenanya berperan sebagai sarana utama bagi kuasa simbolik yang memungkinkan terjadinya dominasi dan kekerasan simbolik.
Penguasaan atas simbol dijelaskan sebagai kuasa untuk menciptakan realitas yang bersifat yang seakan-akan legitimate. Kuasa simbolik terjadi melalui salah pengenalan yang dimungkinkan oleh kerja habitus sebagai skema persepsi dan apresiasi realitas. Kekuatan bahasa untuk menciptakan realitas tidak berasal dari dirinya melainkan dari modal simbolik yang menjadi fokus konsentrasi di dalamnya. Hal ini ditentukan oleh jumlah modal yang dimiliki oleh si pembicara atau institusi yang memberikan otoritas padanya, terutama negara dan elit politik atau negara dalam masyarakat yang terdiferensiasi seperti halnya masyarakat kontemporer.
Korelasi kekuasaan dan kekerasan perlu kiranya dipahami dengan tidak semata memandangnya sebagai bentuk aktivitas yang melibatkan wilayah fisik, baik itu berupa tubuh dari aktor maupun sarana dan fasilitas yang ada. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi terbukti turut berpengaruh dalam membuka relasi kekuasaan dan kekerasan tersebut menjadi sebuah ruang yang seolah-olah tidak mengandung kepentingan. Kedua unsur tersebut dikonstruksi sebagai arena yang terpisah dan tidak bersinggungan.
Saat ini hubungan antara kekuasaan dan kekerasan tidak lagi dalam bentuk gerak fisikal melainkan bekerja dalam arean representasi, di mana simbol sebagai kekuatan abstrak memiliki sumber daya yang ampuh dalam mencipta kebenaran.
Pembenaran Rejim dengan Penguasaan Simbol
Dalam konteks Indonesia, membaca setiap rejim politik tidak hanya dipandang mekanisme pengambilan kebijakan atau bagaimana rejim mengalola kinerja pemerintahan. Tapi di tempat lain dapat disimak dari kerja simbolik yang digunakan oleh rejim politik, seperti wacana yang dipublikasikan, retorika yang digunakan, sampai pada model politik pencitraan seperti yang gencar dilakukan oleh rejim SBY.
Telah menjadi keniscayaan sejarah bagi setiap orde kekuasaan untuk menciptakan sistem simbol yang mencerminkan identitas yang khas. Rejim politik di era Sukarno, memproduksi wacana Nasakom sebagai konsentrasi simbolik yang bertujuan menyatukan komponen kekuatan politik yang terfragmentasi pada masa itu. Di masa orde baru Suharto, sistem simbolik melekat erat dalam wacana pembangunan (developmentalism). Begitupun pula di masa SBY, berkembang wacana good governance untuk dijadikan simbol utama merepresentasikan cita-cita besar pemerintahan. Rejim kekuasaan seringkali juga mencitrakan dirinya dengan bahasa-bahasa simbolik seperti “penyambung lidah rakyat”, “bapak pembangunan”, “orang terdepan dalam pemberantasan korupsi”, atau “anak bangsa” (Fauzi Fashri, 2007: 9).
Bagi yang mampu memegang simbol maka ia dapat mengejewantahkan dirinya seperti apa yang disimbolkan. Jika demikian halnya, rejim politik bisa menjalankan praktik kekuasaannya atas nama simbol yang ia ciptakan sendiri. Ia memiliki wewenang untuk menjadikan simbol itu nyata dan mendapatkan pengakuan bahwa rejim politik memiliki mandat untuk bertindak sesuai dengan karakter yang disimbolkan.
Simbol mengandung kekuatan untuk membentuk wajah realitas. Kekuatan itu tersimpan dalam proses kategorisasi, penilaian, dan pemaksaan ide-ide tertentu kepada obyek yang menafsirkan simbol. Dalam dunia politik, operasi kerja kekuatan simbol tak bisa dilepaskan dari struktur atau aktor politik yang berkepentingan mengkonstruksi realitas. Wacana terorisme, misalnya, digunakan oleh pemerintah untuk menentukan kelompok mana yang disebut teroris dan mana yang bukan. Terorisme sebagai wacana simbolik dijadikan modal politik bagi pemerintah dalam mengesahkan UU terorisme yang memberikan payung hukum sah untuk melakukan praktik politik, seperti membuat kategori teroris hingga ke proses penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dikategorikan teroris.
Persoalan yang sering lepas dari perhatian bersama ialah membongkar mekanisme kerja di balik kekuatan simbolik itu. Diskurus terorisme sebagai wacana dominan yang mempengaruhi kebijakan semua negara sejak peristiwa teror di AS, tidak terlahir dari ruang yang netral atau bebas dari kepentingan. Wacana simbolik ini menjadi dominan karena diproduksi oleh negara Amerika Serikat yang memiliki kekuasaan ekonomi-politik melebihi negara-negara lain. Melalui kekuasaan yang dimilikinya, wacana terorisme disebar ke setiap negara sebagai program politik. Didukung oleh globalisasi ekonomi, wacana terorisme menjadi kewajiban tersendiri untuk dilaksanakan oleh semua negara, termasuk Indonesia.